Showing posts with label karimunjawa. Show all posts
Showing posts with label karimunjawa. Show all posts

Saturday, 7 September 2019

The Karimunjawa


Ada banyak cerita mengenai sebuah perjalanan mengeskplorasi alam dan budaya di Indonesia. Namun tak banyak traveler yang menceritakan apakah mereka akan kembali ke tempat mereka pernah singgah, seberapa sering mereka kembali dan kenapa mereka terus kembali. Bagiku sebuah perjalanan bukan sekedar menumpang lewat dan meninggalkan bekas digital. Perjalanan bisa lebih berarti dan bermakna. Cerita berikut adalah salah satu dari tempat yang selalu memiliki tempat di hatiku, Karimunjawa.

Aku datang ke Pulau ini pertama kali ketika pada tahun 2010 bersama teman-teman KKN UGM. Pertama kali aku mendengar sebuah rencana KKN di Karimunjawa dan tim tersebut sedang mencari anggota tim, secara spontan aku bergabung tanpa sebuah pertimbangan bagaimana programku di jurusan ekonomi akan berjalan di sana. Sejujurnya, aku belum pernah mendengar nama pulau itu sebelumnya. Jadi aku seolah merasa menjadi seorang bajak laut yang baru saja mendengar mitos tentang sebuah pulau nan jauh di sana dan berbekal semangat saja untuk sampai ke sana.

Berbekal pengalaman hidup di Pulau Jawa yang sungguh nyaman dipenuhi berbagai macam infrastruktur membuatku banyak berpikir. Sebuah pulau yang tak terlalu jauh dari Pulau Jawa hanya memiliki listrik selama 6 jam saja. Waktu itu aku tinggal di bagian utara pulau, nama daerahnya Kemojan. Hanya ada 3 moda transportasi yang bisa dipilih yaitu kapal lambat, kapal cepat dan pesawat. Opsi terakhir tidak mungkin bisa dijangkau pada waktu itu karena kapal hanya bisa digunakan dengan sistem sewa yang tidak mungkin aku lakukan waktu itu.

Jika dibandingkan hari ini, Karimunjawa waktu itu adalah gambaran nyata betapa pembangunan tidak merata di Indonesia. Saat ini Karimunjawa telah tumbuh menjadi tempat wisata andalan Jawa Tengah. Jalur transportasi dan berbagai infrastruktur telah dibangun pesat. Namun aku merindukan masa-masa itu. Masa di mana semua tidak terukur dengan uang.Tetapi satu hal yang menurutku tidak bisa berubah yaitu perubahan itu sendiri dan waktu berjalan lebih cepat dibandingkan dengan yang aku rasakan. Perjalanan yang dimulai dari program sosial akhirnya berubah perlahan membuatku menjadi seorang wisatawan.

Orang-orang Karimunjawa adalah hal yang paling menarik bagiku. Pulau kecil ini adalah gambaran dari multikulturalisme nusantara. Dilihat dari kemiripan budayanya, bagian selatan pulau ini di dominiasi oleh etnis jawa. Di sebelah utara penduduknya lebih beragam karena ada kelompok Jawa, Bugis dan Madura, yang tinggal mengelompok di Desa Njelamun, Batulawang dan Telaga. Hari ini aku masih terikat dengan keramahan orang-orang di utara. Beberapa kali mereka datang ke Jogja dan aku sering mengunjungi mereka. Hampir selama 9 tahun kami tetap saling mengabarkan.

Aku tidak akan bisa mengesampingkan keindahan alam Karimunjawa walau akhir-akhir ini aku sedikit khawatir dengan kerusakan dan polusi. Berbeda dengan 9 tahun silam, hari ini kita akan melihat lebih mudah kapal tongkang batu bara singgah di Taman Konservasi Nasional ini. Anda seharusnya juga perlu mendengar cerita mengenai terjungkirnya kapal batubara, terbakarnya kapal batubara ketika hujan lebatm atau kapal batubara yang akhir-akhir ini baru saja merusak terumbu karang seluas lapangan sepak bola. Hampir semua orang tahu cerita itu, tapi tak satu pun bisa berbuat apa-apa. Satu hal yang tidak berubah, kuasa Orang Karimunjawa dibandingkan Orang Jawa.

Tidak! Aku seharusnya menceritakan hal-hal baik saja supaya bisa membuat orang-orang tertarik untuk datang ke pulau ini. Namun aku akan merasa bersalah jika harus berpura-pura layaknya hidup di Pulau nan surga ini. Baiklah, seperti aku bilang tadi, perlahan aku menjadi seorang wisatawan. Kadang aku memang tinggal di rumah warga di bagian utara pulau. Namun di beberapa kesempatan, terutama ketika aku pergi bersama kawan-kawanku. Aku memilih untuk tinggal di bagian selatan, beberapa menyebutnya dengan sebutan Kota Karimunjawa.

Jika harus memberikan rekomendasi, aku hanya akan memberikan kalian 2 pilihan. Pertama homestay bergaya hippie bernama The Bodhi Tree. Homestay ini memiliki dua tipe dormitory dan private room. Selain fasilitas, desain hotel dan keramahan staff yang bekerja, aku memilih tempat ini karena pemilik usaha ini memiliki koneksi bisnis di Yogyakarta. Setahuku mereka juga punya hotel di jogja dan paket wisata dari Jogja-Karimunjawa. Oiya, walau sudah banyak warung di Karimunjawa, tetapi mencari sarapan enak di Pulau ini adalah hal yang tidak mudah. Homestay ini menurutku menyediakan sarapan yang sangat menyenangkan.

Pilihan kedua adalah Cocohut Hotel. Aku selalu meyukai pemandangan laut dari atas bukit. Jika kalian menyukai hal yang sama. Kalian bisa memilih hotel ini sebagai pilihan kalian. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan jika memilih tempat ini adalah, jarak antara hotel dan pusat kota yang lumayan jauh jika jalan kaki, sekitar 10 menit. Lalu pastikan kalian tidak memiliki masalah dengan menaiki tangga. Hotel ini berada di atas bukit jadi bayangkanlah. Oiya, dua pilihan hotel tersebut berdasarkan salah satu pertimbangan hotel dengan low budget tapi dengan kualitas terbaik di Pulau.

Sepertinya aku tidak perlu menceritakan tentang destinasi wisata di Pulau ini. Ada terlalu banyak informasi yang bisa dipilih. Jelajah pulau adalah paket wisata yang digemari wisatawan. Katanya sih liburan di Pulau Karimunjawa enga lengkap tanpa keliling pulau. Mungkin hal itu tidak bekerja untuku. Akhir-akhir ini aku engga pernah keliling pulau ketika pergi ke Karimunjawa. Aku memilih untuk tracking ke bukit dan hutan mangrove atau santai di pinggir pantai.

Salah satu momen favoritku adalah menghabiskan sore di Pantai Sunset, sekitar 15 menit dari Kota Karimun dengan menggunakan motor. Jangan pernah mengharapkan sunset di tempat ini. Kalian nggak mikir polusi udara yang gentayangan di langit Jawa apa? Tapi kalau kamu beruntung pasti akan dapat langit sore yang menenangkan jiwa. Oiya tempat ini favorit karena kalian juga bisa ngebeer di sini. Hehe

Akhirnya mungkin tidak ada alasan pasti kenapa aku terikat dan selalu ingin pergi ke pulau ini walau semakin lama aku tahu tubuhku semakin renta untuk berjalan jauh (halah). Mungkin aku bisa mengatakan dua hal yaitu manusia dan alam yang membuatku selalu terhubung selama ini. Selalu ada orang dan hal baru yang bercerita tentang sisi lain kehidupan manusia yang ternyata tidak begitu-begitu saja. Hidup di Jawa membuatku terbiasa dengan hal serupa. Bertemu dan melihat kehidupan mereka selalu membuatku sadar bahwa aku sebenarnya memiliki pilihan hidup untuk berbeda.

Alam di Karimunjawa mungkin tidak begitu fenemonal jika di bandingkan dengan tempat lain seperti Flores, Raja Ampat atau tempat lainnya. Tapi aku memiliki koneksi berupa ingatan yang selalu membuatku bahagia ketika mengingat tempat ini. Melihat pohon-pohon kelapa berjejer rapi dari kejauhan atau birunya lautan dari atas bukit. Tempat yang selalu membuatku mindfulness dengan rasa bahagia.

Tuesday, 26 July 2016

Di Persimpangan Rindu

Kehidupan adalah perulangan sejarah. Pertemuan awal dengannya pun tidak lebih dari perulangan pengalaman. Kami bertemu, saling bertukar hal privasi, bersenang-senang dan bercinta. Seolah hal itu adalah siklus alamiah yang menyandingi siklus paling alamiah tentang lahir-hidup-mati. Aku merasa hampa, tidak berada. Heidegger mengatakan kejatuhan eksistensial terjadi ketika manusia terperangkap dalam dunia umum atau dunia keseharian bernama common sense. Tidak ada kebaruan. Lebih parah lagi, kami mulai tidak jujur dengan saling menyuguhkan citra bahwa kami adalah manusia-manusia ideal. Dia mencitrakan dirinya sebagai manusia mapan. Dibuatlah sebuah manipulasi dan simulasi yang beranekaragam. Hampir setiap kali kami bertemu kami pergi ke sebuah restoran yang berakhir dengan tagihan sebanyak uang sakuku sebulan. Atau pergi ke bioskop dan tempat-tempat nyaman bentukan ekses dari kapitalisme. Sementara aku mencitrakan diri sebagai seorang sosok kekasih ideal baik secara fisik maupun karakter. Bertutur layaknya buku-buku petualangan indah dan menantang. Kami sama-sama mengkontruksi sebuah euforia romantis. Menjadikan diri kami sama-sama nyaman dan selalu bahagia, tidak ada luka, getir, pilu layaknya kehidupan yang sesungguhnya.

Di ulang tahunku dia mengajakku ke sebuah restoran premium bergaya Jepang dan Korea. Ini adalah perayaan ulang tahun pertama kami dan bagiku perayaan paling mewah sepanjang hidupku. Kami duduk berdua di sebuah ruang private. Lampu  lampion bergantungan anggun di langit-langit. Meja sudah tertata rapi dengan berbagai sendok, garpu dan pisau. Beberapa pot menghiasi pojok ruangan, memberi kesan ruangan itu lebih luas dan ramah. Ini seperti sebuah potret ruang makan keluarga seperti yang pernah aku lihat di film-film Jepang. Malam itu berakhir sangat romantis dan membahagiakan. Oh, Bagaimana aku tidak bisa luluh dengan apa yang dilakukannya selama ini untukku? Sayangnya, di malam itu aku harus memberitahunya bahwa bulan depan aku harus pergi ke Karimunjawa selama dua bulan. Dia sedih karena kami baru saja bertemu tidak lebih dari 4 bulan dan harus berpisah sementara. Kami pun bercinta seolah tidak akan pernah bertemu pernah lagi.

Hari itu akhirnya tiba, dia memberkatiku dengan pelukan perpisahan dan membekali diriku dengan ciuman goodbye for now. Aku berangkat ke pulau di utara Pulau Jawa, meninggalkan dirinya yang meratap pilu. Kini dunia romantis yang kami bangun bertali pada sebuah jaringan nirkabel tak kasat mata bernama sms. Pagi, siang dan malam kami mencoba untuk saling berkabar dan saling mengatakan cinta.

Di bulan pertama, kehadiran kami di ruang realitas mampu tergantikan secara virtual diantara barisan teks. Aku terheran-heran dan tergelitik tentang cara kami mempertahankan relasi. Sungguh, selama ini aku yang tidak percaya dengan dunia yang tak beruang dan mewaktu, harus mengakui bahwa hari ini kasih tidak lagi terbatas. Namun di bulan kedua, aku mulai gelisah. Ada sesuatu yang menyerang batinku. Kekuatan metafisika yang membuatku berkelisut di dalam tidur. Membangunkanku di tengah malam yang sunyi dan melamun lebih lama.

Aku mengadu pada Pulau Tengah dan Pulai Kecil. Aku bertanya kemanakah hasratku pergi? Keramaian adalah kekosongan. Kesenangan adalah kehampaan. Dan senja menjawab peraduanku dengan sebuah jawaban, rindu. Apakah aku sedang rindu padanya? Apakah aku adalah orang yang tak mampu menahan dahaga akan kehadirannya? Bagaimana dengan ruang virtual yang telah menembus batas-batas kasih dalam ruang? Apakah rindu adalah sakau bagi pecinta? Apakah aku jatuh cinta? Hujaman tanya itu semakin mendekatkanku pada apa yang selama ini hilang. Sebuah kepercayaan pada cinta yang sakral. Aku menyerah kalau harus rindu. Aku bertekuk lutut jika memang cinta.

Hari-hari di awal Bulan Agustus adalah sebuah penantian. Waktu tidak lagi menjadi ukuran pasti. Menjadi relatif dan menjebakku dalam penantian panjang. Aku sadar bahwa waktu tidak lagi lagi linier. Kulihat sekitarku lebih mendalam, aku berdiri di sebuah persimpangan. Persimpangan rindu.
Kutenteng tasku di pundak, kutatap lautan jauh dimana Pulau Jawa bersembunyi dibalik batas pandang. Aku berdoa semoga ombak tak mengamuk kali ini. Aku ingin segera kembali kepelukannya dan menghapus getir rindu dengan manis bibir tipisnya.