Matahari sudah kembali ke
peraduannya, lampu-lampu kota menyala di sepanjang Jalan Mangkubumi. Waktu itu
hujan rintik, saya duduk di depan Indomaret tak jauh dari Stasiun Tugu. Satu
per satu kawan-kawan hadir. Hari itu Hari Minggu, kami akan mengadakan
#PAKSUTRIS, salah satu agenda turun lapangan dari Save Street Child Jogja. Ada
belasan kawan yang datang sore itu, mereka adalah keluarga baruku.
Sudah sekitar setengah
tahun saya bergabung dengan sebuah komunitas bernama Save Street Children Jogja
atau yang dikenal dengan SSC Jogja. Sebenarnya saya sudah cukup lama mendengar
adanya komunitas ini yaitu sekitar tahun 2011 tetapi baru pada pertengahan
tahun 2013 bisa bergabung dengan komunitas ini.
Awal cerita, saya bertemu
dengan komunitas ini secara langsung di bunderan UGM. Mereka memiliki agenda
rutin bernama #PAKSUTRIS (Paket Susu Gratis) tiap minggu sore. Kegiatan ini
adalah ruang bagi volunteer untuk
saling bertemu dan juga menjadi ruang berbagi kepada adik-adik di jalanan
dengan memberi susu secara gratis.
Kebanyakan volunteer SSC Jogja
adalah anak-anak muda yang masih kuliah di Yogyakarta. Saya cukup salut kepada
kawan-kawan SSC Jogja yang mau berbagi dengan kaum marjinal di sela-sela kuliah
yang cukup padat dan aktivitas lainnya. Ketua SSC Jogja pada waktu itu adalah
Arga Aditya seorang mahasiswa ISI Jogja.
SSCJ adalah bagian dari
keluarga besar Save Street Children yang saat ini sudah berada di 17 kota di
Indonesia. SSC Jogja berdiri pada tanggal 7 Agustus 2011 yang diinisiasi oleh
Aris Setyawan yang juga mahassiwa ISI. Awalnya komunitas ini terkenal dengan
“ngamen bareng anak-anak jalanan”. Namun semenjak SSC Jogja dinahkodai oleh
Arga, SSC Jogja lebih fokus mendampingi anak-anak jalanan untuk belajar baca,
tulis dan hitung. Pada waktu itu SSCJ memiliki dua kelas, yaitu Kelas
Tegalmojo, Monjali dan Kelas Badran, Jalan Godean.
Menyelami Dunia Anak Jalanan
Pertama kali bergabung saya
belajar untuk berinteraksi dengan anak-anak khususnya anak jalanan. Hal
tersebut cukup menantang bagiku karena saya belum memiliki pengalaman dengan
anak jalanan sebelumnya. Menurutku karakter anak jalanan berbeda dengan
anak-anak pada umumnya. Karakter anak jalanan cenderung lebih eksplisit dan
bebas. Hal yang paling mencolok mungkin adalah dandanan mereka. Lihat saja
dandanan ala punk dan hip-hop mereka. Kadang saya berpikir
darimana mereka memperoleh ide, baju dan aksesoris itu. Berinteraksi dengan mereka seolah
berinteraksi dengan anak yang jauh lebih tua dari umur mereka sesungguhnya.
Pendekatan yang digunakan
pun berbeda. Saya banyak belajar dari kawan-kawan SSC Jogja. Misalnya, kita
harus menempatkan diri kita sejajar dengan mereka, bukan seperti guru-murid
atau kakak-adik tetapi sebagai seorang teman.
Saya masih ingat salah
satu usahsaya untuk mendekati mereka. Melihat tren di kalangan adek-adek kami
yang serba hardcore dan rapper, saya mulai mendengarkan beberapa
musik NOK37, Los Psayaalamos dan band-band hip-hop lokal. Upaysaya berhasil,
berbicara dengan bahasan yang mereka tahu mendekatkanku lebih dekat dengan
mereka. Bahkan pernah saya diajak untuk nonton konser musik dengan mereka.
Eksperimen lain juga
pernah saya lsayakan yaitu menggunakan Bahasa Jawa Kromo ketika berbicara
dengan mereka. Hal tersebut saya dapat dari wejangan Mbak Weldy seorang aktivis
yang giat bergerilya dijalanan mendampingi anak-anak jalanan. Saya mencoba
menggunakan Bahasa Jawa Kromo ketika berbincang dengan adek-adek jalanan. Tutur
kata mereka yang biasanya eksplisit berubah menjadi santun. Saya terkejut,
siapa bilang mereka liar dan tidak bisa santun.
Sejak saat itu saya mulai
belajar untuk lebih memahami karakter dan dunia anak jalanan, khususnya di
sekitar Jalan Mangkubumi dan Malioboro. Mendekati anak-anak jalanan tidak bisa
menggunakan pendekatan biasa. Kita harus mencoba masuk ke dalam dunia mereka
yang sesungguhnya dan mencoba untuk lebih fleksibel merespon hal-hal yang
mungkin berbeda dengan kehidupan sehari-hari kita. Kita juga harus menanggalkan
sikap judgemental kita kepada mereka.
Buang jauh-jauh stigma kita bahwa
anak jalanan adalah anak nakal, anak liar dan kriminal. Tetapi bukan berarti
kita tidak bisa menentukan sikap jika ada suatu hal yang salah, misal ketika
mereka bertutur kata kasar dan perilsaya kasar kita harus mengingatkan mereka
bahwa hal tersebut tidak baik.
Menyelami kehidupan
anak-anak jalanan memberikanku gambaran mengenai kehidupan mereka. Kadang saya
merenung, anak sekecil mereka sudah menghadapi kehidupan jalanan yang bebas dan
keras sementara anak-anak kecil seumuran mereka sedang asyik bermain dan
belajar. Perilsaya mereka yang bebas membuat mereka dijuluki sebagai “anak
nakal”. Apakah itu adil? Hal itulah yang saya sering dengar ketika berdiskusi
dengan aparatus negara dan orang-orang yang katanya ahli.
Anak kecil menurutku
seperti kertas putih, perilsayanya tercermin dari apa yang dilihat dan
dipelajarinya. Mereka semata-mata tidak pantas disalahkan atas karakter yang
terbentuk dari pengaruh lingkungannya. Justru mereka sebenarnya adalah korban
kekerasan.
Kekerasan yang saya
pahami dapat berupa kekerasan verbal, fisik dan struktural. Kekerasan verbal
berupa ucapan, makian sedangkan fisik contohnya adalah pemukulan. Hal-hal
tersebut saya cermati menjadi hal-hal yang lazim dalam keseharian mereka.
Pernah ketika saya
mengajar di Badran bersama kawan-kawan di rumah Bu Waginah, seorang ibu dari
adik kami yang tinggal bersama keluarga lain di satu rumah kontrakan. Kami
sedang asyik mengobrol dengan adik-adik. Tiba-tiba dari luar rumah masuk
seorang suami dan istri. Dari gelagatnya istrinya sedang kesal sementara
suaminya berusaha memberikan pengertian dengan mengejarnya ke dalam rumah.
Mereka seolah tidak
peduli dengan keberadaan kami. Mereka masuk dari dalam kamar. Dari dalam kamar saya
mendengar bantingan dan suara pemukulan. Saya sempat panik berada di tengah
kejadian tersebut. Tetapi saya malah terheran-heran melihat adik-adik kami yang
masih bisa tertawa dan fokus belajar bersama kakak pengajar.
Dari potret tersebut saya
melihat bahwa kekerasan verbal dan fisik adalah hal yang lazim bagi mereka.
Bahkan saya pernah mendengar bahwa mereka kadang adalah korban kekerasan itu
sendiri. Saya kira hal itulah yang menjadi salah satu faktor yang membentuk
karakter mereka.
Bentuk lain dari
kekerasan adalah kekerasan struktural. Kekerasan struktural adalah kekerasan
yang dilakukan oleh pemerintah atau sistem. Kemiskinan dan diskriminasi adalah
bentuk dari kekerasan struktural karena bersifat sistemik. Adik-adik kami yang
tidak punya rumah atau yang tinggal di kawasan kumuh adalah bentuk riil. Bukankah
menurut undang-undang adik-adik kami ini dipelihara oleh negara atau dengan
kata lain hak-haknya harus dipenuhi negara?
Jadi menurut saya kita
harus memandang lebih lebih luas dan dalam mengenai kehidupan anak jalanan.
Kita tidak boleh semata menyalahkan mereka tanpa tahu masalah yang sedang
mereka hadapi. Mereka bukan orang yang pantas diusir dari kota istimewa ini,
mereka justru adalah orang yang perlu kita perjuangkan.
Menatap Masa Depan SSC Jogja
Pernah seorang kawan
berkata sebelum membantu orang lain kita harus membantu diri kita terlebih
dahulu. Barulah setelah mapan kita bisa membantu orang lain lebih maksimal.
Walau ada keraguan dalam diri saya pribadi mengenai mapan dan kapan bisa mapan,
tetapi perkataan kawan saya ini ada benarnya.
Pada waktu Arga, ketua
SSC Jogja generasi II, masih menjadi Ketua SSC Jogja sebagian besar pekerjaan
dan tangung jawab kegiatan SSC Jogja dipegang oleh dia sendiri. Memang sudah
ada struktur organisasi yang cukup sederhana seperti bendahara, sekretaris.
Tetapi setelah saya dan kawan-kawan berdiskusi kembali mengenai kondisi SSC
Jogja saat itu dan untuk kedepan. Kami menilai manajemen organisasi SSC Jogja
belum tertata dengan rapi.
Ada beberapa pertimbangan
yang kami pikirkan yaitu pertama keberlanjutan SSC Jogja kedepan. Kedua,
dependensi kepada satu sosok tidak baik bagi gerakan sosial seperti SSC Jogja.
Ketiga, kontribusi SSC Jogja kepada anak-anak jalanan akan lebih maksimal jika
bisa melibatkan lebih banyak kawan-kawan. Keempat, arah gerakan SSC Jogja yang
belum terkonsepsi dengan baik.
Atas pertimbangan hal-hal
tersebut maka untuk pertama kalinya SSC Jogja mengadakan musyawarah anggota
dimana kami secara bersama-sama merekontruksi organisasi SSC Jogja agar sesuai
dengan kebutuhan dan konteks ruang lingkup gerakan kami.
Hasil dari musyawarah
anggota tersebut, kami merumuskan visi SSC Jogja yaitu “Meningkatkan taraf hidup anak jalanan dan anak marjinal.” Taraf
hidup bisa dimaknai dengan meningkatnya kesejahteraan anak-anak baik dibidang
ekonomi, sosial politik dan budaya. Kini pelan-pelan SSC Jogja merubah sedikit
orientasi gerakannya yang pada awalnya hanya berfokus pada pendidikan saja
tetapi lebih luas lagi.
Kami juga tidak hanya
berfokus pada anak-anak saja tetapi pelan-pelan pandangan kami semakin meluas
kepada peran orang tua, lingkungan sekitar bahkan pemerintah. Berbicara
mengenai anak jalanan dan permasalahannya tidak bisa dilihat secara parsial. Posisi
anak jalanan dalam keluarga dan lingkungan menunjukkan bahwa masalah yang
terkait dengan anak jalanan ini tidak bisa dipisahkan dari peran pihak lain.
Sebagai contoh fenomena anak
jalanan yang mengamen di jalanan. Kita harus mencoba menggali permasalahan
tersebut tidak hanya dari anak jalanan tetapi juga peran orang tua sebagai
pengasuh dan peran negara yang menjamin hak-hak anak.
Bisa dikatakan SSC Jogja
telah melakukan sebuah reformasi dari gerakan mengajar menjadi gerakan advokasi
di bidang pendidikan, ekonomi, sosial politik, kesehatan, dan budaya.
Advokasi pendidikan adalah
upaya yang kami lsayakan untuk merespon masalah pendidikan yang kami temukan di
lapangan. Kegiatan baca, tulis dan hitung masih kami lsayakan secara rutin. Di
sela-sela kegiatan tersebut kami menambahkan tambahan materi seperti
kreativitas dan sains. Materi kreativitas seperti membuat kerajinan tangan
sedangkan sains berupa eksperimen ilmu pengetahuan alam sederhana. Kami juga
melsayakan pendampingan kepada adek-adek kami yang ingin kembali ke sekolah
formal atau sekolah informal.
Sejauh tulisan ini
dimuat, kami sudah membantu seorang anak bernama Wiwin untuk kembali sekolah di
sekolah dasar. Kami juga sedang merencanakan untuk memasukkan satu anak lagi di
sekolah yang sama dengan Wiwin. Di sisi lain kami juga mencoba untuk mendekati
adik-adik kami yang lain seperti Bagas, Sigit dan Anjar untuk bersekolah di
Kejar Paket A.
Di bidang advokasi
kesehatan kami berupaya untuk mendampingi anak jalanan ketika mereka
membutuhkan bantuan untuk mengakses fasilitas kesehatan dan edukasi kesehatan. Terkait
dengan bidang kesehatan kami pernah bekerja sama dengan Bank Sampah untuk
memperkenalkan hidup bersih secara sederhana seperti bagaimana kita memandang
sampah dan pentingnya mencuci tangan.
Kami juga pernah
mendampingi salah satu Ibu adik kami, Bu Waginah, yang harus melsayakan operasi
katarak. Kendala biaya menjadi masalah beliau untuk melsayakan operasi.
Kawan-kawan SSC Jogja berupaya membantu beliau dengan cara pendampingan akses
jaminan kesehatan sosial.
Sedikit demi sedikit SSC
Jogja semakin besar saat ini. Jumlah volunteer juga semakin banyak, tercatat
sekitar 44 orang bergabung menjadi volunteer SSC Jogja. Kegiatan SSC Jogja pun
semakin beragam dan kami juga mulai menjalin kerjasama dengan berbagai pihak
yang memiliki isu yang sama.
Kami merasa bahwa SSC Jogja
sendiri tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan yang ada di Yogyakarta.
Tetapi jika kami berjejaring dengan komunitas atau organisasi yang lain kami
bisa bahu membahu untuk sama-sama bergerak. Lebih jauh lagi kami pun bisa
mendorong pemerintah secara lebih massive
dengan menyuarakan isu yang sama.
Di umur yang mendekati 3
tahun ini kami cukup bersyukur masih bisa menghidupkan SSC Jogja sebagai wadah
yang peduli terhadap jalanan.
Bukan Memberi Uang
Bagi sebagian orang yang mungkin
memberi dapat diartikan sebagai memberikan sesuatu kepada orang yang
membutuhkan. Contoh yang paling mudah adalah dengan memberikan sedekah (uang)
kepada anak jalanan. Memberikan sesuatu kepada yang membutuhkan adalah
kewajiban karena dibalik harta yang dimiliki terdapat hak-hak untuk orang lain.
Tetapi apakah pemberian itu benar-benar bermanfaat? Atau jangan-jangan ada sisi
lain yang tidak pernah kita duga selama ini.
Memberi bisa jadi bukan
sebuah solusi yang bersifat berkelanjutan bahkan hal tersebut bisa membuat si
penerima uang justru menjadi tergantung dengan pemberian. Mereka yang
sebenarnya masih punya daya untuk bekerja akhirnya justru terjebak pada zona
nyaman atas pemberian tersebut.
Tidak bisa dipungkiri
bahwa anak-anak jalanan butuh uang untuk makan sehari-hari. Tetapi jika kita
berpikir kembali mengenai memberikan uang kepada mereka, bagaimanakah sisi
kemanfaatan dari pemberian tersebut?
Saya meyakini ada hak
mereka atas apa yang saya miliki saat ini. Kepedulian dan perjuangan ini adalah
hak mereka, bukan semata sebagian harta yang kita miliki adalah milik mereka.
Kadang kita tersibukkan dengan kegiatan kita masing-masing hingga berkata tidak
memiliki waktu untuk berkegiatan sosial dan cukup dengan bersedekah saja.
Apakah benar demikian? Waktu satu hingga dua jam saja dalam semingu tidak bisa
kita luangkan?
Kami memiliki seorang
kawan yang berprofesi sebagai auditor. Saya yang saat ini masih berkuliah di
Fakultas Ekonomi memiliki sedikit gambaran mengenai salah satu profesi ini. Ditengah
kesibukan proyek dan deadline, dia
masih mampu meluangkan waktunya berbagi di komunitas SSC Jogja. Kenapa kita
tidak bisa?
Kenapa tidak mencoba meluangkan
waktu untuk orang-orang disekitar kita. Kadang mereka tidak membutuhkan uang,
justru sorang kawan yang memperhatikan mereka. Menjadi pendengar atas keluh
mereka dan menjadi bagian keluarga dari kehidupan mereka. Bukankah hal tersebut
lebih berarti?
SSC Jogja adalah
komunitas yang peduli terhadap permasalahan anak jalanan di Yogyakarta. Peduli
yang saya maksud bukan sekedar memberikan uang kepada anak-anak jalanan.
Bersama SSC Jogja saya belajar untuk berbagi kehidupan dengan mereka. Layaknya
hubungan sesama, kami menganggap mereka sebagai kawan bukan orang yang dianggap
lebih rendah sehingga perlu kita bantu. Bukankah sudah selayaknya manusia itu
setara dan saling membantu bukan?
Sebenarnya tanpa saya
sadari mereka banyak membantu saya untuk lebih bersyukur atas apa yang saya
miliki. Mereka juga menunjukkan kepada saya bagaimana arti perjuangan hidup
itu. Dari apa yang saya miliki saat ini, tempat tinggal dan berbagai fasilitas
mapan lainnya. Saya adalah orang buta jika tidak bisa bersyukur dan hanya
berdiam diri melihat masalah jalanan yang nyata.
Peduli terhadap anak
jalanan juga kami maknai sebagai ketulusan kami kepada mereka. Sejauh ini kami
belum pernah memakai funding sebagai
sumber pendanaan kami. Berdasar pengalaman kawan, kadang jika menggunakan funding maka gerakan akan tersetir oleh
proposal dan kurang peka dengan konteks lapangan yang kadang berubah dari
perencanaan.
Hal yang kami upayakan
untuk mendanai kegiatan kami adalah dengan mengumpulkan kertas bekas, botol,
baju bekas yang kami jual ke pengepul. Barang-barang tersebut kami peroleh dari
donatur-donatur yang mengetahui informasi dari sosial media kami.
Memang kami tidak
memiliki kas yang besar bahkan basecamp
pun kami tidak punya. Tetapi ada suatu kebanggaan bergabung dengan komunitas
ini. Bagiku bergabung dengan SSC Jogja, saya merasakan nafas gerakan sosial
yang sesungguhnya.
No comments:
Post a Comment