Lagu itu terus berputar bersama rokok yang tak mau padam. Sejak hari itu, ketika seorang kawan sengaja mengirimkan sebuah lagu tentang kehilangan. Aku menjelajah sosok penyanyi itu dan terhanyut ke dalam lirik, lagu, dan rasa magisnya. Lagu-demi lagu terputar dan memaknai diriku. Aku tidak ingin membicarakan lagu.
Aku sering berkata kepada temanku bahwa diriku ini "heartless". Mereka pun mengamini. Aku pun menganggap bahwa "heartless" adalah sebuah kesempurnaan. Begitu saja tanpa sebuah pengingkaran. Namun alunan-alunan lagu itu membuatku ragu. Ia telah mampu membangkitkan memori-memori yang terlelap jauh dan telah aku logikakan. Seolah-olah membuatku menjadi seorang munafik begitu saja. Menghina keyakinanku selama ini tentang "heartless".
Hujan di luar deras menghujam. terlalu deras seperti sedang menghukum manusia-manusia lemah itu. Aku sebenarnya ingin pergi agar tak terlalu hanyut dengan lagu dan memori. Namun aku terlalu takut keluar dan memutuskan sembunyi dibalik rumah.
Lama aku tunggu tak juga reda. Hujan itu dan angin membuatnya mengamuk, memporak-porakan pohon dan semuanya. Hatiku berguncang. tanganku gemetar. Aku tak bisa melupakan memori itu. Bahasa yang terdengar logis yang sebenarnya juga berarti kenangan dalam bahasa yang lebih "heartfull".
Friday, 29 December 2017
Wednesday, 13 September 2017
Setan di Dalam
Apa
yang lebih berbahaya antara malaikat yang nampak seperti setan, ataukah setan
yang terlihat seperti malaikat? Laki-laki itu dulunya tenang, tak terusik.
Hingga suatu hari ia menemukan sesuatu yang mambangkitkan setan di dalam
jiwanya. Siapa yang akan sangka. Laki-laki itu terlihat sangat baik dengan
kegiatan filantropisnya. Ia juga sangat menarik dengan pengalaman di atas
rata-rata orang seumurannya. Siapa saja mungkin bisa terjebak untuk terpikat
dengannya, apalagi mereka telah rela berbincang lebih dari satu jam secara
intens.
Laki-laki
itu sebenarnya telah mencari sebuah ketenangan dalam dunia asing yang tak
mengenal kedekatan. Ia menyendiri dalam sebuah luka dan ingatan dosa-dosa.
Sesuatu yang memenjaranya untuk melakukan dosa-dosa itu lagi. Sayang, Tuhan tak
rela ia menjadi orang baik. Suatu hari dia bertemu dengan seseorang yang
membuat setan itu pelan-pelan meniupi kupingnya. Membangkitkan masa lalu kelam
yang memenjarakannyanya selama ini.
Orang
yang ditemuinya hari itu adalah anak muda baik-baik. Atau bahkan dia sangat
lugu dengan ketidaktahuannya. Lalu semacam bisa dikatakan bodoh berkat rasa
keingintahuannya yang polo situ. Dia tidak pernah tahu dunia gelap dan kelam
semacam ini. Setan itu mampu melihat celah, lalu dengan dayanya ia mengontrol
mulut laki-laki dan berhasillah setan mengambil hati anak muda itu. Anak muda
yang baru saja merayakan fase dewasanya, percayalah dia akan suatu keselamatan keselamatan
di dalam dunia gelap dan kelam. Sesuatu kesempatan lebih jauh yang akan
membuatnya semakin terjerumus, menjadi tumbal setan yang terlelap sekian lama.
Suatu
hari mereka bertemu di sebuah mall cukup mewah mewah di Kota Jogja. Bagi anak
lugu itu, hal itu sangat jarang baginya. Setan itu selalu tahu kelemahan anak
itu, ia juga semakin pandai membuat anak itu terkagum-kagum padanya. Memang
itulah caranya setan menjadi lebih kuat. Ia melihat seorang anak tak berdaya,
seolah rela menjadi pesakitan (masokhis). Naluri itu membuat laki-laki itu haus,
rasa yang selama ini telah lenyap dan kembali lagi. Hanya dengan menatap anak
itu dia sudah tahu betapa nikmatnya. Apalagi ketika angin secara sengaja
mengirimkan bau keringat anak itu yang telah tercampur oleh pewangi kimia
murahan. Basa basi itu membuat laki-laki hampir memakannya mentah-mentah. Tapi
setan adalah seorang penasehat yang hebat. Hari itu mereka berakhir. Anak itu
pergi dengan sebuah keingintahuan. Laki-laki itu berpisah dengan hasrat yang
semakin menggelora. Seperti seorang serigala mempermainkan mangsanya. Dan itulah
yang setan inginkan sebenar-benarnya.
Hari-hari
berikutnya mereka bertemu kembali. Dengan kekuatannya, setan itu berhasil
menahan laki-laki itu untuk memangsa anak itu dan membiarkannya pergi begitu
saja. Tanpa sepengatahuan laki-laki, yang telah buta dengan hasratnya. Si anak
tak sengaja telah memupuk rasa yang selama ini tak pernah ia rasakan. Hatinya
telah jatuh pada sesuatu tanpa sebuah alasan lain kekaguman dan kepercayaan
akan penyelamat di dunia yang gelap dan kelam. Lalu anak muda itu akhirnya
mencari-cari dan menemukan sebuah definisi atas rasa yang ia alami. Itulah cinta.
Terpendam, membayang-bayang setiap saat. Membuat anak muda itu tahu rasa candu.
Tanpa
pernah setan duga, laki-laki itu sadar jalan yang sedang ia tempuh. Ia segera
berbalik menuju ruang kesendiriannya. Anak muda yang telah terjatuh, tak tahu
apa-apa. Dia hanya tahu laki-laki yang dikenalnya tidak pernah menghubunginya.
Ia terlalu sibuk dengan dirinya walau hanya untuk sekedar nonton film seperti
yang mereka lakukan dulu. Setelah cinta, anak muda itu akhirnya mengenal sebuah
rasa sakit. Bukan sakit seperti yang pernah ia derita. Ia tidak nampak. Tidak
terlihat. Namun rasanya begitu nyeri di ingatan, ngilu di relung hati. Dan anak
muda itu pun menyerah.
Setan
merasa tak berdaya. Berkali-kali ia membujuk
laki-laki itu tapi ia tak bergeming. Dia menikmati kesendiriannya di
dalam penjara. Tetapi setan bukanlah setan jika ia menyerah. Ia menggunakan
kekuatannya yang paling kuat. Kekuatan itu adalah menunggu.
Hari
yang ditunggu setan telah tiba. Laki-laki itu kembali membuka aplikasi kencan
dan ia menemukan kembali anak muda itu. Awalnya ia berpikir panjang untuk
membuka profile anak muda itu. Tapi ia terlanjur mencium hasratnya, bau yang
tak terhindarkan. Terkirimlah sebuah pesan dan dibalas dengan terbuka. Setan
girang bukan main. Kali ini ia tak lagi ingin berbasa-basi. Ia ingin laki-laki
itu menunjukkan wujudnya yang sebenarnya. Wujud dimana setan dan dirinya adalah
satu.
Tibalah
anak muda itu di rumah laki-laki. Ia sekali lagi terpana dengan suasana rumah
yang berbeda dari rumah-rumah lainnya. Berbeda juga dengan rumah keluarganya
yang terlalu normal, rumah seorang pegawa negeri dengan gambar Pancasila
lengkap dengan presiden dan wakilnya terpajang di ruang tamu. Lalu ada juga
kaligrafi arab yang menyesaki ruang tamu dengan warna yang terlalu mencolok dan
sebenarnya tidak serasi. Tapi ayahnya bersikeras jika tulisan arab akan
mengusir setan dari rumahnya.
Rumah
laki-laki itu penuh dengan lukisan, temboknya digambar besar. Seperti galeri
seni tetapi perabotan rumah membuat rumah itu tetap berfungsi sebagai rumah. Mereka
duduk di sofa hijau di depan televisi besar. Anak itu masih mengenakan jaket.
Matanya tak berani memandang laki-laki itu walau mereka sedang dalam
perbincangan. Laki-laki itu tak mau menunggu, ia mengalirkan hasratnya. Ia menangkap
tangan anak muda itu, dan tahulah ia sebenarnya dibalik jaket itu ia sedang
gemetaran. Laki-laki itu bertanya apakah anak muda itu baik-baik saja? Pertanyaan
basa-basi agar anak muda itu tak melawan. Dan benar, anak muda itu tak melawan
ketika tangannya menangkup di selangkangan laki-laki itu. Tangan anak muda itu
gemetar, tapi sebenarnya hal itulah yang ia inginkan selama ini. Menyentuh sesuatu
yang sama dengan miliknya, tetapi bukan miliknya. Anak muda itu menutup
matanya. Ia justru menemukan imajinasi liarnya. Keras dan panas. Ia pun
berakhir di sebuah ranjang.
Serigala
tak pernah memangsa dengan mudah. Ia dengan senang hati memainkan mangsanya
hingga ia menyerah. Seperti itulah yang laki-laki itu lakukan. Anak muda itu
tak tahu lagi ketika tubuhnya penuh sensasi. Rasa yang awalnya ia pertahankan
untuk tidak menikmatinya, tapi jebol juga karena kesadarannya lenyap. Laki-laki
itu tahu anak muda itu sedang tinggi, dan itulah saatnya. Dengan kekuatannya ia
membuat anak muda itu tak berdaya.
Terjadilah
apa yang diinginkan setan dan laki-laki itu. Ketika hasrat telah membuncah ia
melupakan kemanusiannya. Ia tak mampu mendengar, matanya telah buta. Hanya ada
satu hal di dalam pikirannya. Hanya ada kepuasan dirinya di dalam dirinya.
Ritual
itu telah selesai setelah benih-benih itu tercecer, di dalam dan di tubuh anak
muda itu. Setan sekejap lenyap. Ia pun turut puas. Baru kali ini laki-laki itu
tersadar bahwa anak muda itu sedang merintih, menangis.
Laki-laki
itu panik. Ia terdiam melihat anak muda itu terkulai lemas. Setan dan dia
adalah satu. Ia tersadar bahwa ia sebenarnya tak merasa kasihan atau mengasihi.
Ia membuka sebuah kotak di bawa tempat tidurnya. Laki-laki itu masih terampil
membuat simpul. Tak lama anak muda itu telah terikat tak berdaya. Anak muda itu
ketakutan tetapi tak berdaya melawan.
Laki-laki
dan setan adalah satu. Semua bukan suatu kebetulan. Anak muda itu terpilih
bukan suatu ketidaksengajaan. Anak muda itu ditakdirkan memainkan perannya. Suatu
peran bukan drama, atau bukan sekedar ritual, tetapi bagian dari puncak spiritual tertinggi. Laki-laki
itu memegang kemaluan anak muda itu. Ia tahu ia benar. Keras dan panas. Anak
muda itu telah memenuhi takdirnya.
Apakah
ada setan atau malaikat?
Sunday, 10 September 2017
Kepada Laut Yang Lebih Biru
Terik
menyengat kulit begitu kaki menginjak tanah gersang berkilau dengan gulma
tumbuh berserakan di atas lanskap datar yang seolah tak berujung. Bandara
sebesar ini, lebih bagus daripada bandara Kota Jogja. Lebih lengang. Tiba-tiba
kau mengatakan sebelumnya kau tidak turun di bandara ini. Pertama kali kau tiba
di sebuah bandara yang lebih kecil, buruk, tetapi lebih padat oleh orang.
Kata-katamu barusan, rencanamu ini, sebenarnya membuatku khawatir. Kau sedang
menapaki sisi masa lalumu, jalan gelap bersama orang lain yang kini kau kenal
sebagai musuh walau aku tahu hatimu tak pernah bisa jujur mengakuinya. Tak
selugas kata-kata yang kerap keluar dari mulutmu, penuh amarah dan benci.
Satu
hal yang selalu aku tidak suka tetapi menikmatinya ketika berada dalam perjalananmu
adalah kau selalu memilih jalur paling nyaman di antara berbagai pilihan orang
travelling. Tak perlu sebuah pencarian atau panggilan. Seseorang datang dengan
sebuah kertas dengan namamu tertera huruf capital, di depannya salutan mister
membuatmu semakin kokoh sebagai seorang yang lebih istimewa daripada seorang
pribumi sepertiku. Seseorang yang kau pikir sedang bergurau ketika aku
mengatakan diriku sebagai seorang proletar yang memimpikan sebuah perjuangan
kelas, sementara kau melihat dengan matamu sendiri aku hidup dalam kehidupanmu
yang jauh dari kata-kata marjinal itu. Kau sendiri memang tak pernah meyakini
ideology yang aku pelajari karena hidupmu begitu sederhana. Sesederhana kehidupan
keras di tanah gurun Australia dengan bencana banjir yang pernah menelan
kehidupan masa kecilmu. Atau cara hidup di dalam keluarga post man yang selalu
mengingatkanmu akan kerja keras. Jiwa yang aku rasakan sebagai seorang partner
bisnismu, bukan kekasihmu.
Kau diam selama perjalanan. Tak mungkin kau
menikmati perbincanganku dengan pak supir yang duduk sendirian dengan
kemudinya. Kemampuanmu berbahasa tak membiarkan dirimu menikmati candaan dan
ketertarikan dengan pulau ini. Lalu aku menelisik matamu, melampaui kaca mata
tebal, dan aku melihatmu terlarut dalam perjalanan sepanjang pantai. Perjalanan
yang kembali mengingatkanku pada hal yang tak aku suka tentang dia, walau
sebenarnya aku sendiri tak pernah bertemu dengannya. Rasa aneh yang
menyebalkan.
Kami
menjauhi batas pantai, menaiki sebuah bukit bebatuan. Sedikit saja kau tertawa
karena mobil terhuyung-huyung berjuang meloncati batu-batu padas. Aku
membiarkan dirimu dan melemparkan pandanganku ke jendela mobil. Sayup-sayup aku
melihat kembali lautan biru, semakin ke atas semakin jelas. Pulau ini begitu
indah dari atas. Pohon-pohon kelapa di antara pohon-pohon lain yang menjulang
tak mau kalah tinggi.
Pintu
mobil terlanjur terbuka oleh seorang penjaga yang sangat sigap menyambut tamu.
Sesuatu yang tak ingin itu terjadi, tapi biarlah. Mereka mengenalmu, menyambutmu,
dan mengucapkan terima kasih karena telah kembali lagi di villa mereka. Aku
berjalan di belakangmu, seperti seorang asistenmu, atau yang mereka anggap
sebagai penerjemahmu dan memang aku sering menerjemahkan keinginanmu yang
begitu banyak kepada orang-orang. Kami menaiki tangga menuju villa, lalu turun
lagi menuruni tangga, sepertinya mereka telah menguasai seluruh area puncak
bukit ini. Tempat paling tepat untuk melihat lautan, atau Kota Mataram dari
atas. Kau berhenti sejenak pada sebuah pintu dan tiba-tiba mengatakan apakah
dia akan mendapatkan kamar upgrade seperti dulu. Hatiku tiba-tiba berontak.
Sayang mulut ini tak sampai untuk mengatakan “Sudahlah! Kau bersamaku saat ini.
MOVE ON!”. Aku mengurung amarah yang membuncak dan melarutkan diri pada
kemewahan vila ini. Sial!
Pagi
harinya, setelah percintaan yang kami lakukan semalam. Dia menyerah duduk di
belakangku, pasrah pada sebuah motor matic yang gigih menampung 200 kg berat
tubuh kami. Awalnya kami ke Senggigi untuk sarapan. Cafe, resto, bar berderet
sepanjang jalan, memunggungi lautan. Tidak susah untuk memilih karena mereka
terlhat nampak serupa. Tidak semudah mengatakan bahwa Lombok adalah Bali 20
tahun kebelakang. Menurutku Lombok dan Bali itu berbeda dari berbagai sisi
budaya. Setelah memuaskan dirinya, aku memacu motor kami, dan tanpa kami sadari
telah membelah Pulau Lombok bolak-balik dalam sehari.
Malamnya
dia terkulai dengan AC yang disetel 18 derajat. Ketika aku melihatnya mengisap-isap
udara dari tenggorokan. Aku tersadar bahwa aku sudah keterlaluan. Sekali lagi
aku menyadari betapa berbeda kehidupan kami. Aku memeluknya agar di segera
tenggelam dalam dengkurannya. Sebelum dia tersungkur dalam ketidaksadarannya
dia mengatakan bahwa dia tidak pernah melakukan liburan seperti ini kecuali
dengan diriku. Hatiku berguncang. Aku tak bisa tidur malam itu.
Lautan
itu terpecah oleh kapal lancip dengan kecepatan yang mampu menghambur-hamburkan
rambut dan kadang membuat mataku terkena percikan garam lautan. Kami terus
melaju hingga Pulau utama tak terlihat. Di depan sana beberapa pulau berjejer. Aku
secara awam mengenalnya sebagai Gili, yang ternyata artinya sama dengan Pulau.
Aku
menapak kaki pada bibir pantai. Begitu aku melonjak, air membasahi celana. Lalu
ia menarikku untuk segera berenang dan meninggalkan kekasihku di pinggir pantai
dengan beernya. Aku tak pernah tahu apakah dia sedang melihatku atau laki-laki
lain dalam sunglassesnya. Tapi biarlah, dia menikmatinya. Aku menikmati
waktu-waktu ini seperti di Karimunjawa. Waktu-waktu ketika kami pertama kali
berpisah untuk waktu yang lama.
Dia
tiba-tiba beranjak dari tidurnya dan menyusulku. Aku tersenyum dan
menyerapahinya dengan “Lazy old man”. Dia diam saja dan tetap berenang mengitariku.
Aku lupa apa saja yang kami bincangkan waktu itu. Entah kenapa aku bisa saja
lupa. Hal teringat hanya ingatan-ingatan kecil dimana kau terbahak-bahak hingga
aku tahu betapa jelek dirimu ketika tertawa.
Aku
mengikutimu berjalan menuju pantai. Lalu aku terbaring di sisimu. Tanpa aku
sangka kau memegang tanganku di tengah kerumunan itu. Aku gagap dan tak tahu
apa yang seharusnya aku lakukan. Aku tidak hanya takut dengan kerumunan itu. Selama
ini aku hanya berani menyatakan perasaanku dalam ruang paling intim.
Genggaman
itu, semakin kuat, seperti tak memberi celah untukku untuk lepas. Aku tak tahu
apa yang sedang kamu pikirkan saat itu. Apakah kau tidak takut untuk didakwa
sebagai maniak seks penggemar anak-anak muda? Apakah kau kelak akan melakukan
hal seperti ini di depan teman-temanku? Kecamuk itu membadai. Lalu aku membuka
mata, horizon langit biru bertemu di ujung lautan yang sama-sama biru walau tak
sama. Sejenak aku teringat pernah mengajamu ke bioskop bersama teman-temanku
tapi aku mensyaratkan dirimu untuk mencopot satu antingmu. Oh sial! Betapa bodoh
diriku. Aku kembali memejamkan mataku.
Aku
membuka mataku hari ini, menyadari dirimu telah pergi. Berkali-kali aku
memanggilmu hingga lirih tak lagi tereja. Tidak pada ramai atau sepi. Senang
atau sedih. Kau telah mengangkat rantai beban itu dan membebaskan diriku. Perjumpaan
yang terlalu singkat. Seperti ingatan-ingatan kita bersama yang tak mampu
terekam otak. Menjadi fragmen bisu, tapi tetap berarti bagiku.
Hanya
kepada langit dan lautan yang lebih biru. Aku terkadang duduk dan hanya
mengingatmu.
Saturday, 25 February 2017
Agama Anak-Anak
Sore itu hujan disertai panas, aneh
memang. Aku hampir menggagalkan diri untuk mengajar di Badran, tetapi aku
kembali tergugah ketika mengingat sudah lama tidak bertemu mereka sejak piknik
di Panta Indrayanti. Aku pergi ke Badran menggunakan motor kali ini,
hujan-hujan naik sepeda kadang tidak menyenangkan. Banyak mobil dan motor yang
sangat arogan, tak peduli sepeda-sepeda yang terciprat lebat karena terjalan
mereka di jalan penuh air.
Aku segera pergi ke rumah anak-anak.
Ketika bertemu dengan Isma, dia meminta ijin terlebih dahulu untuk sholat
ashar. “Luar biasa anak ini” aku bergumam dalam hati. Sembari menunggu anak-anak
lain dating, aku berbincang dengan Ayahnya Isma. Dia menunjukkan produk tas dan
dompet kulitnya yang dibuat dengan tangannya sendiri tanpa menggunakan mesin
jahit. Aku pikir produknya cukup menarik. Aku menghela nafas seolah tekoneksi
dengan dirinya dan sedikit menyelami usaha kecilnya. Sebaik-baiknya produk Ayah
Isma, tetap saja dia akan menyerahkannya pada pengepul dan lepaslah dia dari
nilai produk yang dibuatnya.
Satu persatu anak-anak datang menghampiriku.
Aku berpamitan dengan Ayah Isma dan pergi bersama mereka di gardu kampung. Sebenarnya
aku tidak terlalu menyukai materinya (Bahasa Inggris), tapi karena niatanku
adalah membantu. Aku terima saja.
Anak-anak yang aku ajar cukup beragam
usianya. Hal ini menjadi tantangan tersendiri. Pertama, mereka sangat ingin
bermain ketika bertemu dengan kami. Kedua, ada materi yang perlu kami
sampaikan. Aku memulai belajar dengan permainan dengan mengkombinasikan
kata-kata Bahasa Inggris. Berjalan dengan sangat baik. Lalu aku memberikan
lembar teka-teki gambar binatang untuk mereka kerjakan. Beberapa anak menyerah.
Hal itu menjadi pembelajaran bagiku.
Seorang relawan datang membawa media
belajar lain. Anak-anak girang dan berebut memegang media belajar yang hanya
kertas plano ukuran A3 tersebut. Mereka mulai mengerjakan tugas yang disampaikan
oleh relawan. Di sela-sela tugas ada seorang anak berceletuk.
“Mas Didin kie tattoan lo” Kata Wulan
kepada anak lain.
“Berarti kamu kalua sholat nggak sah
lo mas”. Kata anak lain padaku.
“Aku kan nggak sholat.” Jawabku asal.
“Agamamu apa e mas?” Tanyanya kembali
dengan raut nyinyir.
“Aku nggak punya agama.” Jawabku
santai.
Mereka terdiam, sepertinya tidak siap
menerima jawabanku yang tidak biasa. Mereka dengan sendirinya mengalihkan
pembicaraan. Aku terbahak dalam hati serasa menang.
***
Diseberang anak-anak berkumpul, ada
seorang anak yang masih berkutat dengan puzzle yang aku berikan. Aku
mendekatinya. Dia menanyakan apakah dia boleh membawa pulang puzzle itu. Aku
tersenyum untuknya, atas keluguannya. Dia sekarang sekolah di kelas 5 SD,
seharusnya dia sudah masuk SMP tetapi karena “tidak mampu” dia harus tinggal
kelas di SD. Jika dilihat secara fisik, dia paling menjulang diantara
teman-temannya. Walau lebih unggul dari fisik, tapi justru dialah yang sering
dibully. Dia adalah seorang Kristen.
***
Anak-anak segera pulang ketika hari
mulai gelap. Seorang anak pulang ke rumah berukuran empat kali enam meter yang
disewa orang tuanya sebesar dua ratus ribu perbulan. Sebenarnya, tempat itu
lebih terlihat sebagai kos daripada rumah. Tapi siapa aku yang mengklaim konsep
rumah. Mereka sendiri punya konsep rumah masing-masing. Anak itu sibuk mencari
mukena dan sajadah. Dia ingin bergegas menuju masjid.
Dari bibir pintu rumah ayahnya
terlihat pulang. Hari yang melelahkan pagi sang Ayah. Sebelum menyerah pada
lantai, dia menanggalkan bajunya. Tattoo terlihat membujur di punggungnya yang
hitam. Si anak mencium tangan ayahnya dan pergi menuju masjid. Anak itu adalah
anak yang mengatakan bahwa sholatku tidak sah karena tattooku.
Subscribe to:
Posts (Atom)