Beberapa
hari yang lalu aku membaca sebuah artikel yang dibuat oleh Arundhati
Roy. Sebagai seseorang yang bekerja di sebuah LSM dan tercatat
sebagai anggota aktif sebuah CBO. Rasanya seperti tercambuk-cambuk,
sakit tetapi ini bukan saatnya untuk menyangkal. Hal itu yang
membuatku memutuskan untuk menulis pengalamanku di dalam gerakan
sebagai sebuah refleksi.
Beberapa
tahun yang lalu aku bergabung sebagai salah satu CBO (Community Based
Organization) di Yogyakarta, Aku begitu bersemangat, seolah
mendapatkan sebuah pencerahan. Pencerahan itu adalah kesadaran baru
untuk melihat suatu permasalahan. Suatu hal yang sebelumnya aku
anggap lumrah terjadi padahal termasuk kekerasan dan melanggar hak
asasi manusia, misalnya razia Satpol PP, kekerasan domestik dsb.
Bermulai
dari bagaimana aku melihat masalah dengan perspektif yang berbeda.
Aku pun mulai sadar betapa pentingnya berorganisasi dan terlibat
aktif dalam CBO. Setidaknya hal itu yang aku percayai waktu itu.
Namun
semakin dalam aku terlibat di dalam CBO dan jaringannya, timbul
sebuah keraguan. Pandanganku mulai goyah. Ada sebuah kultur di dalam
dunia aktivis yang membuatku tidak simpati. Banyak aktivis yang
memiliki jabatan penting di organisasi mulai pergi mengikuti acara
nasional atau bahkan ke luar negeri hingga lupa berkomunitas. Anehnya
banyak anggota komunitas justru berlomba-lomba untuk mengikuti jejak
sang aktivis. Mereka bergantian mengantri untuk dikirim mewakili
organisasi. Ketika mereka dikirim mewakili organisasi, akan ada uang
perdiem. Sejenis tunjangan yang jumlahnya cukup besar jika
dibandingkan dengan gaji bulanan seorang aktivis di CBO. Aku tahu,
CBO tak mampu memberikan kebutuhan materi yang layak bagi
aktivis-aktivis ini. Tetapi semakin lama aku merasa, ada uang yang
sedang digali bersama-sama di dalam CBO. Aku tidak ingin menghakimi
siatuasi ini dengan benar atau salah. Masalah-masalah seperti ini
tidak berdiri tunggal. Tetapi gerakan tidak bisa berakhir seperti
ini. Masih ada ruang refleksi, sebagaimana aku memutuskan untuk
menulis ini semua.
Pertama,
tercipta jurang kekuasaan yang tinggi antara aktivis dan komunitas.
Aku sebenarnya sangat benci menggunakan dua kata tersebut untuk
menggambarkan sekat yang telah terjadi. Seharusnya, siapapun yang
bergabung di dalam CBO adalah aktivis bukan? Aku akan mengambil
sebuah pengalaman yang pernah terjadi. Suatu hari seorang aktivis
pernah mereka mengatakan bahwa komunitas tidak tahu tentang keamanan.
Aku sengaja mengambil contoh ini karena bagiku persoalan keamanan
sangat dilematis. Tetapi pernyataan seorang aktivis tadi yang
mengatakan bahwa komunitas tidak tahu apa-apa tentang keamanan
sebenarnya telah menempatkan komunitas sebagai orang bodoh dan
sebatas obyek program. Bukan hanya itu saja, aktivis mulai
menciptakan nilai-nilai baru yang sangat biner, benar-salah, di
tengah situasi yang sama sekali tidak ideal di komunitas. Mereka
terlihat benar dengan teori yang diagung-agungkan. Sementara
komunitas yang besar dengan kultur lokal mereka, terlihat sebagai
kelompok yang perlu dikoreksi seketika.
Kedua,
Aktivis yang kompromis. Kebanyakan CBO mendapatkan pendanaan dari
lembaga funding lokal dan internasional. Aktivis menyusun program
sesuai dengan tema-tema yang diajukan oleh lembaga funding. Padahal
belum tentu komunitas memiliki kebutuhan atau masalah yang sesuai,
atau program itu tidak menyelesaikan masalah akar. Situasi ini sangat
dilematis, aktivis berada diantara menghidupi CBO-nya tempat dia
mencari penghidupan dan kepentingan komunitas.
Belum
lama ini aku mendapatkan informasi jika salah satu syarat untuk
menerima funding adalah dengan berkolaborasi dengan stakeholder
(pemerintah). Aku cukup kaget permintaan dari lembaga funding ini.
Bagaimana CBO bisa berkolaborasi dengan pemerintah jika pemerintah
sendiri diskriminatif? Aktivis kali ini menjadi jembatan kompromi
antara komunitas dan pemerintah. Secara tidak langsung program
kolaborasi seperti ini tidak akan memecahkan akar masalah dan justru
meredam gejolak perubahan di tengah komunitas.
Ketiga,
isu kesejahteraan aktivis. Sejak munculnya pemikiran bahwa aktivis
adalah roda utama gerakan. Maka wacana kesejahteraan aktivis
(wellness) dimunculkan. Seperti yang sempat aku katakan di atas bahwa
CBO memiliki batasan untuk memenuhi kesejahteraan aktivis.
Mengkritisi hal ini seperti seseorang buta yang ngotot memperdebatkan
keindahan visual. Walau aku tahu hal ini sangat bisa diperdebatkan.
Menurutku seseorang yang bergabung dalam gerakan seharusnya tahu akan
situasi dan pilihan hidupnya. Namun yang aku lihat, aktivis ini
pelan-pelan merangkak naik kelas dan lupa kenapa perlu berjuang. Atau
perjuangan diibaratkan sebuah kerja yang harus ditukar dengan imbalan
yang layak.
Situasi-situasi
seperti ini telah menciptakan kelas dalam komunitas. Mereka adalah
aktivis yang dengan situasinya berada terpisah. Menurutku perjuangan
dengan model aktivis seperti ini adalah perjuangan semu yang tak akan
pernah meraih akar masalah. Perjuangan seharusnya dilakukan
bersama-sama tanpa menonjolkan kelompok tertentu (elit). Aku tidak
pernah suka sebuah gerakan selalu menonjolkan sosok tertentu.
Akhirnya, kita bisa lihat bagaimana tokoh yang ditonjolkan naik
semakin menjulang bergabung dengan kekuasan.
Tulisan
ini bukan bermaksud mengerdilkan aktivis lain yang dengan tulus
berjuang untuk komunitas. Aku yakin mereka masih ada dan aku selalu
hormat dengan mereka. Tulisan ini aku buat sebagai sebuah titik
kritis atas situasi gerakan supaya kita bisa berpikir kembali, untuk
apa kita bergerak bersama komunitas selama ini? Jangan-jangan kita
telah lupa mimpi perjuangan.
Numpang promo ya Admin^^
ReplyDeleteajoqq^^com
mau dapat penghasil4n dengan cara lebih mudah....
mari segera bergabung dengan kami.....
di ajopk.club....^_~
segera di add Whatshapp : +855969190856