Tuesday, 19 February 2019

LSMisasi menciptakan elit aktivis


Beberapa hari yang lalu aku membaca sebuah artikel yang dibuat oleh Arundhati Roy. Sebagai seseorang yang bekerja di sebuah LSM dan tercatat sebagai anggota aktif sebuah CBO. Rasanya seperti tercambuk-cambuk, sakit tetapi ini bukan saatnya untuk menyangkal. Hal itu yang membuatku memutuskan untuk menulis pengalamanku di dalam gerakan sebagai sebuah refleksi. 

Beberapa tahun yang lalu aku bergabung sebagai salah satu CBO (Community Based Organization) di Yogyakarta, Aku begitu bersemangat, seolah mendapatkan sebuah pencerahan. Pencerahan itu adalah kesadaran baru untuk melihat suatu permasalahan. Suatu hal yang sebelumnya aku anggap lumrah terjadi padahal termasuk kekerasan dan melanggar hak asasi manusia, misalnya razia Satpol PP, kekerasan domestik dsb.

Bermulai dari bagaimana aku melihat masalah dengan perspektif yang berbeda. Aku pun mulai sadar betapa pentingnya berorganisasi dan terlibat aktif dalam CBO. Setidaknya hal itu yang aku percayai waktu itu.

Namun semakin dalam aku terlibat di dalam CBO dan jaringannya, timbul sebuah keraguan. Pandanganku mulai goyah. Ada sebuah kultur di dalam dunia aktivis yang membuatku tidak simpati. Banyak aktivis yang memiliki jabatan penting di organisasi mulai pergi mengikuti acara nasional atau bahkan ke luar negeri hingga lupa berkomunitas. Anehnya banyak anggota komunitas justru berlomba-lomba untuk mengikuti jejak sang aktivis. Mereka bergantian mengantri untuk dikirim mewakili organisasi. Ketika mereka dikirim mewakili organisasi, akan ada uang perdiem. Sejenis tunjangan yang jumlahnya cukup besar jika dibandingkan dengan gaji bulanan seorang aktivis di CBO. Aku tahu, CBO tak mampu memberikan kebutuhan materi yang layak bagi aktivis-aktivis ini. Tetapi semakin lama aku merasa, ada uang yang sedang digali bersama-sama di dalam CBO. Aku tidak ingin menghakimi siatuasi ini dengan benar atau salah. Masalah-masalah seperti ini tidak berdiri tunggal. Tetapi gerakan tidak bisa berakhir seperti ini. Masih ada ruang refleksi, sebagaimana aku memutuskan untuk menulis ini semua.

Pertama, tercipta jurang kekuasaan yang tinggi antara aktivis dan komunitas. Aku sebenarnya sangat benci menggunakan dua kata tersebut untuk menggambarkan sekat yang telah terjadi. Seharusnya, siapapun yang bergabung di dalam CBO adalah aktivis bukan? Aku akan mengambil sebuah pengalaman yang pernah terjadi. Suatu hari seorang aktivis pernah mereka mengatakan bahwa komunitas tidak tahu tentang keamanan. Aku sengaja mengambil contoh ini karena bagiku persoalan keamanan sangat dilematis. Tetapi pernyataan seorang aktivis tadi yang mengatakan bahwa komunitas tidak tahu apa-apa tentang keamanan sebenarnya telah menempatkan komunitas sebagai orang bodoh dan sebatas obyek program. Bukan hanya itu saja, aktivis mulai menciptakan nilai-nilai baru yang sangat biner, benar-salah, di tengah situasi yang sama sekali tidak ideal di komunitas. Mereka terlihat benar dengan teori yang diagung-agungkan. Sementara komunitas yang besar dengan kultur lokal mereka, terlihat sebagai kelompok yang perlu dikoreksi seketika.

Kedua, Aktivis yang kompromis. Kebanyakan CBO mendapatkan pendanaan dari lembaga funding lokal dan internasional. Aktivis menyusun program sesuai dengan tema-tema yang diajukan oleh lembaga funding. Padahal belum tentu komunitas memiliki kebutuhan atau masalah yang sesuai, atau program itu tidak menyelesaikan masalah akar. Situasi ini sangat dilematis, aktivis berada diantara menghidupi CBO-nya tempat dia mencari penghidupan dan kepentingan komunitas.

Belum lama ini aku mendapatkan informasi jika salah satu syarat untuk menerima funding adalah dengan berkolaborasi dengan stakeholder (pemerintah). Aku cukup kaget permintaan dari lembaga funding ini. Bagaimana CBO bisa berkolaborasi dengan pemerintah jika pemerintah sendiri diskriminatif? Aktivis kali ini menjadi jembatan kompromi antara komunitas dan pemerintah. Secara tidak langsung program kolaborasi seperti ini tidak akan memecahkan akar masalah dan justru meredam gejolak perubahan di tengah komunitas.

Ketiga, isu kesejahteraan aktivis. Sejak munculnya pemikiran bahwa aktivis adalah roda utama gerakan. Maka wacana kesejahteraan aktivis (wellness) dimunculkan. Seperti yang sempat aku katakan di atas bahwa CBO memiliki batasan untuk memenuhi kesejahteraan aktivis. Mengkritisi hal ini seperti seseorang buta yang ngotot memperdebatkan keindahan visual. Walau aku tahu hal ini sangat bisa diperdebatkan. Menurutku seseorang yang bergabung dalam gerakan seharusnya tahu akan situasi dan pilihan hidupnya. Namun yang aku lihat, aktivis ini pelan-pelan merangkak naik kelas dan lupa kenapa perlu berjuang. Atau perjuangan diibaratkan sebuah kerja yang harus ditukar dengan imbalan yang layak.

Situasi-situasi seperti ini telah menciptakan kelas dalam komunitas. Mereka adalah aktivis yang dengan situasinya berada terpisah. Menurutku perjuangan dengan model aktivis seperti ini adalah perjuangan semu yang tak akan pernah meraih akar masalah. Perjuangan seharusnya dilakukan bersama-sama tanpa menonjolkan kelompok tertentu (elit). Aku tidak pernah suka sebuah gerakan selalu menonjolkan sosok tertentu. Akhirnya, kita bisa lihat bagaimana tokoh yang ditonjolkan naik semakin menjulang bergabung dengan kekuasan.

Tulisan ini bukan bermaksud mengerdilkan aktivis lain yang dengan tulus berjuang untuk komunitas. Aku yakin mereka masih ada dan aku selalu hormat dengan mereka. Tulisan ini aku buat sebagai sebuah titik kritis atas situasi gerakan supaya kita bisa berpikir kembali, untuk apa kita bergerak bersama komunitas selama ini? Jangan-jangan kita telah lupa mimpi perjuangan.

1 comment:

  1. Numpang promo ya Admin^^
    ajoqq^^com
    mau dapat penghasil4n dengan cara lebih mudah....
    mari segera bergabung dengan kami.....
    di ajopk.club....^_~
    segera di add Whatshapp : +855969190856

    ReplyDelete