Thursday, 17 April 2014

Surat Untuk Kekasih #1



Untuk Sayangku,
Saat ini aku masih mencari berbagai alasan untuk tetap peduli kepadamu. Seperti ketika mencari sebuah alasan untuk ikut merayakan ulang tahunmu. Apakah kamu percaya bahwa setiap tindakan kita harus didasari oleh sebuah alasan? Atau kadang kita hanya mengikuti intuisi atau dalam bahasa melankolimu kau sebuat sebagai kata hati?
Jika demikian, seberapa pentingkah kesadaran itu? Alasan dibalik sebuah tindakan adalah nyawa dari kesadaran. Kalau saja aku ikut merayakan ulang tahunmu tanpa sebuah alasan pasti maka aku berada dalam ketidaksadaran. Aku curiga jangan-jangan kau telah membiusku dengan cintamu. Sekali lagi.
Aku belum tahu secara pasti kapan aku akan menemuimu, tetapi aku sudah merencanakan sebuah perjalanan pribadiku ketika aku berkunjung ke kotamu. Kita tidak perlu berdiskusi untuk mengkompromikan agenda kita karena bagaimanapun juga aku harus tunduk oleh kegiatanmu yang berjubel. Perjalanan pribadi adalah upayaku untuk menunggu waktu senggangmu. Apakah aku terdengar sangat menyedihkan?
Tapi aku cukup bersyukur karena aku bertindak tanpa suatu alasan. Melupakan sisi rasional seorang manusia. Tak perlu bersedih untuk suatu hal yang tak kita sadari.
Rencananya aku ingin naik Gunung Gede. Bukan puncak yang ingin kutaklukan, tetapi aku ingin pergi ke Lembah Mandalawangi. Bukan karena puisi atau bunga edelweis. Dari namanya justru aku terpikat daya magisnya. Banyak yang mengatakan bahwa lembah itu sangat sunyi dan dingin. Jika diperumpamakan, maka hal itu mungkin mirip dengan hatimu kepadaku.
Ketika banyak orang terpikat oleh kehangatan jiwa dari hati, maka sebaliknya aku menemukan keindahanmu dari dingin dan sepinya jiwamu kepadaku.
Pendakian Gunung Gede sangatlah repot. Bisa dikatakan pendakian ini adalah pendakian terumit sepanjang pendakianku selama ini. Banyak sekali peraturan yang harus aku patuhi, termasuk minimal jumlah pendaki adalah 3 orang. Peraturan itu memupuskan harapanku untuk melakukan honeymoon bersamamu disana. Kau tahu kenapa aku ingin mengajakmu kesana? Karena aku ingin kau tahu betapa dinginnya hatimu kepadaku dan betapa indahnya hal itu.
Beberapa hari lagi kau akan merayakan ulang tahunmu. Aku masih kebingungan untuk membeli sebuah kado spesial untukmu. Bagaimana jika kutawarkan kehadiranku sebagai kado untukmu? Aku kira dirimu akan muntah jika aku menawarkannya kepadamu.
Karenanya aku berpikir beberapa kali tentang buku, jam tangan, atau hanya bunga. Mana diantara hal itu yang lebih berkesan. Jika diperbolehkan berpendapat, aku ingin menghadiahkan dirimu suatu hal yang tak bisa terbeli. Atau suatu hal yang tak bisa diikat oleh mata uang. Jika demikian maka kado bukan bingkisan dengan sampul meriah bukan?
Sekarang kamu tahu kenapa aku berpikir keras memikirkan hal itu.
Sepertinya aku berpikir terlalu jauh mengenai sebuah kado. Aku baru sadar bahwa aku lupa berapa umurmu saat ini. 21, 22 atau 23 tahun? Deretan angka yang diukur oleh waktu.
Saat ini mungkin dirimu tidak terlalu khawatir dengan umur, tetapi aku kira kau akan memikirkannya lebih ketika kau sudah lebih tua. Akhir-akhir ini kita banyak tertarik oleh bahasan kematian. Sepertinya itu bermula dariku.
Waktu dan kematian adalah suatu konteks yang berbeda, begitu juga dengan umur dan tua. Waktu adalah sebuah dimensi diantara ruang. Umur, aku kira waktu menjadi dasar penilaiannya. Sementara tua adalah sebuah proses degenerasi organ-organ. Seperti keriput yang mulai terlihat dikeningmu akibat radikal bebas yang mengerogoti sel-sel DNA-mu.
Apakah hal itu tidak berkaitan sama sekali? Aku tidak pernah mengatakan hal itu tidak berkaitan, tetapi aku ingin kau memahami sebuah konteksnya. Pahamilah bahwa umur bukanlah satu-satunya penentu kematian.
Aku ingin mengutip sebuah pepatah latin untuk menjelaskan kematian kepadamu:
Nascentes morimur (From the moment we are born, we begin to die)
Apa artinya kehidupan selain permulaan akan sebuah kematian. Seperti kehidupan, kematian mungkin adalah sebuah proses yang nantinya akan membawa kita pada titik akhir. Mari sama-sama melihat kamus bahwa antonim dari kehidupan adalah kematian. Ia layaknya sebuah keping uang kan?
Aku banyak membaca artikel yang dibuat oleh ilmuwan mengenai kematian. Mereka ingin mengetahui kematian bukan dari sisi takdir tetapi sisi keilmuwan. Sejauh ini mereka belum tahu secara pasti karena kematian bukan semata-mata hilangnya fungsi organ tubuh dan panca indra. Kematian juga menghilangkan nyawa, suatu hal yang saat ini belum diketahui dimanakah ia berada di dalam tubuh manusia. Kematian menyisakan sebuah misteri besar bagi para ilmuwan, manusia dan aku sendiri.
Kadang aku terheran-heran, dibalik misteri kematian. Ada saja ilmuwan yang berpikir akan keabadian. Memang zaman ini adalah zaman dimana kita harus bervisi. Merencanakan masa depan dari masa depan. Tetapi apakah hal itu tidak terlalu jauh? Apalagi dari teori-teori penciptaan alam semesta kita dibuat sadar akan sisi transendensi dari manusia.
Sebuah misteri besar yang kita sebut sebagai transenden. Seperti pertanyaan akan kehidupan setelah kematian. Jika saja aku tahu kebenarannya, mungkin aku tidak pantas untuk takut oleh kematian. Kau jangan tertawa jika aku yang membangga-banggakan mati muda sebenarnya takut akan kematian.
Kuberikan kau kutipan dari Seneca:
Non mortem timemus, sed cogitationem mortis
(We do not fear death, but the thought of death)
Kuharap kau memahami asal muasal ketakutanku pada kematian. Sesungguhnya yang aku takutkan akan kematian adalah pikiran mengenai hal itu. Suatu misteri yang belum terjawab oleh satu orang manusia pun di dunia ini. Tentang rasa kematian, tentang setelah kematian. Aku tak mampu membohongi sisi manusiawiku.
Kematian ada di depan kita. Itu nyata. Mati muda atau mati tua? Tetap saja itu kematian.
Sepertinya kita sekarang mulai sepaham bahwa saat ini kita sedang berada dalam sebuah alur menuju kematian. Jika diperbolehkan aku ingin menamakan proses itu sebagai kehidupan.
Kau adalah bagian dari proses kematianku. Dibalik pikiran-pikiran yang menyeramkan, aku menikmati delusi yang kau tawarkan. Begitu indah ketika aku mengingat memori kita naik gunung atau camping di pantai. Entah bagaimana kau bisa membuat proses menuju kematian ini sangat menyenangkan. Kau kadang membuatku lupa akan hal-hal seram dibalik kematian. Apakah kau juga merasa demikian?
Aku minta maaf sepertinya kita terlalu jauh. Sebaiknya kita kembali pada ulang tahunmu saja. Dua minggu lagi umurmu akan bertambah begitu juga kau akan semakin tua. Aku tidak akan mengejekmu karena ketuanmu. Aku kira dibalik itu semua banyak hal yang telah kau peroleh dan kau manifestasikan ke dalam pikiranmu. Dirimu yang dulu tentu saja berbeda dengan dirimu yang sekarang. Sekarang ketahuilah bahwa manusia itu berubah. Masih ingat kita pernah mendebatkan hal ini dulu?
Nanti aku akan membahas mengenai perubahan dalam suratku yang mendatang. Kau hanya perlu menunggu karena disana ada sepucuk rindu.
Satu lagi, aku jengkel ketika kau selalu bertanya apa yang harus kau lakukan menghadapi masalah-masalah yang kau hadapi. Bukannya tidak ingin menjadi pendengar atas keluh kesahmu, aku hanya takut kau menjadi buta. Aku selalu membaca analisis yang kau gambarkan atas masalah yang kau hadapi. Pemikiranmu saat ini seharusnya mampu menunjukkan solusinya. Terbukti, tanpa saran-saranku kau tahu sendiri apa yang harus kau lakukan.
Kebutaan terjadi ketika kau tahu apa yang harus kau lakukan tetapi kau tidak melakukannya. Tentu ada banyak hal yang melatarbelakanginya, kau tahu akan hal itu. Disitulah aku khawatir. Bagiku kebutaan adalah ketidakmampuan orang melihat suatu hal yang benar-benar jelas atau ketidakmampuan melihat karena kebutaan itu sendiri.
Cukup dulu untuk saat ini. Terima kasih sudah melabeliku dengan kata cerewet. Ketahuilah ini semata-mata untukmu. Seseorang yang membuatku merasa nyaman dan damai menuju kematian.

Salam

Beaver


No comments:

Post a Comment