Monday, 18 November 2019

PANSEKSUAL-mu Adalah Omong Kosong


“Ngeri ga si kalau punya pacar Pansexual?”
“Kenapa?”
“Ya kan dia berbahaya?”
“Karena?”
“Sama apa aja suka kan?”

Obrolan singkat di atas bermula dari seorang teman dunia maya yang memposting kegelisahannya di Twitter. Percakapan terakhir membuat aku harus mengakhiri percakapan sederhana itu. Akhir-akhir ini istilah Panseksual sedang populer di twitter, beberapa orang mengidentifikasi diri mereka sebagai panseksual. Mereka mengatakan bahwa Panseksual memiliki ketertarikan pada semua gender. Bahasa dan pengetahuan adalah privelege. Bukankah Panseksual terdengar lebih intelektual, lebih tinggi, jika dibandingkan dengan label-label populer lainnya seperti Gay, Top-Bottom, Biseksual, Butchi, Femme, yang sudah usang termakan pola biner yang mulai tidak disukai oleh beberapa orang di komunitas.

Tentu kita bisa melihat siapa saja yang mengidentifikasi dirinya sebagai panseksual. Berdasarkan pengamatan pribadi, kebanyakan mereka adalah anak-anak muda yang memiliki privelege terhadap pengetahuan seksualitas. Mereka biasanya memiliki pendidikan tinggi dan mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Pengamatanku ini bukan sebuah fakta, tetapi asumsi yang menurutku sangat bisa dibuktikan.

Mari kita lihat lebih jauh lagi apa itu Panseksual. Aku merujuk kepada salah satu buku yang dibuat oleh Federasi Arus Pelangi, kumpulan organisasi yang sangat getol mengutak atik identitas gender dan seksual manusia. Menurut mereka di dalam buku Modul Pendidikan Dasar SOGIESC, Panseksual adalah bagian dari orientasi seksual. Apa itu Orientasi seksual?

ORIENTASI SEKSUAL [noun. kata benda] adalah ketertarikan manusia terhadap manusia lain yang melibatkan rasa emosi dan romantis, dan/atau seksual. Orientasi seksual bersifat sangat personal. Sejauh ini masyarakat belum banyak mengenal keragaman orientasi seksual selain heteroseksual. Situasi lingkungan, termasuk di antaranya ketersediaan ruang aman dan nyaman mempengaruhi pilihan seseorang untuk menyatakan orientasi seksualnya atau tidak.”

Sedangkan Panseksual didefinisikan sebagai;

PANSEKSUAL [adj. kata sifat], ketertarikan manusia yang melibatkan rasa emosi dan romantis, dan/atau seksual terhadap manusia lainnya tanpa memandang gender dan/atau seksnya, misalnya:
DEMISEKSUAL [adj. kata sifat], ketertarikan manusia terhadap manusia lainnya tanpa memandang gender dan/atau seksnya, dimana ketertarikan seksual tidak muncul tanpa adanya ikatan emosi dan romantis yang kuat.
SAPIOSEKSUAL [adj. kata sifat], ketertarikan manusia terhadap kecerdasan manusia lainnya yang melibatkan rasa emosi, romantis dan/atau seksual tanpa memandang gender dan/atau seksnya.

Ternyata Panseksual tidak sesederhana menurut pemahaman warga netijen yang saya temui. Beberapa dari mereka menggunakan Panseksual dan Sapioseksual dalam konteks yang berbeda sedangkan Arus Pelangi melihat Sapioseksual sebagai bagian dari Panseksual. Tulisan ini tidak akan mengulas bagaimana kedua wacana tersebut memiliki perbedaan konteks. Tulisan ini lebih menggarisbawahi pandangan kritis terhadap Panseksual.

Pertanyaan kritis tersebut kita awali dengan sebuah pertanyaan “Apakah manusia bisa memiliki ketertarikan yang melibatkan emosi dan romantis terhadap manusia lainnya tanpa memandang gender dan/atau seksnya?” Jawaban yang terlontar dari ruang hampa logika tentu akan mengatakan “Ya, bisa sangat mungkin terjadi.” Tetapi hal itu bukan cara menjadi kritis karena terlepas dari realitas.

Pertanyaan awal itu membawa saya untuk mengajukan sebuah pertanyaan kepada kawan-kawan saya yang menggeluti ilmu seksualitas. Saya mengajukan pertanyaan “Apa perbedaan antara Biseksual dan Panseksual?” Pertanyaan tersebut menimbulkan sebuah keraguan. Salah seorang teman mengatakan bahwa Biseksual adalah ketertarikan yang melibatkan dua gender. Masih menggunakan pola biner laki-laki dan perempuan. Tetapi kemudian timbul pertanyaan lebih kritis lagi mengenai siapa yang disebut laki-laki dan perempuan itu dalam konteks Biseksual. Apakah terlepas dari kemelekatan jenis kelamin? Kawan lain mengajukan sebuah definisi Biseksual sebagai ketertarikan yang melibatkan dua gender apapun itu? Tetapi pandangan ini pun runtuh dengan pertanyaan kritis kenapa hanya dua gender saja? Padahal orang terkait mampu memiliki ketertarikan diluar batas kemelekatan jenis kelamin. Apa yang membuat mereka hanya mampu menyukai dua, bukan tiga dan selebihnya.

Arus Pelangi menempatkan Biseksual dan Panseksual dalam kategori orientasi seksual. Biseksual dalam Modul SOGIESC didefinisikan sebagai;

BISEKSUAL [adj. kata sifat], ketertarikan manusia terhadap manusia lain yang melibatkan rasa emosi dan romantis, dan/atau seksual, yang tidak terbatas pada satu gender dan/atau seks tertentu.”

Definisi Biseksual yang dirumuskan oleh Arus Pelangi telah melepaskan pakem kata “bi” yang berarti dua. Cukup aneh melihat terminilogi dan definisi yang tidak sinkron tersebut. Mari kita kembali pada tema besar Panseksual. Jika kita mencermati definisi Panseksual dan Biseksual terlihat serupa. Titik perbedaannya Panseksual adalah ketertarikan tanpa memandang gender sedangkan Biseksual tidak terbatas pada satu gender tertentu. Tanpa memandang berarti seseorang memang tidak peduli dengan gender orang lain yang ia sukai. Tetapi hal apakah yang bisa membuat seorang Panseksual memiliki ketertarikan terhadap orang lain tanpa melihat gendernya? Melihat konteks Panseksual berada pada tataran orietasi seksual, maka sesuatu itu harus mampu menciptakan ketertarikan rasa emosi, romantis, dan/atau seksual.

Demiseksual yang dianggap sebagai salah satu kategori Panseksual justru meninggalkan misteri besar pertanyaan di atas. Sedangkan Sapioseksual menjelaskan bahwa kecerdasanlah yang membuat seorang tertarik secara emosi, romantis, dan/atau seksual. Seksualitas harus dilihat sebagai suatu yang beragam. Sangat mungkin kita tertarik pada seseorang karena dia pintar, tetapi apakah kita hanya melihat kepintarannya saja semata? Bagaimana itu bisa terjadi secara nyata.

Menurut Judith Buttler gender adalah apa yang seseorang lakukan (perform) bukan tentang apa-siapa semata. Perform tersebut melibatkatkan banyak aspek seperti identitas, kuasa, hasrat dll. Bagaimana seseorang mampu untuk mengelak dari hal-hal rumit tersebut dan terpaku pada “kepintaran” sematalah yang membuat ia tertarik pada seseorang? Saya kembali bertanya kepada teman-teman saya dan mereka tidak mampu menjawab pertanyaan terakhir saya.

Kami mengambil sebuah kasus bagaimana beberapa teori seksualitas tidak bisa bekerja dalam realitas. Ada seorang laki-laki yang mengidentifikasi dirinya sebagai seorang gay. Ternyata dia tidak menyukai sekedar laki-laki. Setelah kami lihat lebih jauh laki-laki tersebut memiliki preferensi laki-laki yang ia sukai seperti maskulin, ras cina, mapan, mampu berbahasa inggris. Pada prakteknya ternyata seorang gay tidak bisa memisahkan orientasi yang berbasis gender semata dengan preferensinya lain dari variabel kompleks manusia lainnya. Bahkan menurut kami, orientasi seksual tersebut tidak akan bekerja dalam realitasnya jika kita melihat bagaimana ruang dan politik bekerja. Bisa jadi seorang gay tidak akan mampu/berani menjadi seorang gay di tengah sebuah negara yang menerapkan hukuman mati bagi LGBTIQ.

Panseksual bisa jadi adalah false science yang terus direproduksi oleh politik identitas dan kapitalisme. Wacana yang terus menciptakan pola-pola kaku yang tidak bisa bekerja dalam realitas dan cacat logika.

1 comment:

  1. mari gabung bersama kami di Aj0QQ*c0M
    BONUS CASHBACK 0.3% setiap senin
    BONUS REFERAL 20% seumur hidup.

    ReplyDelete