Perempuan
itu terkejut begitu memasuki ruangan tempat dirinya menjalani seleksi
wawancara. Ia melihat laki-laki yang ditemuinya di dalam kegiatan
seni di Jalan boulevard UGM. Ia tidak terlalu dekat dengan laki-laki
itu, tetapi mereka berbincang baik ketika bertemu. Laki-laki itu
segera menyadari kedatangan perempuan yang menjaga langkahnya ketika
memasuki ruangan.
“Eh
kamu to”. Begitu laki-laki itu menyapa. Tanpa sebutan nama hingga
membuat perempuan itu merasa bahwa laki-laki itu memang tak mengingat
namanya.
Begitulah
pertemuan mereka terjadi, titik awal hingga mereka tumbuh menjadi
layaknya seorang kakak-adik. Setidaknya itulah yang sering aku lihat
dari hubungan mereka yang sangat unik. Ada saat-saat bahagia,
kenangan yang selalu disertai tawa ketika perempuan itu mengingatnya.
Atau hal-hal yang ia tak sukai tetapi ia lebih suka menyimpan untuk
dirinya sendiri.
Aku
datang tanpa sebuah rencana ke rumah perempuan itu. Ia selalu terbuka
untuk diriku. Kami duduk di ruangan bawah tempat kami sering
berbincang banyak hal. Siang itu aku menanyakan sebuah rencana
santai. Begitu aku menyampaikan hal itu secara sederhana tanpa
muluk-muluk. Seperti biasanya ia selalu mengatakan “Apa yang bisa
ia bantu.” Aku hampir mengejeknya, balasannya terlalu otomatis
seperti seorang pelayan konsumen. Tetapi aku lebih memilih untuk
membuka sebuah peluang untuk berbicara hal-hal yang ingin aku ketahui
dari perjalanannya selama beraktivisme.
Perempuan
itu menerawang ketika aku mengajukan beberapa pertanyaan. Aku sempat
berpikir apakah pertanyaanku sedikit rumit untuk digali dari masa
lalunya? Beberapa jawaban yang aku dengar terkesan sangat formal,
sebuah bukti sukses ideologi organisasi tempatnya menghabiskan
bertahun-tahun bersama komunitas tertindas. Ia berkali-kali juga
tidak bisa untuk tidak mengaitkan organisasinya. Padahal aku ingin
memunculkan subyektivitas dirinya dalam setiap jawabannya. Mungkin
aku bukan seorang penanya yang baik, karena seharusnya aku tak perlu
berharap dia menjawab sesuatu yang aku inginkan. Aku tahu aku bodoh.
Organisasi
tua tempat perempuan mengabdikan diri memang besar pengaruhnya pada
gerakan komunitas tertindas, terutama gerakan LGBT. Mereka-mereka
yang pernah berada di organisasi itu adalah orang luar biasa yang
selalu menginginkan perubahan. Dulu ketika isu HIV AIDS mendominasi
segala funding dan wacana. Mereka memilih untuk membuka cakrawala
wacana. Perjuangan identitas menjadi pijakan berikutnya untuk
mendorong komunitas LGBT untuk bergerak lebih luas memperjuangkan hak
mereka. Mereka tak hanya menganggap komunitas LGBT sebagai obyek
proyek yang harus selalu didampingi. Mereka meyakini bahwa komunitas
memiliki daya untuk menjadi aktor utama perubahan.
Perbincangan
kami menjadi tidak teratur. Semakin lama aku bukan menjadi seorang
penanya yang pintar. Semakin lama aku pun sedikit khawatir karena
berkali-kali ia mengulang nama seorang laki-laki yang telah tiada.
Seseorang yang sangat berarti untuk hidupnya. Aku cukup khawatir jika
pertanyaanku akan membuka lukanya yang telah sembuh karena ikhlas.
Kami diam sejenak, aku lalu mengalihkan pembicaraan pada hal-hal
remeh tentang bahasan keseharian komunitas yang tak jauh dari
pasangan, pesta atau kesenian. Ternyata dulu dan hari ini tak terlalu
berbeda. Masalah-masalah yang seolah terulang, beranak-pinak dan tak
terselesaikan. Aku tak ingin menjadi orang yang terlalu pemimis
melihat masalah itu. Bukankah perubahan tidak akan pernah terjadi
tanpa harapan yang harus selalu hidup. Dari perempuan itu aku semakin
percaya bahwa harapan itu harus terus menyala dan diteruskan ke semua
orang. Perempuan itu memang tidak terlalu yakin atau mungkin dia
tidak terlalu ingat. Beberapa kali dia mengatakan untuk bertanya
kepada laki-laki, “kakak”nya yang lebih dulu bergerak bersama
komunitas. Aku tahu bahwa aku harus bertanya kepada laki-laki itu.
Seorang laki-laki yang menyimpan banyak proses bersamanya. Kadang aku
berandai-andai, jika laki-laki itu ingin menggunakan namanya. Mungkin
ia telah menjadi seorang direktur, seorang aktivis ternama, atau
seorang lain yang besar. Bagiku ia memilih bersama komunitas dan aku
hormat padanya.
Aku
tak pernah bisa menebak isi kepala perempuan itu. Semakin lama kami
berbincang aku ingin semakin dalam menyelam. Mungkin dia akan sangat
berbeda memaknai laki-laki itu. Dia lah yang telah lama mengenalnya.
Sebelum berada di organisasi yang sama, ia telah mengenalnya melalui
mantan kekasihnya. Dari teman kekasihnya ia bertemu dengan laki-laki
itu di Boulevard UGM. Mereka berkumpul membicarakan banyak hal
terutama kesenian. Di luar jalanan Boulevard perempuan itu juga
bertemu dengan laki-laki itu menjadi seseorang yang aktif berbicara
LGBT di banyak forum. Kami melihat gerakan yang dibangun oleh
laki-laki adalah gerakan menengah. Tetapi aku tak bisa melihat
sedangkal itu. Aku harus mendengarkan cerita lain tentang laki-laki
itu dari orang lain, perempuan itu tak berani menceritakannya. Dari
cerita orang lain, mereka bercerita tentang aksi bersama petani,
ramaja jalanan, buruh. Jelaslah bahwa laki-laki itu telah melakukan
bunuh diri kelas dan membaur bersama orang-orang kecil.
Melalui
perempuan itu aku ingin menceritakan tentang laki-laki itu. Aku tidak
ingin orang-orang seperti dirinya berlalu begitu saja dalam waktu.
Seperti tahun demi tahun yang lalu, aku dan perempuan itu kehilangan
orang-orang besar. Kehilangan selalu memyedihkan, memang. Namun, ada
yang lebih menyakitkan jika kami yang pernah bersama mereka tak bisa
menyampaikan jiwa mereka kepada lainnya.
Sebelum
teknologi mampu meniadakan kematian. Aku pikir mereka harus tercatat
dalam sejarah. Demikian jiwa mereka akan tersampaikan pada lainnya.
No comments:
Post a Comment