Tuesday, 29 May 2012

Analisis Sosial dan Rekayasa Sosial


Materi mengenai analisis sosial sepertinya tidak pernah using dipakai oleh organisasi-organisasi mahasiswa. Teori yang dipakai pun berkembang dan bermacam-macam. Pada awalnya penulis mengalami kesulitan untuk mengkaji materi tersebut. Namun setelah berbincang dengan kawan dan membaca beberapa kajian literati, terangkumlah beberapa materi sebagai berikut:

Sebuah Tinjauan Epistemologi
Analisis adalah upaya untuk menguraikan suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan (KBBI).

Jika dikaitkan dengan sosial maka analisis menjadi sebuah upaya menguraikan berbagai “sosial” itu sendiri. Menurut Paul Ernest sosial lebih dari sekedar jumlah manusia secara individu karena mereka terlibat dalam berbagai kegiatan bersama. Atau dengan kata lain kemasyarakatan.

Menurut Holland, Joe & Henriot, Peter (Analisis Sosial dan Refleksi teologis, 1986), mendefinisikan analisis sosial sebagai; ”usaha memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang sebuah situasi sosial dengan menggali hubungan-hubungan historis dan strukturalnya”

Tentang Analisis Sosial
Berbicara mengenai analisis sosial, pertanyaan menganai “apa itu analisis sosial” dijelaskan dengan pendekatan epistemologi seperti yang diuraikan diatas. Lalu pertanyaan berikutnya muncul yaitu “mengapa kita melakukan analisis sosial?”. Tommy Apriando mengatakan bahwa analisis sosial berupaya menempatkan suatu masalah tertentu dalam konteks realitas sosial yang lebih luas yang mencakup konsep waktu (sejarah), konteks struktur (ekonomi, sosial, politik, budaya, konteks nilai, dan konteks tingkat atau arah lokasi, yang dalam prosesnya analisis sosial merupakan usaha untuk mendapatkan gambaran yang lengkap mengenai hubungan-hubungan struktural, kultural dan historis, dari situasi sosial yang diamati.

Kenapa hal itu penting?
Merupakan alat yang memungkinkan kita menangkap realitas sosial yang kita gumuli. Analisis sosial membantu untuk memahami dan mengidentifikasi: Manakah permasalahan kunci dalam suatu masyarakat. Manakah kelompok dalam masyarakat yang mempunyai akses pada sumber-sumber daya. Kaitan berbagai sistem dalam masyarakat. Potensi-potensi yang ada dalam masyarakat. Tindakan-tindakan yang mengubah situasi dan yang memperkuat situasi. (Cahyo Suryanto)

Dalam memahami permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitar, kita menggunakan panca indera untuk menelisik gejala-gejala sosial yang terjadi. Namun sayangnya kadang kita tidak bisa bersikap obyektif dalam melihat suatu permasalahan. Analisis sosial sebagai sebuah metode memungkinkan kita untuk melihat suatu masalah secara obyektif.

Kesalahan Berpikir (Intelectual cul-de-sac)
  • Fallacy of Dramatic Instance

 Kecenderungan orang untuk melakukan over generalization. Penggunaan satu-dua kasus untuk mendukung argument yang bersifat umum.
  • Fallacy of Retrospective Determinism
     Masalah sosial yang terjadi sebagai sesuatu yang secara historis memang selalu ada.
  • Post Hoc Ergo Propter Hoc

Apabila ada peristiwa yang terjadi secara berurutan, maka kita menyatakan bahwa kejadian pertama menjadi sebab kejadian kedua.
  • Fallacy of Misplaced Concretness

Mengkonkretkan sesuatu yang pada hakikatnya abstrak
  •  Argumentum ad Verecundiam

Berargumen dengan menggunakan otoritas
  • Fallacy of Composition

Dugaan bahwa satu berhasil maka berhasil untuk semuanya.
  • Circular Reasoning

Pemikiran yang berputar-putar, menggunakan konklusi untuk mendukung asumsi yang digunakan lagi untuk menuju konklusi semula.

Ada berbagai metode yang bisa dipilih untuk mengkaji suatu permasalahan yaitu metode SWOT,  metode Ikan, dan metode Buzan (Peta Pemikiran). Dalam tulisan ini penulis hanya akan memfokuskan pada satu metode saja yang sangat popular digunakan yaitu metode SWOT (Strenght, Weakness, Opportunity, Threat).
Ada beberapa langkah dalam melakukan analisis yang bisa kita lakukan, yaitu:
1.       Membangun perumusan masalah, yang menjadi pusat perhatian
2.       Membangun konsep-teoritis atas konteks realitas.
3.       Mengenali struktur-struktur kunci yang mempengaruhi situasi yang ada
4.       Menyusun pertanyaan-pertanyaan untuk membangun sebuah konteks
5.       Menghimpun fakta-fakta, data-data yang berkorelasi dan melatarbelakangi
6.       Menyusun model-model, mengkaji-menguji relevansinya.
7.       Menguji beberapa jawaban pada korelasi dan keabsahan.
8.       Menggali masalah lain yang muncul.

Rekayasa Sosial (Social Enginering)
Setelah kita melakukan analisis sosial kita akan memperoleh berbagai masalah yang terjadi dilingkungan kita. Rekayasa Sosial (Social Enginering) bisa dikatakan adalah tahap selanjutnya dari analisis sosial karena dalam tahap ini kita berupaya untuk mendesain berbagai program untuk mengelola atau mengatasi suatu masalah yang timbul.

Perubahan yang terjadi adalah perubahan yang direncanakan atas hasil desain program yang kita buat dari analisis sosial yang kita lakukan. Ada beberapa teori mengenai perubahan sosial.

a.       Ideas
Menurut Max Weber, penyebab utama adalah ideas.
b.      Great People
Thomas Carlyle, perubahan sosial terjadi atas kelahiran-kelahiran manusia besar di zamannya yang dapat menarik simpati dari massa.
c.       Social Movement
Perubahan terjadi karena pergerakan massa yang menuntut terjadinya perubahan.

Lalu bagaimana mendesain perubahan?
Ketika kita mendesain suatu program kita harus berpikir terlebih dahulu mengenai unsur-unsur aksi sosial. Philip Kotler menggambarkan unsur-unsur dan aksis sosial dalam 5 S
a.       Sebab
Upaya atau tujuan sosial yang dapat dipercayai oleh pelaku perubahan, dapat memberikan jawabanpada problem sosial
b.      Sang pelaku perubahan (Change of agency)
Organisasi yang misi utamanya memajukan sebab sosial
c.       Sasaran Perubahan (Change target)
Individu, kelompok atau lembaga yang ditunjuk sebagai sasaran upaya perubahan
d.      Saluran (channel)
Media untuk menyampaikan pengaruh dan respon dari setiap pelaku perubahan ke sasaran perubahan.
e.      Strategi perubahan
Teknik utama yang diterapkan oleh pelaku perubahan untuk menimbulkan dampak pada sasaran perubahan.

What is to be done?
“Beri kami sebuah organisasi revolusioner, maka akan kami balikkan Rusia!” (Lenin)
Ketika kita berbicara mengenai apa yang harus dilakukan maka kita juga harus berpikir dari mana kita bisa memulai perubahan. Dalam sebuah buku yang ditulis oleh lenin “where is to be done”, ia menyatakan bahwa
1.       Tak ada gerakan yang dapat bertahan lama tanpa suatu organisasi pemimpin yang stabil yang pengelolaannya berkelanjutan?
2.       Semakin besar massa, yang secara spontan akan terjun ke dalam perjuangan hal terpenting ialah perlunya sebuah organisasi yang kuat?
3.       Organisasi harus mengutamakan orang-orang yang terlibat secara professional?

Dari ketiga poin diatas, setiap poin menekankan profesinalitas. Penulis sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Lenin. Bagaimanapun juga perubahan harus dimulai dari diri sendiri (organisasi). Disiplin yang tinggi menjadi suatu keharusan agar perubahan yang kita rencanakan bisa tercapai.

Wednesday, 23 May 2012

He is Back To The Town And He Wants To Play


Dia kembali, untuk sesaat, mampir saja dengan beribu pertanyaan untukku baginya. Aku tahu dia acuh dan menutupi. Tetapi itulah dia, dia yang kembali lagi (lagi).

***

Handphoneku bergetar gelisah di saku celana sebelah kiri, waktu itu aku dalam perjalanan menuju Jalan Kaliurang km 7. Tidak biasanya aku membuka handphone ketika aku berkendara, entah kenapa aku tiba-tiba membuka sms inbox. Aku cukup terkejut dengan pesan yang aku terima, itu dari kawanku  dari Bandung. Pesannya singkat saja “Aku d Jogjakarta”.

Ada pertanyaan klise dan retoris kenapa dia kembali ke Yogyakarta. Dia dulu memang kuliah di Yogyakarta, tetapi akhirnya harus berpindah ke Bandung untuk menempuh studi yang lebih baik. Walau ia pergi tentu saja kenangannya akan Jogja tak akan pernah ia lupa, aku yakin itu.

Aku berpikir dua kali untuk bertemu dengannya karena pemberitahuannya yang mendadak dan kegiatanku yang cukup padat.  Tetapi setelah beberapa kali ber-smsan dengan dia, aku memutuskan untuk bertemu dia sore harinya.

Dia tinggal di rumah kawan kami di daerah Pogong Baru, jadi aku menghampirinya disana. Pintu besi besar dengan lubang kotak di samping kiri tak berbeda sedikit pun dengan satu tahun lalu. Ia seolah mengancam kedatanganku dengan kewaspadaanya. Aku menunggu beberapa saat sebelu ia turun membukaan pintu. Tersirat wajahnya dari pintu yang terbuka perlahan.

Itu memang benar dia. Dia mengulum senyum, atau lebih tepatnya menahan senyum. Tak berkata sebelum aku mulai menyapanya. “Hai hai bung, apa kabar?” kataku. Dulu ia tidak suka aku panggil dengan kata “bung”, tetapi dia bungkam saja sekarang.

Sekilas ia tak berbeda jauh, ia masih memiliki potongan rambut model british popnya serta jidatnya yang lebar terbuka. Tetapi ia lebih rapid an bersih, mungkin ia sering pergi facial di Bandung gumamku. Aku juga masih ingat, dulu ia tak terlalu ikonik dalam memilih pakaian. Tetapi sekarang sedikit berbeda, terpampang tulisan yang cukup besar “Save Street Children”, sebuah organiasi sosial yang ia geluti di Bandung. Aku tahu prestasinya luar biasa, baru satu tahun bergabung dan sekarang dia menjadi General Affair. Tetapi aku tidak kaget dan biasa saja, aku sudah membayangkan bahwa dia akan menjadi manusia besar kelak dan ia merajutnya dengan cukup radikal sekarang.

“Naik keatas dulu, udah lama kan ga kesini” katanya,
“Oke, fery diatas?”
“Dia lagi ngurus sesuatu di kampus dan pulang bentar lagi”.  

Setelah sekian lama akhirnya bertemu kembali, di masa yang sebenarnya kami harapkan. Pertanyaan dan cerita saling menyelingi arogan. Saya kira kami akan beradu argumen dan menjajakan raihan-raihan kami. Entah apa yang berikutnya terjadi, mungkin naik gunung kembali, sudden backpacking ke antah berantah, atau hanya minum-minum dan berfantasi. Selalu ada kejutan atas kehadirannya dan aku sedikit waspada. Aku sudah cukup tua dan serius untuk menghadapinya. Selamat datang di Jogja, bung!

Friday, 18 May 2012

Lanjutkan!


Aku terengah dalam kedamaian semilir pantai, dua anak kecil menggoyang-goyang tempat tidur gantung yang dieratkan pada dua pohon cemara pantai yang pendek-pendek. Mereka mengira aku adalah kakak mereka, ternyata bukan.
   
Bibiku menghampiriku dari arah belakang, sepertinya dia baru selesai sholat dhuhur.

“Kamu belum pulang to le?”
“Belum bulek, aku ditinggal saja.”
“Jaketmu jangan lupa ya, nanti ketinggalan”.

Aku diam saja membuang pandanganku kea rah pantai dan bibi berlalu begitu saja. Akhirnya aku sendiri, liburan panjang ini keluarga besar kami secara mendadak pergi ke pantai. Menurutku pergi bersama adalah ide yang bagus karena keluarga besar kami jarang sekali menghabiskan waktu bersama layaknya keluarga lain.

Jam tanganku menunjukkan pukul 2.30 pm, langit beratapkan awan-awan cumulus yang tebal dan putih bak kapas raksasa. Aku ingin melihat sunset hari ini, tetapi dengan awan seperti itu keinginanku nampaknya sia-sia saja.

Aku bangkit dari tempat tidur gantung dan berjalan menuju tepi pantai. Aku merogoh tasku dan mengambil buku “Lenin Untuk Pemula” dan membuka lembar demi lembar. Kadang aku berhenti membaca sejenak dan melihat hamparan horizon lautan yang biru dan luas itu. Pengunjung pantai masih terlihat meloncat-loncat menyambut gembira gulungan ombak.

Dari sisi timur aku melihat seorang kakek renta yang berjalan pincang. Ia membawa karung plastik bekas beras yang diikat dengan secarik tali sehingga ia bisa menentengkannya di pundak. Ia terlihat mencari-cari sampah disekitar pantai yang berserakan tak karuan. Pantai ini cukup barum tetapi sampah sudah dimana-mana.

Bagi kita sampah jelas merusak pemandangan alam yang natural tetapi bagi kakek itu sampah adalah sumber penghidupannya. Mata kakek itu menghadap pasir, tak peduli dengan kegirangan sekitar. Ia fokus berjalan mencari sampah.

 Ia berjalan meninggalkanku yang diam di tepi pantai. Aku lihat ia mengenakan kaos partai demokrat yang dipunggungnya tersablon foto SBY-Boediono dengan tagline “lanjutkan!”

Aku bergumam lirih “Benar saja lanjutkan, kakek itu juga melanjutkan hidupnya biasa-biasa, tak berubah. Lanjutkan Kek!”

Wednesday, 16 May 2012

Cinta Itu


Pantulan kaca di kamar mandi merefleksikan wajah kejujuranku setelah tidur. Aku bergumam sendiri “Oh, ternyata itulah diriku, berantakan, tak stylish, tapi itu aku”. Kubuka keran air dan kubasuh mukaku, kesegaran kehidupan pagi, selamat datang di realitas.

Akhir-akhir ini aku tidak melakukan hal banyak, selalu saja ke perpustakaan untuk mencari-cari buku yang mungkin sesuai dengan skripsiku. Semakin dalam aku mancari, semakin dangkal aku memahami. Mungkin kegilaan mencari telah membius kesadaran akan pentingnya pemahaman. Ah, sudahlah.

Selain pergi ke perpustakaan aku juga kembali ke ruang-ruang diskusi gratis, bahkan sedikit terlibat dengan konflik kontroversial mengenai Irsyad Manji mengenai launching bukunya yang digagalkan oleh Ormas Islam di Yogyakarta (MMI, KAMMI, HTI). Dan cukup menyesalkan kekerasan yang terjadi, maklum saja akhir-akhir ini Yogyakarta sedang dilanda kasus kekerasan seperti yang terjadi di Dusun Tambakbayan, Babarsari satu minggu sebelum pembubaran diskusi di LKIS.
***

Aku duduk di ruang tengah rumah, seperti biasa membuka laptop dan memainkan lagu-lagu yang membuat seisi rumah semakin yakin betapa anehnya diriku. Siapa peduli? Kalian saja yang peduli. Aku sih bebas-bebas saja.

Beberapa buku disamping kanan, tetapi aku ogah membukanya. Aku memilih untuk membuka facebook atau top eleven, sudah ketagihan lagi nampaknya. Perhatianku terhentak ketika lagu Efek Rumah Kaca “Jatuh Cinta Itu Biasa Saja” terputar.

Ketika rindu menggebu-gebu.
Kita menunggu
Jatuh cinta itu biasa saja
Saat cemburu kian membelenggu
cepat berlalu
jatuh cinta itu biasa saja.

Kenapa cinta itu biasa-biasa saja? Lalu kenapa ada orang yang rela bunuh diri atau gila akan cinta. Satu hal yang belum aku pahami setelah sekian banyak menyelami dunia romantisme klise. Aku ingat satu nasihat dari Kahlil Gibran tentang pemaknaannya akan cinta.

From THE PROPHET by Kahil Gibran

Love has no other desire but to fulfill itself.
But if you love and must needs have desires, let these be your desires:
To melt and be like a running brook that sings its melody to the night.
To know the pain of too much tenderness.
To be wounded by your own understanding of love;
And to bleed willingly and joyfully.
To wake at dawn with a winged heart and give thanks for another day of loving;
To rest at the noon hour and meditate love's ecstasy;
To return home at eventide with gratitude;
And then to sleep with a prayer for the beloved in your heart and a song of praise on your lips.

Cinta yang independen saling mengisi, ibarat tiang-tiang dalam biara yang saling menyangga  keteguhan. Tetapi aku belum puas dengan apa yang Kahlil katakana padaku pagi itu. Lalu aku bertemu dengan Shakespeare.

SONNET 116 by William Shakespeare

Let me not to the marriage of true minds
Admit impediments. Love is not love
Which alters when it alteration finds,
Or bends with the remover to remove:
O no! it is an ever-fixed mark
That looks on tempests and is never shaken;
It is the star to every wandering bark,
Whose worth's unknown, although his height be taken.
Love's not Time's fool, though rosy lips and cheeks
Within his bending sickle's compass come:
Love alters not with his brief hours and weeks,
But bears it out even to the edge of doom.
If this be error and upon me proved,
I never writ, nor no man ever loved.

Apa yang dikatakan oleh Shakespeare membuatku semakin gundah saja. Ah biar saja. Mungkin aku terlalu serius memahami apa itu cinta.

Aku keluar sejenak menatap horison barat yang sedikit terhalang oleh rumah-rumah. Hampir waktu itu akan datang, tapi tak tahu cinta itu. Lalu buat apa semua ini dan itu.

Disisi lain aku mengingat sorot matamu yang tak terlupa itu. Aku kira aku terlalu berpikir tanpa merasa. Aku tak pernah memegang, menjilati atau memeluk cinta. Mungkin itu seperti Tuhan, aku hanya bisa percaya lebih daripada sibuk membuktikan keberadaannya. Atau mungkin aku yang salah melihatnya saja, terlalu banyak menggunakan mata dan otak, bukan perasaan. Mungkin itu.

Jika jatuh cinta itu buta
berdua kita akan tersesat
saling mencari di dalam gelap
kedua mata kita gelap
lalu hati kita gelap. (ERK)

Dan aku tidak mau hal itu.  

Saturday, 5 May 2012

Sasak: Lokal Yang Komersil


Seperti biasa, pagi memberikan salam hangatnya setelah mentari beranjak dari peraduannya. Kabut tipis masih terlihat di atas bukit batulayar, tempat aku tinggal di Senggigi, Lombok. Suasana yang indah dan tenang menciptakan kedamaian jiwa di tengah badai masalah yang menerpa otakku. Kawanku berkata, kelak ia akan membangun rumah dan tinggal disini. Tapi buatku, aku cukup merasa bahagia di Yogyakarta.

Aku membersamai pagi yang indah ini dengan semangat yang menggebu-gebu. Hari ini aku akan memacu motorku untuk bertemu dengan Suku Sasak, sebuah suku legendaris yang tinggal di Lombok. Pelan-pelan aku menuruni bukit batulayar dan segera aku pacu motorku setelah tiba di jalan hitam yang agak sepi pagi itu.

Destinasi pertamaku adalah di Sukarera. Tempat ini terkenal sebagai penghasil kain tenun khas Suku Sasak. Konon hanya orang Sasaklah yang bisa membuat kain tenun tersebut dan hal itu diwariskan sejak turun temurun.

Kota Sukarera berada di Lombok Tengah sementara Senggigi berada di pesisir pantai bagian Lombok sehingga dibutuhkan kira-kira dua jam untuk sampai disana. Aku harus bertanya berkali-kali untuk menemukan tempat ini karena petunjuk jalan menuju Sukarera sangatlah minim sementara percabangan jalan ada di mana-mana.

Aku tiba di Sukarera sekitar pukul 1 siang, daerah ini cukup kecil dan sederhana. Aku melihat para ibu sedang menenun di gubuk kecil depan rumah. Mereka menyambut kedatanganku dengan ramah. Kami sedikit berbicara mengenai kehidupan mereka. Pembicaraan ini kemudian menguak imajinasi yang aku peroleh dari buku dan mempertemukan dengan kenyataan Suku Sasak di tempat ini.

Suku Sasak di Daerah Sukarera hidup layaknya masyarakat lainnya. Perbedaan mendasar hanyalah garis keturunan dan keahlian menenun yang masih diwariskan dari generasi ke generasi. Setelah berbicang panjang lebar, aku ditawari untuk melihat koleksi tenun mereka.

Ada beberapa koleksi yang mereka tawarkan. Ada kain tenun tradisional dengan motif rumah adat Lombok hingga batik cap Lombok. Aku terkesan dengan karya mereka, namun aku segera undur diri setelah mereka menawarkan harga kepadaku. Segera aku beranjak ketempat lain sebelum angka-angka kain tenun nan indah itu menggila di otakku.

Motorku yang menggila panas aku paksa untuk menghantarkanku ke sisi lain Lombok di daerah Sade. Tempat ini sangat dekat dengan Kuta Lombok yang saat ini semakin popular setelah bandara Lombok di pindah ke Lombok Tengah.

Sade dikenal sebagai tempat dimana suku asli Sasak masih hidup asri dan alami. Lagi-lagi aku harus menghabiskan waktu sekitar 1 jam untuk mencapai tempat ini. Sade terletak di Lombok bagian timur sehingga sempurnalah aku hari ini membelah Pulau Lombok.

Gerbang Desa Sade terlihat tradisional dengan kayu dan rumbai-rumbai. Ketika aku ingin masuk ke desa seorang pemuda memanggilku dan menyuruh aku untuk parkir di depan gerbang masuk. Dia berkata aku harus memarkir sepeda motor di luar desa untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti ketidaknyamanan penduduk atau penduduk lokal meminta sepeda motorku.

Dia juga memberitahukan ada sumbangan sukarela untuk desa sebelum aku masuk dan akan ada pendamping yang akan menemaniku berkeliling desa.    

Tak lama setelah penjelasan singkat aku segera melangkah memasuki gerbang Desa Sade. Tak lama berjalan ternyata aku menemukan beberapa motor disana. Sebuah kejanggalan atas kontradiksi yang dikatakan oleh pemandu yang mencegatku di depan gerbang desa.

Hari itu aku ditemani oleh seorang pemandu bernama Nilko. Dia adalah penduduk asli desa tersebut. Ia terlihat begitu lokal dengan sarung sederhana dan kaos tua. Walau begitu ia cakap berbahasa Inggris. Aku bertanya bagaimana ia bisa berbicara Bahasa Inggris. Ternyata ia telah mendapat pelatihan untuk menjadi seorang pemandu turis dan pernah bekerja di Hotel Novotel yang terletak di Pantai Kuta, Lombok.

Nilko kemudian dengan ramah menjelaskan seluk beluk Desa Sade kepadaku dengan bahasa yang rapid an professional.

Tentang Desa
Desa Sade terdiri dari sekitar 29 kepala keluarga dengan penduduk sekitar 150 orang, cukup padat untuk sebuah desa yang kecil. Desa ini nampaknya sudah lama tidak mendapat hujan karena aku melihat bongkahan tanah retak dimana-mana. Tempat ini cukup panas karena berdekatan dengan pantai.

Mata pencaharian warga adalah petani sehingga sangat bergantung dengan lahan pertanian. Untuk musim kemarau seperti ini mereka tidak bisa berbuat banyak dan mengandalkan pemasukan dari kunjungan turis ke desa.

Rumah di desa ini tersusun cukup rapi dan padat. Hampir setiap rumah memiliki Lumbung, rumah tradisional Lombok yang digunakan sebagai tempat menyimpan padi. Lumbung berbentuk lonjong dengan puncak melengkung tajam. Ia disangga oleh kayu pondasi sehingga tidak bersentuhan dengan tanah. Hal itu dilakukan untuk mencegah binatang memakan persediaan makanan mereka. Untuk masuk ke lumbung, kita harus menggunakan tangga karena Lumbung hanya memiliki satu pintu di sebelah samping dan cukup tinggi.

Rumah penduduk sendiri cukup unik karena beralasakan tanah liat yang padat. Ubin tersebut adalah campuran antara tanah liat dan kotoran sapi. Kotoran sapi tidak hanya digunakan untuk memadatkan ubin tetapi juga memiliki arti filosofis. Mereka menggunakan kotoran sapi sebagai simbol kerja keras yang mereka lekatkan pada setiap rumah disana.

Rumah tradisional dibuat tidak terlalu tinggi dengan satu pintu yang cukup mungil. Hal itu sebuah kesengajaan sebagai bentuk penghormatan kepada tuan rumah karena setiap kita memasuki rumah kita harus menunduk. Biasanya satu rumah hanya memiliki satu kamar saja sebagai kamar wanita, sedangkan laki-laki tidur di beranda rumah.

Laki-laki Suku Sasak sengaja tidur di beranda rumah sebagai penjaga wanita terutama gadis yang mereka miliki dalam keluarga. Para gadis itu dijaga agar tidak diculik oleh para bujang disana yang ingin memperistri mereka. Suku Sasak memiliki tradisi berbeda dalam urusan pinang-meminang. Para bujang disana harus berkompitisi untuk menculik para gadis karena gadis-gadis di Sasak biasanya memiliki lebih dari satu pacar. Mereka juga harus memiliki siasat yang cerdik untuk bisa menculik si gadis karena bapaknya hampir selalu berada di beranda rumah.

Penculikan Gadis Sasak tidak bisa disamakan dengan arti penculikan secara harfiah, mungkin lebih dekat dengan arti kawin lari. Setelah si bujang berhasil menculik gadis maka gadis itu akan dibawa ke rumah si bujang. Setelah mereka menyatakan pernikahan barulah wakil dari si bujang mendatangi keluarga si gadis untuk memberitahu perihal pernikahan. Selanjutnya dua hari setellah prosesi itu maka hulubalang di undang untuk meresmikan pernikahan.

Nilko secara panjang lebar menceritakan tradisi-tradisi Suku Sasak sembari kami berjalan menuju sisi desa yang lain. Kami berjalan sampai di tengah desa dan terdapat aula yang digunakan sebagai tempat pertemuan warga. Seperti rumah tradisional lain, aula ini beralaskan tanah liat yang dicampur dengan kotoran sapi.

Desa Sade memiliki beberapa perangkat desa tak jauh beda dari desa laiinya. Sistem kasta yang sering dikait-kaitkan dengan mereka ternyata tidak benar-benar diterapkan di desa ini. Memang ada kategori bangsawan dan rakyat biasa, tetapi tidak ada stratifikasi sosial yang ketat. Mereka juga tidak memiliki perbedaan berarti dalam ritual adat yang mereka lakukan.

Diantara Komersil dan Sosialis
Setelah berbicara panjang lebar dengan Nilko mengenai segala sisi dari Desa Sade. Ia mengajakku ke sebuah rumah kecil tak jauh dari gerbang desa. Di depan rumah terpampang logo PNPM Mandiri, ternyata pemerintah telah masuk ke desa ini. Rumah itu adalah bantuan pemerintah dan digunakan warga sebagai galeri karya kain tenun masyarakat.

Hasil karya mereka tidak jauh berbeda dari Suku Sasak yang berada di Sukarera. Bedanya karya mereka lebih sederhana dan memiliki ukuran lebih kecil karena menggunakan alat yang sangat tradisional. Aku sama sekali tidak berniat untuk membeli kain tenun nan indah itu. Tetapi agar terlihat menghormati aku mengajukan beberapa pertanyaan mengenai karya mereka. Seperti dugaan, pertanyaan yang aku lontarkan berujung pahit dengan munculnya harga-harga berangka banyak atas karya-karya mereka.

Tetapi ada hal yang menarik dari sistem mereka. Karya dihasilkan oleh perempuan-perempuan Suku Sasak. Mereka mengerjakan secara individu dan menjual secara kolektif. Hasil penjualan tidak diberikan oleh pembuat tetapi digunakan secara kolektif untuk warga desa. Bisanya digunakan untuk membeli beras untuk mencukupui kebutuhan desa. Sebuah sistem sosialis yang hidup subur dalam nilai lokal di Suku Sasak.

Akhirnya kunjunganku ke Suku Sasak berakhir juga. Buku dan fakta kadang berbeda dan aku cukup bahagia mengetahui realitas yang ada. Sebuah perjalanan membelah Lombok yang luar biasa hari ini.  

Friday, 4 May 2012

Jakarta Ku Kan Kembali


             Belum seminggu pertengkaran kami usai, aku tak akan pernah lupa kejadian itu dimana air mataku mengalir dihadapannya. Entah apa yang membuatnya istimewa sehingga aku tak mau rela hidup tanpanya. Aku tahu dia jalang, toh aku juga sama. Dia memang pintar dan aneh, entah dari mana ia tahu apa yang aku lakukan selama ini. Semua berjalan dalam misteri, seperti masa depan itu sendiri.

***
                Seperti biasa aku terbangun sekitar pukul 4 pagi, seolah ada alarm otomatis didalam tubuhku. Dia sedang tertidur pulas disampingku. Dia masih muda, tetapi tidurnya 8 jam. Dasar pemalas!

                Aku ingin memejamkan mata sejenak tetapi tak bisa juga kembali tidur. Aku ambil celana yang terkelepar di lantai, lalu bangkit menuju ruang kerja. Screen monitor membuat mataku silau, setelah operasi mata yang aku lakukan. Mataku jadi sangat sensitif dengan cahaya. Aku lihat skype yang 24 jam nyala tiap harinya. Disana temanku sudah aktif dan menungguku bekerja. Perbedaan waktu Indonesia dan Australia membuatku terbiasa bangun pagi untuk menyesuaikan waktu kerja mereka.

                Kami berbicara panjang lebar mengenai proyek bisnis yang tak kunjung jelas. Aku mencoba meyakinkan mereka betapa jauh kami bergerak dan mengorbankan resource yang ada. Proyek ini tidak boleh dihentikan. Tapi aku tak mau bekerja sendiri, waktuku sudah terbuang banyak untuk hal ini dan mereka turut bertanggungjawab atas kerjaku dan pengorbananku.

                Perutku mulai lapar, lalu aku tengok jam yang ada di monitorku. Sudah lebih dari dua jam aku bekerja dan berdiskusi dengan rekan bisnisku. Aku rasa aku harus pergi mencari sarapan. Tiba-tiba kekasihku berjalan dengan mukanya yang sedikit kusut. Ia menyapaku dengan hangat walau seolah tak ikhlas, “Good morning honey! How’s your sleep?” Aku menjawab “Quite good as usual, wake up at 4 am and work”.   Lalu dia berjalan kedapur entah mengambil minuman atau makanan karena lapar. Aku segera menyusul dia untuk mengambil sarapan, sisa makanan yang tak habis aku makan kemarin.

                Aku kembali bekerja dengan piring sarapanku dan satu gelas besar jus jeruk. Dia duduk di ruang tengah dan mulai memainkan musiknya yang aneh tak enak didengar sama sekali. Kadang aku berpikir, kenapa aku harus berpura-pura menyukai selera musiknya. Bagiku musiknya dalah “crap!”.

                Tak lama dia membuka laptop asusnya, aku mendapati dirinya online di Facebook. Aku kira dia sedang menulis skripsinya yang tak kunjung usai itu. Aku benar-benar khawatir dengan nasib studinya. Padahal dia sudah menghabiskan waktu 5 tahun untuk kuliah.

                Seperti biasa dia pergi keluar rumah sekitar jam 8 pagi. Entah kemana perginya katanya pergi ke kampus. Tapi tak mungkin ia menghabiskan waktu seharian di kampus. Mungkin ia asik bermain-main dengan kawannya dan sekali lagi ia mengacuhkanku. Apakah aku bukan seorang teman yang baik? Tanyaku dalam batin.

                Hari-hari berlalu, tak ada yang berubah setelah pertengkaran itu. Ia tetap saja mengacuhkanku, ia pergi pagi hari pulang malam harinya. Seolah aku hanyalah teman tidurnya saja.

***
                Pukul 7 malam aku sudah tak sabar menunggunya. Hampir saja aku mematikan lampu dan berniat mengunci pintu sebelum aku mendengar suara motornya. Ah, hampir saja keluhku. Aku berada di dalam kamar sembari membuka laptop dan membaca Jakarta globe di internet.

                Dia membuka pintu kamar perlahan. Aku menjaga kepalaku tertunduk hingga ia menyapaku. “Hi honey, how are you?” , “I am good thanks, how was your day HG” aku menimpali. Percakapan singkat pun dimulai. Ia lalu lalang menyibukkan diri mengambil minum dan mandi. Percakapan kami lakukan hingga pukul 9 malam sebelum aku mematikan lampu kamar. Setelah itu aku melompat ketubuhnya dan membuat ia terengah-engah.

                “I love you honey” kami akhiri percintaan dengan peluh yang menyatu baur di tubuh kami. Aku memandikan dia sebagai rasa hormat dan sayangku lalu aku antarkan dia untuk tidur. Aku baringkan tubuhku miring menghadap sisi luar batas tempat tidur. Tak lama dia sudah mendengkur, aku cukup berbangga atas apa yang aku lakukan padanya. Aku tertawa dalam hati.

                Pagi harinya aku bangun sedikit siang kira-kira pukul 5 pagi. Aku bergegas menuju ruang kerjaku dan mulai bekerja. Dia bangun pagi dan duduk-duduk di ruang tengah dengan seduhan Teh Dilmah yang kami beli di Jakarta. Tak lama kemudian dia terlihat sudah mandi dan bergegas ingin pergi meninggalkan rumah. “Honey, can we go for dinner tonite. I feel want to go out tonite?” aku bertanya sebelum ia berpamitan pergi, “Easy honey” timpalnya singkat.

                Setelah kepergiannya aku habiskan waktuku bekerja di depan komputer seperti biasa. Aku tak bisa mengingat berapa lama aku duduk dan memandang layar monitor, tetapi aku sudah merasa sangat lelah. Aku memutuskan untuk pergi ke tempat tidur dengan AC yang aku set 27 C dan kipas angin yang menyala. Aku lebih nyaman bekerja di dalam tempat tidur.

                Waktu berlalu dengan cepat, jam dinding kamarku sudah menunjukkan pukul 7 malam. Dia masih saja belum pulang kerumah padahal ia sudah berjanji akan makan malam bersamaku. Aku sudah tak mampu menahan emosiku. Hingga pukul 7.30 ia belum pulang, baru sekitar pukul 8 dia pulang dengan terengah-engah. Ia membuka pintu “Did you get dinner honey?, “nope” timpalku ketus. “Do you wanna go for dinner? We still have time.” Dia mengajak. Tapi aku membalas acuh “I am tired, I wanna sleep now”.

                Aku menyuruhnya untuk segera mematikan televisi. Kami berdua hanya diam saja berbaring ditengah kegelapan malam. Tak lama kemudian ia beranjak dari tempat tidurnya dan pergi meninggalkan kamar. Aku tak peduli.

***
                Keesokan harinya ia bangun dari kamar lain. Kami saling mengacuhkan sapa. Tak lama kemudian ia pergi. “Pergilah saja!” kataku dalam hati.

                Hari ini tak banyak yang aku lakukan. Sebenarnya aku ingin menghabiskan waktu bersama dengannya. Tetapi ia sangat acuh denganku. Entahlah, aku membuang angan-anganku itu. Sia-sia kataku dalam hati.

                Aku buka laptop yang ada di kamarku. Aku buka situs manjam, sebuah situs dating online terbesar di Indonesia. Aku sedikit ragu membuka situs ini karena situs ini menjadi biang masalah hubungan kami. Tapi aku tak tahan ingin membukanya. “He will not know if I open it” gumamku sendiri. Aku log in ke situs tersebut.

               Ada notifikasi menerima email di pojok kanan atas. Aku buka segera email itu “How much you will pay me sir?”. Ternyata itu dari dia yang ada di Jakarta. Aku membalas pesan itu dengan singkat “250 K, my dick in your mouth!”. Aku segera membuka website Air Asia dan memesan tiket ke Jakarta untuk tiga hari di akhir pekan.

Thursday, 3 May 2012

Sisi Lain Sedekah


Terik menyengat di hari sengit untuk Bapak Sholeh, seorang penjaja gethuk keliling. Sudah dari pukul 8 pagi dia berkeliling seputaran UGM hingga siang pukul 11.30 tetapi gethuk yang ia jajakan baru laku seberapa. Sepertinya kemujuran belum berpihak padanya hari ini, dihari yang cukup pendek, Hari Jumat. Ia segera menuntun gerobak gethuknya dari utara Fakultas Kehutanan menuju Masjid Kampus UGM.

Sekeliling Masjid Kampus UGM (Maskam) sudah dijejali oleh ratusan orang berpakaian rapi. Mereka berbalut baju putih dengan peci necis hampir seragam. Pak Sholeh memarkirkan gerobaknya disebelah barat Maskam. Ia buka laci kecil dibawah dagangannya lalu mengambil koko putih dan sajadah kecil pemberian seorang haji.

Ia berjalan menuju tempat wudhu yang sudah ramai atrian. Sejuknya air wudhu menghempaskan rasa lelah dan penat siang itu. Adzan jumat berkumandang ia segera menuju tempat sholat yang telah sesak. Ia menjejalkan dirinya di deretan belakang masjid bersama para pengibadah yang datang agak terlambat.

Kyai telah masuk mimbar, dengan lantangnya ia berkhutbah. Pak Sholeh sempat tertunduk layu, tetapi ia memaksa kepalanya tegak. Angin sepoi yang berhembus pelan membuatnya kantuk. Ia mencoba mencermati khutbah sang kyai walau ia kurang memahami campuran Bahasa Arab yang digunakan.

Walau pengetahuan Sholeh dangkal dia bisa mencermati kata kunci yang sang kyai coba sampaikan. Sang kyai berkata “Barang siapa bersedekah, maka ia akan mendapatkan 10 lipat. Jika orang ingin menjadi kaya maka ia harus bersedekah”. Pak Sholeh benar-benar mencermati kata-kata sang kyai. Dia berpikir mungkin ada yang salah dari kehidupannya sehingga bertahun-tahun kerja kerasnya, ia masih saja menjadi seorang penjaja gethuk keliling. Biasanya pendapatan bersih Pak Sholeh adalah Rp 20.000 per hari dan ia harus menafkasi 4 orang keluarganya. Sedangkan di hari yang suci ini dia baru mampu menjual tak kurang dari seperempat gethuknya. Ia mengumpulkan sekitar Rp 10.000 hari ini.

Sholeh cukup lama tertegun hingga adzan iqomah berkumandang. Ia segera berdiri dan menyejajarkan tubuhnya dengan jamaah yang lain untuk melaksanakan Sholat Jumat.

***
“Assalamualaikum warrahmatulahi” Pak Sholeh ucapkan di rakaat terakhir sembari ia menengok kesamping kanan dan kiri. Jamaah masjid membubarkan diri serentak setelah sholat usai. Mereka lalu lalang mengambil alas kaki dan tas yang dititipkan di penjaga yang berjaga di dekat pintu keluar utama. Pak Sholeh berjalan menuju gerobaknya yang ia tinggalkan. 

Disisi-sisi jalan keluar Sholeh melihat pada pengemis yang berjejer memelas. Mereka acungkan gelas aqua yang didalamnya ada uang lembaran seribu dan koin receh tak seberapa. Sholeh melihat wajah mereka yang lusuh dan melas. Pakaian mereka sudah lusuh tapi Sholeh tahu mereka berpura-pura. Ia acuhkan mereka dan berjalan menuju gerobaknya.

Sholeh melepas baju kokonya dan melipat sajadah lalu memasukkannya kedalam laci kecil di gerobaknya. Ia mendorong gerobaknya kembali di tengah sengatan terik di penghujung kemarau tahun ini. Sekali lagi ia berpikir tentang khutbah yang disampaikan oleh kyai. Ia berulang-ulang mendebat arti sedekah dan kebutuhan hidupnya. Uang yang di dapat hari ini masih terbilang sedikit, hanya Rp 10.000. 

Ia membantah perdebatan batin itu dengan alasan niat atas nama Allah SWT. Ia yakin akan mendapatkan 10 kali lipat dari apa yang sedekahkan walau. 

Sholeh kembali masuk pintu Maskam dan menghampiri seorang sosok pengemis yang pantas untuk mendapatkan sedekahnya. Matanya tertuju pada seorang Ibu mungil yang menggendong bayi di antara para pengemis. Ia sedekahkan separuh uangnya kepada Ibu itu, berharap semoga Ibu itu bisa memberikan penghidupan yang layak bagi keluarganya yang terlihat kesusahan.

Si Ibu tersenyum dan berterima kasih kepada Sholeh disertai dengan doa-doa kesejahteraan dan keselamatan yang terucap dengan fasih dan lancer. Sholeh hanya tersenyum tipis lalu bertolak ke gerobak yang menunggunya.

Jalanan UGM terlihat sepi, wajar saja karena terik hari ini sangat panas. Mungkin semua orang bersembunyi dibalik sayup rumah-rumah yang dingin. Tapi hal itu tidak mungkin dilakukan oleh Sholeh, karena ia harus menjajakan gethuknya. Walau huja, walau terik. Ia harus berteriak sepanjang hari untuk keluarganya dirumah yang menunggu rejeki yang ia kais.

***
Matahari terasa belalu cepat sementara gethuknya masih menumpuk saja di gerobaknya. Sholeh berharap hari ini lebih panjang lagi sehingga ia bisa berkeliling lebih panjang. Tetapi waktu tak pernah bermurah hati, ia berlari acuh tak peduli. Sholeh pun tak bisa berbuat apa-apa, lalu ia langkahkan kaki menuju rumah sederhananya di sekitar Badran.

Sepanjang pulang ia merenung atas sedekah yang ia berikan ke ibu itu. Sedikit rasa sesal dan harap semoga itu tak sia-sia. Sholeh menghela nafas sebagai bentuk pasrah dan memahami arti sedekah. Hanya keyakinan yang membuatnya tabah dan tetap tegar.

Sholeh mendorong gerobaknya sampai di Pasar Terban. Adzan Maghrib berkumandang menggelegar, tapi Sholeh acuh saja. Ia ingin segera menemui keluarganya dirumah dan melepaskan penat hari ini.

Rasa lapar dan lelah bercampur aduk, ia hanya bisa melihat warung-warung menyala remang di seputaran terban. Beberapa orang bercanda gurau lepas ditemani minuman hangat dan makanan yang dijajakan. Sholeh terus saja menatap hingga ia terhenti pada sosok yang taka sing bagi dia.

Dia sedikit ragu apakah ia pernah bertemu dengannya sebelumnya. Wanita itu memakai kaos putih seksi dengan celana hotpan yang dilinting rapi. Ia sulut rokok dan menyembulkan asapnya ke langit remang sore itu. Ia asik berdana dengan kawannya yang berpakaian serupa.  Sholeh tertegun dan meyakinkan dirinya bahwa wanita itu adalah pengemis di Maskam yang ia sedekahi.

Wanita itu berdiri lalu meninggalkan warung remang itu. Ia berjalan kearah sholeh yang menghentikan langkahnya. Tak sampai beberapa meter mereka saling berhadapan. Sholeh hanya diam dan wanita itu hanya melihat sepintas tanpa tegur sapa. 

Dan semua berlalu begitu saja untuk Sholeh dan wanita itu. Mereka melalui hidupnya masing-masing.