Monday, 18 November 2019

PANSEKSUAL-mu Adalah Omong Kosong


“Ngeri ga si kalau punya pacar Pansexual?”
“Kenapa?”
“Ya kan dia berbahaya?”
“Karena?”
“Sama apa aja suka kan?”

Obrolan singkat di atas bermula dari seorang teman dunia maya yang memposting kegelisahannya di Twitter. Percakapan terakhir membuat aku harus mengakhiri percakapan sederhana itu. Akhir-akhir ini istilah Panseksual sedang populer di twitter, beberapa orang mengidentifikasi diri mereka sebagai panseksual. Mereka mengatakan bahwa Panseksual memiliki ketertarikan pada semua gender. Bahasa dan pengetahuan adalah privelege. Bukankah Panseksual terdengar lebih intelektual, lebih tinggi, jika dibandingkan dengan label-label populer lainnya seperti Gay, Top-Bottom, Biseksual, Butchi, Femme, yang sudah usang termakan pola biner yang mulai tidak disukai oleh beberapa orang di komunitas.

Tentu kita bisa melihat siapa saja yang mengidentifikasi dirinya sebagai panseksual. Berdasarkan pengamatan pribadi, kebanyakan mereka adalah anak-anak muda yang memiliki privelege terhadap pengetahuan seksualitas. Mereka biasanya memiliki pendidikan tinggi dan mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Pengamatanku ini bukan sebuah fakta, tetapi asumsi yang menurutku sangat bisa dibuktikan.

Mari kita lihat lebih jauh lagi apa itu Panseksual. Aku merujuk kepada salah satu buku yang dibuat oleh Federasi Arus Pelangi, kumpulan organisasi yang sangat getol mengutak atik identitas gender dan seksual manusia. Menurut mereka di dalam buku Modul Pendidikan Dasar SOGIESC, Panseksual adalah bagian dari orientasi seksual. Apa itu Orientasi seksual?

ORIENTASI SEKSUAL [noun. kata benda] adalah ketertarikan manusia terhadap manusia lain yang melibatkan rasa emosi dan romantis, dan/atau seksual. Orientasi seksual bersifat sangat personal. Sejauh ini masyarakat belum banyak mengenal keragaman orientasi seksual selain heteroseksual. Situasi lingkungan, termasuk di antaranya ketersediaan ruang aman dan nyaman mempengaruhi pilihan seseorang untuk menyatakan orientasi seksualnya atau tidak.”

Sedangkan Panseksual didefinisikan sebagai;

PANSEKSUAL [adj. kata sifat], ketertarikan manusia yang melibatkan rasa emosi dan romantis, dan/atau seksual terhadap manusia lainnya tanpa memandang gender dan/atau seksnya, misalnya:
DEMISEKSUAL [adj. kata sifat], ketertarikan manusia terhadap manusia lainnya tanpa memandang gender dan/atau seksnya, dimana ketertarikan seksual tidak muncul tanpa adanya ikatan emosi dan romantis yang kuat.
SAPIOSEKSUAL [adj. kata sifat], ketertarikan manusia terhadap kecerdasan manusia lainnya yang melibatkan rasa emosi, romantis dan/atau seksual tanpa memandang gender dan/atau seksnya.

Ternyata Panseksual tidak sesederhana menurut pemahaman warga netijen yang saya temui. Beberapa dari mereka menggunakan Panseksual dan Sapioseksual dalam konteks yang berbeda sedangkan Arus Pelangi melihat Sapioseksual sebagai bagian dari Panseksual. Tulisan ini tidak akan mengulas bagaimana kedua wacana tersebut memiliki perbedaan konteks. Tulisan ini lebih menggarisbawahi pandangan kritis terhadap Panseksual.

Pertanyaan kritis tersebut kita awali dengan sebuah pertanyaan “Apakah manusia bisa memiliki ketertarikan yang melibatkan emosi dan romantis terhadap manusia lainnya tanpa memandang gender dan/atau seksnya?” Jawaban yang terlontar dari ruang hampa logika tentu akan mengatakan “Ya, bisa sangat mungkin terjadi.” Tetapi hal itu bukan cara menjadi kritis karena terlepas dari realitas.

Pertanyaan awal itu membawa saya untuk mengajukan sebuah pertanyaan kepada kawan-kawan saya yang menggeluti ilmu seksualitas. Saya mengajukan pertanyaan “Apa perbedaan antara Biseksual dan Panseksual?” Pertanyaan tersebut menimbulkan sebuah keraguan. Salah seorang teman mengatakan bahwa Biseksual adalah ketertarikan yang melibatkan dua gender. Masih menggunakan pola biner laki-laki dan perempuan. Tetapi kemudian timbul pertanyaan lebih kritis lagi mengenai siapa yang disebut laki-laki dan perempuan itu dalam konteks Biseksual. Apakah terlepas dari kemelekatan jenis kelamin? Kawan lain mengajukan sebuah definisi Biseksual sebagai ketertarikan yang melibatkan dua gender apapun itu? Tetapi pandangan ini pun runtuh dengan pertanyaan kritis kenapa hanya dua gender saja? Padahal orang terkait mampu memiliki ketertarikan diluar batas kemelekatan jenis kelamin. Apa yang membuat mereka hanya mampu menyukai dua, bukan tiga dan selebihnya.

Arus Pelangi menempatkan Biseksual dan Panseksual dalam kategori orientasi seksual. Biseksual dalam Modul SOGIESC didefinisikan sebagai;

BISEKSUAL [adj. kata sifat], ketertarikan manusia terhadap manusia lain yang melibatkan rasa emosi dan romantis, dan/atau seksual, yang tidak terbatas pada satu gender dan/atau seks tertentu.”

Definisi Biseksual yang dirumuskan oleh Arus Pelangi telah melepaskan pakem kata “bi” yang berarti dua. Cukup aneh melihat terminilogi dan definisi yang tidak sinkron tersebut. Mari kita kembali pada tema besar Panseksual. Jika kita mencermati definisi Panseksual dan Biseksual terlihat serupa. Titik perbedaannya Panseksual adalah ketertarikan tanpa memandang gender sedangkan Biseksual tidak terbatas pada satu gender tertentu. Tanpa memandang berarti seseorang memang tidak peduli dengan gender orang lain yang ia sukai. Tetapi hal apakah yang bisa membuat seorang Panseksual memiliki ketertarikan terhadap orang lain tanpa melihat gendernya? Melihat konteks Panseksual berada pada tataran orietasi seksual, maka sesuatu itu harus mampu menciptakan ketertarikan rasa emosi, romantis, dan/atau seksual.

Demiseksual yang dianggap sebagai salah satu kategori Panseksual justru meninggalkan misteri besar pertanyaan di atas. Sedangkan Sapioseksual menjelaskan bahwa kecerdasanlah yang membuat seorang tertarik secara emosi, romantis, dan/atau seksual. Seksualitas harus dilihat sebagai suatu yang beragam. Sangat mungkin kita tertarik pada seseorang karena dia pintar, tetapi apakah kita hanya melihat kepintarannya saja semata? Bagaimana itu bisa terjadi secara nyata.

Menurut Judith Buttler gender adalah apa yang seseorang lakukan (perform) bukan tentang apa-siapa semata. Perform tersebut melibatkatkan banyak aspek seperti identitas, kuasa, hasrat dll. Bagaimana seseorang mampu untuk mengelak dari hal-hal rumit tersebut dan terpaku pada “kepintaran” sematalah yang membuat ia tertarik pada seseorang? Saya kembali bertanya kepada teman-teman saya dan mereka tidak mampu menjawab pertanyaan terakhir saya.

Kami mengambil sebuah kasus bagaimana beberapa teori seksualitas tidak bisa bekerja dalam realitas. Ada seorang laki-laki yang mengidentifikasi dirinya sebagai seorang gay. Ternyata dia tidak menyukai sekedar laki-laki. Setelah kami lihat lebih jauh laki-laki tersebut memiliki preferensi laki-laki yang ia sukai seperti maskulin, ras cina, mapan, mampu berbahasa inggris. Pada prakteknya ternyata seorang gay tidak bisa memisahkan orientasi yang berbasis gender semata dengan preferensinya lain dari variabel kompleks manusia lainnya. Bahkan menurut kami, orientasi seksual tersebut tidak akan bekerja dalam realitasnya jika kita melihat bagaimana ruang dan politik bekerja. Bisa jadi seorang gay tidak akan mampu/berani menjadi seorang gay di tengah sebuah negara yang menerapkan hukuman mati bagi LGBTIQ.

Panseksual bisa jadi adalah false science yang terus direproduksi oleh politik identitas dan kapitalisme. Wacana yang terus menciptakan pola-pola kaku yang tidak bisa bekerja dalam realitas dan cacat logika.

Saturday, 7 September 2019

The Karimunjawa


Ada banyak cerita mengenai sebuah perjalanan mengeskplorasi alam dan budaya di Indonesia. Namun tak banyak traveler yang menceritakan apakah mereka akan kembali ke tempat mereka pernah singgah, seberapa sering mereka kembali dan kenapa mereka terus kembali. Bagiku sebuah perjalanan bukan sekedar menumpang lewat dan meninggalkan bekas digital. Perjalanan bisa lebih berarti dan bermakna. Cerita berikut adalah salah satu dari tempat yang selalu memiliki tempat di hatiku, Karimunjawa.

Aku datang ke Pulau ini pertama kali ketika pada tahun 2010 bersama teman-teman KKN UGM. Pertama kali aku mendengar sebuah rencana KKN di Karimunjawa dan tim tersebut sedang mencari anggota tim, secara spontan aku bergabung tanpa sebuah pertimbangan bagaimana programku di jurusan ekonomi akan berjalan di sana. Sejujurnya, aku belum pernah mendengar nama pulau itu sebelumnya. Jadi aku seolah merasa menjadi seorang bajak laut yang baru saja mendengar mitos tentang sebuah pulau nan jauh di sana dan berbekal semangat saja untuk sampai ke sana.

Berbekal pengalaman hidup di Pulau Jawa yang sungguh nyaman dipenuhi berbagai macam infrastruktur membuatku banyak berpikir. Sebuah pulau yang tak terlalu jauh dari Pulau Jawa hanya memiliki listrik selama 6 jam saja. Waktu itu aku tinggal di bagian utara pulau, nama daerahnya Kemojan. Hanya ada 3 moda transportasi yang bisa dipilih yaitu kapal lambat, kapal cepat dan pesawat. Opsi terakhir tidak mungkin bisa dijangkau pada waktu itu karena kapal hanya bisa digunakan dengan sistem sewa yang tidak mungkin aku lakukan waktu itu.

Jika dibandingkan hari ini, Karimunjawa waktu itu adalah gambaran nyata betapa pembangunan tidak merata di Indonesia. Saat ini Karimunjawa telah tumbuh menjadi tempat wisata andalan Jawa Tengah. Jalur transportasi dan berbagai infrastruktur telah dibangun pesat. Namun aku merindukan masa-masa itu. Masa di mana semua tidak terukur dengan uang.Tetapi satu hal yang menurutku tidak bisa berubah yaitu perubahan itu sendiri dan waktu berjalan lebih cepat dibandingkan dengan yang aku rasakan. Perjalanan yang dimulai dari program sosial akhirnya berubah perlahan membuatku menjadi seorang wisatawan.

Orang-orang Karimunjawa adalah hal yang paling menarik bagiku. Pulau kecil ini adalah gambaran dari multikulturalisme nusantara. Dilihat dari kemiripan budayanya, bagian selatan pulau ini di dominiasi oleh etnis jawa. Di sebelah utara penduduknya lebih beragam karena ada kelompok Jawa, Bugis dan Madura, yang tinggal mengelompok di Desa Njelamun, Batulawang dan Telaga. Hari ini aku masih terikat dengan keramahan orang-orang di utara. Beberapa kali mereka datang ke Jogja dan aku sering mengunjungi mereka. Hampir selama 9 tahun kami tetap saling mengabarkan.

Aku tidak akan bisa mengesampingkan keindahan alam Karimunjawa walau akhir-akhir ini aku sedikit khawatir dengan kerusakan dan polusi. Berbeda dengan 9 tahun silam, hari ini kita akan melihat lebih mudah kapal tongkang batu bara singgah di Taman Konservasi Nasional ini. Anda seharusnya juga perlu mendengar cerita mengenai terjungkirnya kapal batubara, terbakarnya kapal batubara ketika hujan lebatm atau kapal batubara yang akhir-akhir ini baru saja merusak terumbu karang seluas lapangan sepak bola. Hampir semua orang tahu cerita itu, tapi tak satu pun bisa berbuat apa-apa. Satu hal yang tidak berubah, kuasa Orang Karimunjawa dibandingkan Orang Jawa.

Tidak! Aku seharusnya menceritakan hal-hal baik saja supaya bisa membuat orang-orang tertarik untuk datang ke pulau ini. Namun aku akan merasa bersalah jika harus berpura-pura layaknya hidup di Pulau nan surga ini. Baiklah, seperti aku bilang tadi, perlahan aku menjadi seorang wisatawan. Kadang aku memang tinggal di rumah warga di bagian utara pulau. Namun di beberapa kesempatan, terutama ketika aku pergi bersama kawan-kawanku. Aku memilih untuk tinggal di bagian selatan, beberapa menyebutnya dengan sebutan Kota Karimunjawa.

Jika harus memberikan rekomendasi, aku hanya akan memberikan kalian 2 pilihan. Pertama homestay bergaya hippie bernama The Bodhi Tree. Homestay ini memiliki dua tipe dormitory dan private room. Selain fasilitas, desain hotel dan keramahan staff yang bekerja, aku memilih tempat ini karena pemilik usaha ini memiliki koneksi bisnis di Yogyakarta. Setahuku mereka juga punya hotel di jogja dan paket wisata dari Jogja-Karimunjawa. Oiya, walau sudah banyak warung di Karimunjawa, tetapi mencari sarapan enak di Pulau ini adalah hal yang tidak mudah. Homestay ini menurutku menyediakan sarapan yang sangat menyenangkan.

Pilihan kedua adalah Cocohut Hotel. Aku selalu meyukai pemandangan laut dari atas bukit. Jika kalian menyukai hal yang sama. Kalian bisa memilih hotel ini sebagai pilihan kalian. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan jika memilih tempat ini adalah, jarak antara hotel dan pusat kota yang lumayan jauh jika jalan kaki, sekitar 10 menit. Lalu pastikan kalian tidak memiliki masalah dengan menaiki tangga. Hotel ini berada di atas bukit jadi bayangkanlah. Oiya, dua pilihan hotel tersebut berdasarkan salah satu pertimbangan hotel dengan low budget tapi dengan kualitas terbaik di Pulau.

Sepertinya aku tidak perlu menceritakan tentang destinasi wisata di Pulau ini. Ada terlalu banyak informasi yang bisa dipilih. Jelajah pulau adalah paket wisata yang digemari wisatawan. Katanya sih liburan di Pulau Karimunjawa enga lengkap tanpa keliling pulau. Mungkin hal itu tidak bekerja untuku. Akhir-akhir ini aku engga pernah keliling pulau ketika pergi ke Karimunjawa. Aku memilih untuk tracking ke bukit dan hutan mangrove atau santai di pinggir pantai.

Salah satu momen favoritku adalah menghabiskan sore di Pantai Sunset, sekitar 15 menit dari Kota Karimun dengan menggunakan motor. Jangan pernah mengharapkan sunset di tempat ini. Kalian nggak mikir polusi udara yang gentayangan di langit Jawa apa? Tapi kalau kamu beruntung pasti akan dapat langit sore yang menenangkan jiwa. Oiya tempat ini favorit karena kalian juga bisa ngebeer di sini. Hehe

Akhirnya mungkin tidak ada alasan pasti kenapa aku terikat dan selalu ingin pergi ke pulau ini walau semakin lama aku tahu tubuhku semakin renta untuk berjalan jauh (halah). Mungkin aku bisa mengatakan dua hal yaitu manusia dan alam yang membuatku selalu terhubung selama ini. Selalu ada orang dan hal baru yang bercerita tentang sisi lain kehidupan manusia yang ternyata tidak begitu-begitu saja. Hidup di Jawa membuatku terbiasa dengan hal serupa. Bertemu dan melihat kehidupan mereka selalu membuatku sadar bahwa aku sebenarnya memiliki pilihan hidup untuk berbeda.

Alam di Karimunjawa mungkin tidak begitu fenemonal jika di bandingkan dengan tempat lain seperti Flores, Raja Ampat atau tempat lainnya. Tapi aku memiliki koneksi berupa ingatan yang selalu membuatku bahagia ketika mengingat tempat ini. Melihat pohon-pohon kelapa berjejer rapi dari kejauhan atau birunya lautan dari atas bukit. Tempat yang selalu membuatku mindfulness dengan rasa bahagia.

Tuesday, 26 February 2019

Menjadi Laki-Laki?


Adakah seorang laki laki yang mengatakan lelah menjadi seorang “laki-laki”? Aku sempat bertanya kepada seorang teman yang merasa dirinya laki-laki. Dia malah bertanya balik, apakah aku ingin menjadi seorang waria? Aku tercekat.

Tidak ada yang salah dengan pertanyaanku. Pertanyaanku muncul karena pengalaman pribadi yang menanggung beban menjadi laki-laki. Laki-laki yang harus terlihat kuat, maskulin, bisa diandalkan, menopang kehidupan keluarga, memiliki anak dan banyak hal lain yang tak bisa tertuliskan. Bayangkan semua peran itu harus dilakukan oleh seorang manusia biasa? Hebatnya kebanyakan manusia berpenis melakukan hal itu dengan cukup sukses. Setidaknya hal itu yang aku lihat dari luar dengan kacamata sebagai manusia yang juga berpenis. Aku tidak menyerah menanyakan pertanyaan itu kepada kawan-kawan yang aku anggap sebagai laki-laki. Akhirnya aku bertemu dengan manusia berpenis yang mengatakan lelah menjadi laki-laki. 

Fakta bahwa laki-laki dianggap lebih tinggi kedudukannya di dalam budaya ternyata tidak semata memberikan sebuah hak khusus dan kemudahan. Dibalik semua itu terdapat sebuah peran yang harus ditanggung sejak seseorang dinyatakan sebagai seorang laki-laki. Seperti yang aku sebutkan di atas, laki-laki diasosiasikan dengan nilai dan norma tertentu yang jelas membedakannya dengan gender lain, perempuan.

Kelelahan kawan-kawanku berasal dari peran yang harus diperankannya. Gender adalah suatu hal yang diperankan. Bayangkan sebuah pertunjukkan di mana ada banyak tokoh dan setiap tokoh memerankan karakternya masing-masing. Karakter adalah sebuah perumpamaan sederhana dari gender yang sedang diperankan. Di dalam budaya populer hanya mengenal dua karakter, laki-laki dan perempuan. Masing-masing gender diberikan sebuah model yang harus diperankan dari mulai kepercayaan, sikap sampai penampilan. Lalu, bagaimana jika seseorang tidak memerankan peran tersebut? Dari itulah obrolan kami mengenai lelah ini berawal.

Orang-orang yang tidak bisa memerankan dengan baik akan kehilangan label “sejati” dalam dirinya. Ia tak bisa dianggap laki-laki seutuhnya. Ia cacat, menyimpang, atau berpenyakit. Manusia berpenis mungkin tidak pernah bermaksud untuk memerankan perannya dengan buruk. Namun banyak faktor yang menyebabkan dirinya tidak bisa memerankan perannya dengan baik atau ada orang-orang yang sengaja memilih untuk tidak memerankannya.

Jika budaya itu tumbuh sebagaimana manusianya tumbuh. Pemikiran soal gender pun harus tumbuh. Mungkin sudah saatnya untuk beranjak untuk mengatakan tidak ingin lelah lagi menjadi laki-laki karena ada pilihan gender lain bagi para manusia berpenis. Bisa jadi konsep laki-laki ini didekonstruksi menjadi laki-laki baru. Tetapi aku meragukan jika konsep ini akan berhasil. Selama masih ada laki-laki yang diidentikkan dengan kelamin, maka konsep itu masih terpaku pada pola biner dan patriarkhi yang berlaku umum saat ini. Gender akan tetap memiliki kelas, walau bisa jadi konsep laki-laki akan lebih ramah terhadap perempuan. Namun, menurutku naif rasanya jika kita tahu bahwa kita memiliki opsi lain untuk tidak memilih dua pilihan tersebut.

Mari kita bayangkan sebuah dunia dimana kita tidak perlu memikirkan tentang siapa gender kita. Kita bisa memerankan peran kita masing-masing sesuai dengan yang kita inginkan. Apa yang akan terjadi? Mungkin tidak ada lagi yang menanggung beban gender dan lelah karenaya. Tidak ada lagi kekerasan berbasis gender. Ini bukan ide euforis. Pelan-pelan ruang-ruang alternatif yang tidak mempedulikan gender mulai hidup. Sekarang pilihan kita untuk tetap menerima menjadi laki-laki atau membuat pilihan lain dan melawan. Menjadi sesuatu yang baru. Mungkin Queer.

Tuesday, 19 February 2019

LSMisasi menciptakan elit aktivis


Beberapa hari yang lalu aku membaca sebuah artikel yang dibuat oleh Arundhati Roy. Sebagai seseorang yang bekerja di sebuah LSM dan tercatat sebagai anggota aktif sebuah CBO. Rasanya seperti tercambuk-cambuk, sakit tetapi ini bukan saatnya untuk menyangkal. Hal itu yang membuatku memutuskan untuk menulis pengalamanku di dalam gerakan sebagai sebuah refleksi. 

Beberapa tahun yang lalu aku bergabung sebagai salah satu CBO (Community Based Organization) di Yogyakarta, Aku begitu bersemangat, seolah mendapatkan sebuah pencerahan. Pencerahan itu adalah kesadaran baru untuk melihat suatu permasalahan. Suatu hal yang sebelumnya aku anggap lumrah terjadi padahal termasuk kekerasan dan melanggar hak asasi manusia, misalnya razia Satpol PP, kekerasan domestik dsb.

Bermulai dari bagaimana aku melihat masalah dengan perspektif yang berbeda. Aku pun mulai sadar betapa pentingnya berorganisasi dan terlibat aktif dalam CBO. Setidaknya hal itu yang aku percayai waktu itu.

Namun semakin dalam aku terlibat di dalam CBO dan jaringannya, timbul sebuah keraguan. Pandanganku mulai goyah. Ada sebuah kultur di dalam dunia aktivis yang membuatku tidak simpati. Banyak aktivis yang memiliki jabatan penting di organisasi mulai pergi mengikuti acara nasional atau bahkan ke luar negeri hingga lupa berkomunitas. Anehnya banyak anggota komunitas justru berlomba-lomba untuk mengikuti jejak sang aktivis. Mereka bergantian mengantri untuk dikirim mewakili organisasi. Ketika mereka dikirim mewakili organisasi, akan ada uang perdiem. Sejenis tunjangan yang jumlahnya cukup besar jika dibandingkan dengan gaji bulanan seorang aktivis di CBO. Aku tahu, CBO tak mampu memberikan kebutuhan materi yang layak bagi aktivis-aktivis ini. Tetapi semakin lama aku merasa, ada uang yang sedang digali bersama-sama di dalam CBO. Aku tidak ingin menghakimi siatuasi ini dengan benar atau salah. Masalah-masalah seperti ini tidak berdiri tunggal. Tetapi gerakan tidak bisa berakhir seperti ini. Masih ada ruang refleksi, sebagaimana aku memutuskan untuk menulis ini semua.

Pertama, tercipta jurang kekuasaan yang tinggi antara aktivis dan komunitas. Aku sebenarnya sangat benci menggunakan dua kata tersebut untuk menggambarkan sekat yang telah terjadi. Seharusnya, siapapun yang bergabung di dalam CBO adalah aktivis bukan? Aku akan mengambil sebuah pengalaman yang pernah terjadi. Suatu hari seorang aktivis pernah mereka mengatakan bahwa komunitas tidak tahu tentang keamanan. Aku sengaja mengambil contoh ini karena bagiku persoalan keamanan sangat dilematis. Tetapi pernyataan seorang aktivis tadi yang mengatakan bahwa komunitas tidak tahu apa-apa tentang keamanan sebenarnya telah menempatkan komunitas sebagai orang bodoh dan sebatas obyek program. Bukan hanya itu saja, aktivis mulai menciptakan nilai-nilai baru yang sangat biner, benar-salah, di tengah situasi yang sama sekali tidak ideal di komunitas. Mereka terlihat benar dengan teori yang diagung-agungkan. Sementara komunitas yang besar dengan kultur lokal mereka, terlihat sebagai kelompok yang perlu dikoreksi seketika.

Kedua, Aktivis yang kompromis. Kebanyakan CBO mendapatkan pendanaan dari lembaga funding lokal dan internasional. Aktivis menyusun program sesuai dengan tema-tema yang diajukan oleh lembaga funding. Padahal belum tentu komunitas memiliki kebutuhan atau masalah yang sesuai, atau program itu tidak menyelesaikan masalah akar. Situasi ini sangat dilematis, aktivis berada diantara menghidupi CBO-nya tempat dia mencari penghidupan dan kepentingan komunitas.

Belum lama ini aku mendapatkan informasi jika salah satu syarat untuk menerima funding adalah dengan berkolaborasi dengan stakeholder (pemerintah). Aku cukup kaget permintaan dari lembaga funding ini. Bagaimana CBO bisa berkolaborasi dengan pemerintah jika pemerintah sendiri diskriminatif? Aktivis kali ini menjadi jembatan kompromi antara komunitas dan pemerintah. Secara tidak langsung program kolaborasi seperti ini tidak akan memecahkan akar masalah dan justru meredam gejolak perubahan di tengah komunitas.

Ketiga, isu kesejahteraan aktivis. Sejak munculnya pemikiran bahwa aktivis adalah roda utama gerakan. Maka wacana kesejahteraan aktivis (wellness) dimunculkan. Seperti yang sempat aku katakan di atas bahwa CBO memiliki batasan untuk memenuhi kesejahteraan aktivis. Mengkritisi hal ini seperti seseorang buta yang ngotot memperdebatkan keindahan visual. Walau aku tahu hal ini sangat bisa diperdebatkan. Menurutku seseorang yang bergabung dalam gerakan seharusnya tahu akan situasi dan pilihan hidupnya. Namun yang aku lihat, aktivis ini pelan-pelan merangkak naik kelas dan lupa kenapa perlu berjuang. Atau perjuangan diibaratkan sebuah kerja yang harus ditukar dengan imbalan yang layak.

Situasi-situasi seperti ini telah menciptakan kelas dalam komunitas. Mereka adalah aktivis yang dengan situasinya berada terpisah. Menurutku perjuangan dengan model aktivis seperti ini adalah perjuangan semu yang tak akan pernah meraih akar masalah. Perjuangan seharusnya dilakukan bersama-sama tanpa menonjolkan kelompok tertentu (elit). Aku tidak pernah suka sebuah gerakan selalu menonjolkan sosok tertentu. Akhirnya, kita bisa lihat bagaimana tokoh yang ditonjolkan naik semakin menjulang bergabung dengan kekuasan.

Tulisan ini bukan bermaksud mengerdilkan aktivis lain yang dengan tulus berjuang untuk komunitas. Aku yakin mereka masih ada dan aku selalu hormat dengan mereka. Tulisan ini aku buat sebagai sebuah titik kritis atas situasi gerakan supaya kita bisa berpikir kembali, untuk apa kita bergerak bersama komunitas selama ini? Jangan-jangan kita telah lupa mimpi perjuangan.