Untuk
Sayangku,
Saat ini aku
masih mencari berbagai alasan untuk tetap peduli kepadamu. Seperti ketika
mencari sebuah alasan untuk ikut merayakan ulang tahunmu. Apakah kamu percaya
bahwa setiap tindakan kita harus didasari oleh sebuah alasan? Atau kadang kita
hanya mengikuti intuisi atau dalam bahasa melankolimu kau sebuat sebagai kata
hati?
Jika demikian,
seberapa pentingkah kesadaran itu? Alasan dibalik sebuah tindakan adalah nyawa
dari kesadaran. Kalau saja aku ikut merayakan ulang tahunmu tanpa sebuah alasan
pasti maka aku berada dalam ketidaksadaran. Aku curiga jangan-jangan kau telah
membiusku dengan cintamu. Sekali lagi.
Aku belum tahu
secara pasti kapan aku akan menemuimu, tetapi aku sudah merencanakan sebuah
perjalanan pribadiku ketika aku berkunjung ke kotamu. Kita tidak perlu
berdiskusi untuk mengkompromikan agenda kita karena bagaimanapun juga aku harus
tunduk oleh kegiatanmu yang berjubel. Perjalanan pribadi adalah upayaku untuk
menunggu waktu senggangmu. Apakah aku terdengar sangat menyedihkan?
Tapi aku cukup
bersyukur karena aku bertindak tanpa suatu alasan. Melupakan sisi rasional seorang
manusia. Tak perlu bersedih untuk suatu hal yang tak kita sadari.
Rencananya aku
ingin naik Gunung Gede. Bukan puncak yang ingin kutaklukan, tetapi aku ingin
pergi ke Lembah Mandalawangi. Bukan karena puisi atau bunga edelweis. Dari
namanya justru aku terpikat daya magisnya. Banyak yang mengatakan bahwa lembah
itu sangat sunyi dan dingin. Jika diperumpamakan, maka hal itu mungkin mirip
dengan hatimu kepadaku.
Ketika banyak
orang terpikat oleh kehangatan jiwa dari hati, maka sebaliknya aku menemukan
keindahanmu dari dingin dan sepinya jiwamu kepadaku.
Pendakian
Gunung Gede sangatlah repot. Bisa dikatakan pendakian ini adalah pendakian
terumit sepanjang pendakianku selama ini. Banyak sekali peraturan yang harus
aku patuhi, termasuk minimal jumlah pendaki adalah 3 orang. Peraturan itu
memupuskan harapanku untuk melakukan honeymoon
bersamamu disana. Kau tahu kenapa aku ingin mengajakmu kesana? Karena aku ingin
kau tahu betapa dinginnya hatimu kepadaku dan betapa indahnya hal itu.
Beberapa hari
lagi kau akan merayakan ulang tahunmu. Aku masih kebingungan untuk membeli
sebuah kado spesial untukmu. Bagaimana jika kutawarkan kehadiranku sebagai kado
untukmu? Aku kira dirimu akan muntah jika aku menawarkannya kepadamu.
Karenanya aku
berpikir beberapa kali tentang buku, jam tangan, atau hanya bunga. Mana diantara
hal itu yang lebih berkesan. Jika diperbolehkan berpendapat, aku ingin
menghadiahkan dirimu suatu hal yang tak bisa terbeli. Atau suatu hal yang tak
bisa diikat oleh mata uang. Jika demikian maka kado bukan bingkisan dengan
sampul meriah bukan?
Sekarang kamu
tahu kenapa aku berpikir keras memikirkan hal itu.
Sepertinya aku
berpikir terlalu jauh mengenai sebuah kado. Aku baru sadar bahwa aku lupa
berapa umurmu saat ini. 21, 22 atau 23 tahun? Deretan angka yang diukur oleh
waktu.
Saat ini
mungkin dirimu tidak terlalu khawatir dengan umur, tetapi aku kira kau akan
memikirkannya lebih ketika kau sudah lebih tua. Akhir-akhir ini kita banyak
tertarik oleh bahasan kematian. Sepertinya itu bermula dariku.
Waktu dan
kematian adalah suatu konteks yang berbeda, begitu juga dengan umur dan tua.
Waktu adalah sebuah dimensi diantara ruang. Umur, aku kira waktu menjadi dasar
penilaiannya. Sementara tua adalah sebuah proses degenerasi organ-organ.
Seperti keriput yang mulai terlihat dikeningmu akibat radikal bebas yang
mengerogoti sel-sel DNA-mu.
Apakah hal itu
tidak berkaitan sama sekali? Aku tidak pernah mengatakan hal itu tidak
berkaitan, tetapi aku ingin kau memahami sebuah konteksnya. Pahamilah bahwa
umur bukanlah satu-satunya penentu kematian.
Aku ingin
mengutip sebuah pepatah latin untuk menjelaskan kematian kepadamu:
Nascentes morimur (From the moment we are born, we begin to die)
Apa artinya
kehidupan selain permulaan akan sebuah kematian. Seperti kehidupan, kematian
mungkin adalah sebuah proses yang nantinya akan membawa kita pada titik akhir.
Mari sama-sama melihat kamus bahwa antonim dari kehidupan adalah kematian. Ia
layaknya sebuah keping uang kan?
Aku banyak
membaca artikel yang dibuat oleh ilmuwan mengenai kematian. Mereka ingin
mengetahui kematian bukan dari sisi takdir tetapi sisi keilmuwan. Sejauh ini
mereka belum tahu secara pasti karena kematian bukan semata-mata hilangnya
fungsi organ tubuh dan panca indra. Kematian juga menghilangkan nyawa, suatu
hal yang saat ini belum diketahui dimanakah ia berada di dalam tubuh manusia.
Kematian menyisakan sebuah misteri besar bagi para ilmuwan, manusia dan aku
sendiri.
Kadang aku
terheran-heran, dibalik misteri kematian. Ada saja ilmuwan yang berpikir akan
keabadian. Memang zaman ini adalah zaman dimana kita harus bervisi.
Merencanakan masa depan dari masa depan. Tetapi apakah hal itu tidak terlalu
jauh? Apalagi dari teori-teori penciptaan alam semesta kita dibuat sadar akan
sisi transendensi dari manusia.
Sebuah misteri
besar yang kita sebut sebagai transenden. Seperti pertanyaan akan kehidupan
setelah kematian. Jika saja aku tahu kebenarannya, mungkin aku tidak pantas
untuk takut oleh kematian. Kau jangan tertawa jika aku yang membangga-banggakan
mati muda sebenarnya takut akan kematian.
Kuberikan kau
kutipan dari Seneca:
Non mortem timemus, sed cogitationem mortis
(We
do not fear death, but the thought of death)
Kuharap kau
memahami asal muasal ketakutanku pada kematian. Sesungguhnya yang aku takutkan
akan kematian adalah pikiran mengenai hal itu. Suatu misteri yang belum
terjawab oleh satu orang manusia pun di dunia ini. Tentang rasa kematian,
tentang setelah kematian. Aku tak mampu membohongi sisi manusiawiku.
Kematian ada
di depan kita. Itu nyata. Mati muda atau mati tua? Tetap saja itu kematian.
Sepertinya
kita sekarang mulai sepaham bahwa saat ini kita sedang berada dalam sebuah alur
menuju kematian. Jika diperbolehkan aku ingin menamakan proses itu sebagai
kehidupan.
Kau adalah
bagian dari proses kematianku. Dibalik pikiran-pikiran yang menyeramkan, aku
menikmati delusi yang kau tawarkan. Begitu indah ketika aku mengingat memori
kita naik gunung atau camping di
pantai. Entah bagaimana kau bisa membuat proses menuju kematian ini sangat
menyenangkan. Kau kadang membuatku lupa akan hal-hal seram dibalik kematian.
Apakah kau juga merasa demikian?
Aku minta maaf
sepertinya kita terlalu jauh. Sebaiknya kita kembali pada ulang tahunmu saja.
Dua minggu lagi umurmu akan bertambah begitu juga kau akan semakin tua. Aku
tidak akan mengejekmu karena ketuanmu. Aku kira dibalik itu semua banyak hal
yang telah kau peroleh dan kau manifestasikan ke dalam pikiranmu. Dirimu yang
dulu tentu saja berbeda dengan dirimu yang sekarang. Sekarang ketahuilah bahwa
manusia itu berubah. Masih ingat kita pernah mendebatkan hal ini dulu?
Nanti aku akan
membahas mengenai perubahan dalam suratku yang mendatang. Kau hanya perlu menunggu
karena disana ada sepucuk rindu.
Satu lagi, aku
jengkel ketika kau selalu bertanya apa yang harus kau lakukan menghadapi
masalah-masalah yang kau hadapi. Bukannya tidak ingin menjadi pendengar atas
keluh kesahmu, aku hanya takut kau menjadi buta. Aku selalu membaca analisis
yang kau gambarkan atas masalah yang kau hadapi. Pemikiranmu saat ini
seharusnya mampu menunjukkan solusinya. Terbukti, tanpa saran-saranku kau tahu
sendiri apa yang harus kau lakukan.
Kebutaan
terjadi ketika kau tahu apa yang harus kau lakukan tetapi kau tidak
melakukannya. Tentu ada banyak hal yang melatarbelakanginya, kau tahu akan hal
itu. Disitulah aku khawatir. Bagiku kebutaan adalah ketidakmampuan orang
melihat suatu hal yang benar-benar jelas atau ketidakmampuan melihat karena
kebutaan itu sendiri.
Cukup dulu
untuk saat ini. Terima kasih sudah melabeliku dengan kata cerewet. Ketahuilah
ini semata-mata untukmu. Seseorang yang membuatku merasa nyaman dan damai
menuju kematian.
Salam
Beaver
No comments:
Post a Comment