“Ngeri ga si kalau punya pacar Pansexual?”
“Kenapa?”
“Ya
kan dia berbahaya?”
“Karena?”
“Sama
apa aja suka kan?”
Obrolan
singkat di atas bermula dari seorang teman dunia maya yang memposting
kegelisahannya di Twitter. Percakapan terakhir membuat aku harus
mengakhiri percakapan sederhana itu. Akhir-akhir ini istilah
Panseksual sedang populer di twitter, beberapa orang mengidentifikasi
diri mereka sebagai panseksual. Mereka mengatakan bahwa Panseksual
memiliki ketertarikan pada semua gender. Bahasa dan pengetahuan
adalah privelege. Bukankah Panseksual terdengar lebih intelektual,
lebih tinggi, jika dibandingkan dengan label-label populer lainnya
seperti Gay, Top-Bottom, Biseksual, Butchi, Femme, yang sudah usang
termakan pola biner yang mulai tidak disukai oleh beberapa orang di
komunitas.
Tentu
kita bisa melihat siapa saja yang mengidentifikasi dirinya sebagai
panseksual. Berdasarkan pengamatan pribadi, kebanyakan mereka adalah
anak-anak muda yang memiliki privelege terhadap pengetahuan
seksualitas. Mereka biasanya memiliki pendidikan tinggi dan mampu
berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Pengamatanku ini bukan sebuah
fakta, tetapi asumsi yang menurutku sangat bisa dibuktikan.
Mari
kita lihat lebih jauh lagi apa itu Panseksual. Aku merujuk kepada
salah satu buku yang dibuat oleh Federasi Arus Pelangi, kumpulan
organisasi yang sangat getol mengutak atik identitas gender dan
seksual manusia. Menurut mereka di dalam buku Modul Pendidikan Dasar
SOGIESC, Panseksual adalah bagian dari orientasi seksual. Apa itu
Orientasi seksual?
“ORIENTASI SEKSUAL [noun. kata benda]
adalah ketertarikan manusia terhadap manusia lain yang
melibatkan rasa emosi dan romantis, dan/atau seksual. Orientasi
seksual bersifat sangat personal. Sejauh ini masyarakat belum banyak
mengenal keragaman orientasi seksual selain heteroseksual. Situasi
lingkungan, termasuk di antaranya ketersediaan ruang aman dan nyaman
mempengaruhi pilihan seseorang untuk menyatakan orientasi seksualnya
atau tidak.”
Sedangkan Panseksual didefinisikan sebagai;
PANSEKSUAL [adj. kata sifat], ketertarikan manusia yang
melibatkan rasa emosi dan romantis, dan/atau seksual terhadap manusia
lainnya tanpa memandang gender dan/atau seksnya, misalnya:
− DEMISEKSUAL [adj. kata sifat], ketertarikan manusia
terhadap manusia lainnya tanpa memandang gender dan/atau seksnya,
dimana ketertarikan seksual tidak muncul tanpa adanya ikatan emosi
dan romantis yang kuat.
− SAPIOSEKSUAL [adj. kata sifat], ketertarikan manusia
terhadap kecerdasan manusia lainnya yang melibatkan rasa emosi,
romantis dan/atau seksual tanpa memandang gender dan/atau seksnya.
Ternyata
Panseksual tidak sesederhana menurut pemahaman warga netijen yang
saya temui. Beberapa dari mereka menggunakan Panseksual dan
Sapioseksual dalam konteks yang berbeda sedangkan Arus Pelangi
melihat Sapioseksual sebagai bagian dari Panseksual. Tulisan ini
tidak akan mengulas bagaimana kedua wacana tersebut memiliki
perbedaan konteks. Tulisan ini lebih menggarisbawahi pandangan kritis
terhadap Panseksual.
Pertanyaan
kritis tersebut kita awali dengan sebuah pertanyaan “Apakah
manusia bisa memiliki ketertarikan yang melibatkan emosi dan romantis
terhadap manusia lainnya tanpa memandang gender dan/atau seksnya?”
Jawaban yang terlontar dari ruang hampa logika tentu akan mengatakan
“Ya, bisa sangat mungkin terjadi.” Tetapi hal itu bukan cara
menjadi kritis karena terlepas dari realitas.
Pertanyaan
awal itu membawa saya untuk mengajukan sebuah pertanyaan kepada
kawan-kawan saya yang menggeluti ilmu seksualitas. Saya mengajukan
pertanyaan “Apa perbedaan antara Biseksual dan Panseksual?”
Pertanyaan tersebut menimbulkan sebuah keraguan. Salah seorang teman
mengatakan bahwa Biseksual adalah ketertarikan yang melibatkan dua
gender. Masih menggunakan pola biner laki-laki dan perempuan. Tetapi
kemudian timbul pertanyaan lebih kritis lagi mengenai siapa yang
disebut laki-laki dan perempuan itu dalam konteks Biseksual. Apakah
terlepas dari kemelekatan jenis kelamin? Kawan lain mengajukan sebuah
definisi Biseksual sebagai ketertarikan yang melibatkan dua gender
apapun itu? Tetapi pandangan ini pun runtuh dengan pertanyaan kritis
kenapa hanya dua gender saja? Padahal orang terkait mampu memiliki
ketertarikan diluar batas kemelekatan jenis kelamin. Apa yang membuat
mereka hanya mampu menyukai dua, bukan tiga dan selebihnya.
Arus
Pelangi menempatkan Biseksual dan Panseksual dalam kategori orientasi
seksual. Biseksual dalam Modul SOGIESC didefinisikan sebagai;
“BISEKSUAL [adj. kata sifat], ketertarikan manusia
terhadap manusia lain yang melibatkan rasa emosi dan romantis,
dan/atau seksual, yang tidak terbatas pada satu gender dan/atau seks
tertentu.”
Definisi Biseksual yang dirumuskan oleh Arus Pelangi telah
melepaskan pakem kata “bi” yang berarti dua. Cukup aneh melihat
terminilogi dan definisi yang tidak sinkron tersebut. Mari kita
kembali pada tema besar Panseksual. Jika kita mencermati definisi
Panseksual dan Biseksual terlihat serupa. Titik perbedaannya
Panseksual adalah ketertarikan tanpa memandang gender sedangkan
Biseksual tidak terbatas pada satu gender tertentu. Tanpa memandang
berarti seseorang memang tidak peduli dengan gender orang lain yang
ia sukai. Tetapi hal apakah yang bisa membuat seorang Panseksual
memiliki ketertarikan terhadap orang lain tanpa melihat gendernya?
Melihat konteks Panseksual berada pada tataran orietasi seksual, maka
sesuatu itu harus mampu menciptakan ketertarikan rasa emosi,
romantis, dan/atau seksual.
Demiseksual yang dianggap sebagai salah satu kategori Panseksual
justru meninggalkan misteri besar pertanyaan di atas. Sedangkan
Sapioseksual menjelaskan bahwa kecerdasanlah yang membuat seorang
tertarik secara emosi, romantis, dan/atau seksual. Seksualitas harus
dilihat sebagai suatu yang beragam. Sangat mungkin kita tertarik pada
seseorang karena dia pintar, tetapi apakah kita hanya melihat
kepintarannya saja semata? Bagaimana itu bisa terjadi secara nyata.
Menurut Judith Buttler gender adalah apa yang seseorang lakukan
(perform) bukan tentang apa-siapa semata. Perform tersebut
melibatkatkan banyak aspek seperti identitas, kuasa, hasrat dll.
Bagaimana seseorang mampu untuk mengelak dari hal-hal rumit tersebut
dan terpaku pada “kepintaran” sematalah yang membuat ia tertarik
pada seseorang? Saya kembali bertanya kepada teman-teman saya dan
mereka tidak mampu menjawab pertanyaan terakhir saya.
Kami mengambil sebuah kasus bagaimana beberapa teori seksualitas
tidak bisa bekerja dalam realitas. Ada seorang laki-laki yang
mengidentifikasi dirinya sebagai seorang gay. Ternyata dia tidak
menyukai sekedar laki-laki. Setelah kami lihat lebih jauh laki-laki
tersebut memiliki preferensi laki-laki yang ia sukai seperti
maskulin, ras cina, mapan, mampu berbahasa inggris. Pada prakteknya
ternyata seorang gay tidak bisa memisahkan orientasi yang berbasis
gender semata dengan preferensinya lain dari variabel kompleks
manusia lainnya. Bahkan menurut kami, orientasi seksual tersebut
tidak akan bekerja dalam realitasnya jika kita melihat bagaimana
ruang dan politik bekerja. Bisa jadi seorang gay tidak akan
mampu/berani menjadi seorang gay di tengah sebuah negara yang
menerapkan hukuman mati bagi LGBTIQ.
Panseksual bisa jadi adalah false science yang terus direproduksi
oleh politik identitas dan kapitalisme. Wacana yang terus
menciptakan pola-pola kaku yang tidak bisa bekerja dalam realitas dan
cacat logika.