Showing posts with label yogyakarta. Show all posts
Showing posts with label yogyakarta. Show all posts

Friday, 5 January 2018

Narasi Kecil Gerakan LGBT: Badai di otakku.


Belum terungkap bukan berarti tak ingin dikenang. Tidak tertulis jangan diartikan tak bersejarah.”

Aku selalu antusias mendengarkan cerita senior tentang gerakan LGBT. Cerita tentang bagaimana PLUSH terlahir dan menjadi rumah bagi mereka yang percaya kesetaraan. Di dalam perbincangan, mereka memanggil kisah-kisah yang mengendap lama. Aku menerawang dari dalam mata mereka. Berharap bisa terbawa pada ingatan itu. Setiap perbincangan tentang sejarah selalu menyenangkan. Mereka saling menimpali. Melengkapi ingatan yang terselip oleh waktu. Kadang satu diantara mereka tiba-tiba terkekeh. Teringat cerita jenaka. Lainnya pun ikut tertawa. Sebagai pendengar cerita, aku turut tertawa dan menjadi penonton yang berbahagia. Namun ada rasa sedih setelah mendengarkan cerita mereka. Tidak pernah aku menemukan cerita mereka di dalam buku, jurnal, atau sastra. Mereka seolah tersimpan dalam rahasia sejarah. Teronggok bersama kumpulan narasi kecil. Cerita yang tak terceritakan. Semangat baik yang tak tersampaikan?

Susah sekali menceritakan mereka. Terlalu banyak cerita menggelintar. Pertanyaan bagaimana memulai cerita mereka terngiang-ngiang di dalam benakku setiap kali bertemu dengan mereka. Aku merasa cerita mereka lebih dari sekedar alur peristiwa yang biasa ditemukan dalam ensiklopedia sejarah. Semangat, gagasan dan tantangan mereka harus terceritakan. Cerita mereka adalah persoalan memaknai garis waktu. Makna yang membuat gerakan LGBT tetap hidup hingga hari ini aku bersama mereka.

Menulis adalah caraku menghormati perjuangan mereka. Ini adalah iktikad. Mereka harus terceritakan. Pengorganisator akar rumput. Mereka yang tak pernah silau kedudukan organisasi. Tidak pernah memposisikan diri lebih hebat atau pintar dari komunitas. Mereka adalah teman dari komunitas. Teman yang membangkitkan ketertindasan menjadi sebuah perlawanan berarti. Saat ini mereka telah kembali ke dalam komunitas. Tak menjadi direktur lembaga, politisi atau orang ternama. Mereka adalah orang biasa dan kembali menjadi orang biasa.

Gerakan LGBT di Yogyakarta lahir dari rahim gerakan Kesehatan Reproduksi. Mendengar cerita teman, beberapa dari mereka mengatakan bahwa gerakan advokasi LGBT menjadi embrio wacana dari divisi pengorganisasian gay dan waria di PKBI Yogyakarta. Wacana advokasi tidak terlahir apik seperti konsep hari ini. Ini bukan menjadi sebuah perbandingan. Wacana hari ini adalah pikiran organik yang tumbuh sehingga ia tak lepas dari sejarahnya. Melihat wacana yang populer saat itu, isu HIV AIDS sedang berada di arus utama pengarusutamaan wacana. Ditambah hanya lembaga-lembaga HIV AIDS yang memberikan sokongan dana untuk kepentingan komunitas. Tanpa mengecilkan makna kolektif saat itu. Aku pikir perlu mengakui wacana yang berkembang saat itu membuat gerakan gay dan waria hanya menjadi kelompok yang diakui umum dalam gerakan sosial. Aku yakin, teman-teman ini tidak menyerahkan diri mereka puas dalam wacana lembaga sokongan dana dan wacana umum. Mereka telah berpikir keras mendiskusikan wacana seksualitas lebih luas, tentang orientasi seksual, hak tubuh dan lainnya. Mereka juga mulai berpikir mengajak gerakan Lesbian untuk berjuang bersama.

Sejarah mereka yang dulu cukup aktif di divisi pengorganisasian gay PKBI Yogyakarta juga perlu dicatat sebagai sebuah keberhasilan. Aku masih berhitung soal jumlah, berdasarkan cerita senior, banyak komunitas yang diorganisasi mereka. Ada Pelangi Jogja yang menjadi wadah berkesenian bagi komunitas, Komunitas satu Hati yang aktif dalam kegiatan sosial di Yogyakarta dan komunitas-komunitas tak bernama yang sering berkumpul di alun-alun utara, taman pintar dan titik lainnya. Jika aku harus bertepuk tangan, aku takut jemariku akan remuk saking salutnya. Bisa jadi pengorganisasian waktu itu adalah pengorganisasian terbesar dalam sejarah gerakan LGBT. Tidak hanya itu saja, aku juga mendengar bahwa gerakan LGBT pernah tergabung ke dalam gerakan agraria, buruh dan demokrasi. Interseksionalisme bukan wacana baru hari ini. Mereka telah lebih lama beririsan dengan gerakan lain. Irisan yang hari ini telah lapuk dan kembali dirajut susah payah.

Ternyata ada sedikit keraguan dari iktikad yang besar. Keraguan itu adalah pertanda bahwa aku harus bersabar untuk belajar. Sejarah itu terlalu luas, seperti cerita-cerita yang terlontar santai, mengalir deras hingga aku tak bisa mengimajinasikannya. Sejarah perlu membatasi dirinya agar mampu dimaknai. Aku sedang berpikir keras akan batasan itu. Pilihan yang sangat sulit. Aku pun bersiap untuk salah dengan pikiran terbuka. Menceritakan perjuangan merek adalah perkara rumit. Aku membayangkan setiap orang harus dihargai. Menghargai subyektif mereka, menghargai keakuan mereka. Tulisan seharusnya mampu menangkap bagaimana mereka memandang gerakan LGBT lahir dan tumbuh.

Tuesday, 26 July 2016

Di Persimpangan Rindu

Kehidupan adalah perulangan sejarah. Pertemuan awal dengannya pun tidak lebih dari perulangan pengalaman. Kami bertemu, saling bertukar hal privasi, bersenang-senang dan bercinta. Seolah hal itu adalah siklus alamiah yang menyandingi siklus paling alamiah tentang lahir-hidup-mati. Aku merasa hampa, tidak berada. Heidegger mengatakan kejatuhan eksistensial terjadi ketika manusia terperangkap dalam dunia umum atau dunia keseharian bernama common sense. Tidak ada kebaruan. Lebih parah lagi, kami mulai tidak jujur dengan saling menyuguhkan citra bahwa kami adalah manusia-manusia ideal. Dia mencitrakan dirinya sebagai manusia mapan. Dibuatlah sebuah manipulasi dan simulasi yang beranekaragam. Hampir setiap kali kami bertemu kami pergi ke sebuah restoran yang berakhir dengan tagihan sebanyak uang sakuku sebulan. Atau pergi ke bioskop dan tempat-tempat nyaman bentukan ekses dari kapitalisme. Sementara aku mencitrakan diri sebagai seorang sosok kekasih ideal baik secara fisik maupun karakter. Bertutur layaknya buku-buku petualangan indah dan menantang. Kami sama-sama mengkontruksi sebuah euforia romantis. Menjadikan diri kami sama-sama nyaman dan selalu bahagia, tidak ada luka, getir, pilu layaknya kehidupan yang sesungguhnya.

Di ulang tahunku dia mengajakku ke sebuah restoran premium bergaya Jepang dan Korea. Ini adalah perayaan ulang tahun pertama kami dan bagiku perayaan paling mewah sepanjang hidupku. Kami duduk berdua di sebuah ruang private. Lampu  lampion bergantungan anggun di langit-langit. Meja sudah tertata rapi dengan berbagai sendok, garpu dan pisau. Beberapa pot menghiasi pojok ruangan, memberi kesan ruangan itu lebih luas dan ramah. Ini seperti sebuah potret ruang makan keluarga seperti yang pernah aku lihat di film-film Jepang. Malam itu berakhir sangat romantis dan membahagiakan. Oh, Bagaimana aku tidak bisa luluh dengan apa yang dilakukannya selama ini untukku? Sayangnya, di malam itu aku harus memberitahunya bahwa bulan depan aku harus pergi ke Karimunjawa selama dua bulan. Dia sedih karena kami baru saja bertemu tidak lebih dari 4 bulan dan harus berpisah sementara. Kami pun bercinta seolah tidak akan pernah bertemu pernah lagi.

Hari itu akhirnya tiba, dia memberkatiku dengan pelukan perpisahan dan membekali diriku dengan ciuman goodbye for now. Aku berangkat ke pulau di utara Pulau Jawa, meninggalkan dirinya yang meratap pilu. Kini dunia romantis yang kami bangun bertali pada sebuah jaringan nirkabel tak kasat mata bernama sms. Pagi, siang dan malam kami mencoba untuk saling berkabar dan saling mengatakan cinta.

Di bulan pertama, kehadiran kami di ruang realitas mampu tergantikan secara virtual diantara barisan teks. Aku terheran-heran dan tergelitik tentang cara kami mempertahankan relasi. Sungguh, selama ini aku yang tidak percaya dengan dunia yang tak beruang dan mewaktu, harus mengakui bahwa hari ini kasih tidak lagi terbatas. Namun di bulan kedua, aku mulai gelisah. Ada sesuatu yang menyerang batinku. Kekuatan metafisika yang membuatku berkelisut di dalam tidur. Membangunkanku di tengah malam yang sunyi dan melamun lebih lama.

Aku mengadu pada Pulau Tengah dan Pulai Kecil. Aku bertanya kemanakah hasratku pergi? Keramaian adalah kekosongan. Kesenangan adalah kehampaan. Dan senja menjawab peraduanku dengan sebuah jawaban, rindu. Apakah aku sedang rindu padanya? Apakah aku adalah orang yang tak mampu menahan dahaga akan kehadirannya? Bagaimana dengan ruang virtual yang telah menembus batas-batas kasih dalam ruang? Apakah rindu adalah sakau bagi pecinta? Apakah aku jatuh cinta? Hujaman tanya itu semakin mendekatkanku pada apa yang selama ini hilang. Sebuah kepercayaan pada cinta yang sakral. Aku menyerah kalau harus rindu. Aku bertekuk lutut jika memang cinta.

Hari-hari di awal Bulan Agustus adalah sebuah penantian. Waktu tidak lagi menjadi ukuran pasti. Menjadi relatif dan menjebakku dalam penantian panjang. Aku sadar bahwa waktu tidak lagi lagi linier. Kulihat sekitarku lebih mendalam, aku berdiri di sebuah persimpangan. Persimpangan rindu.
Kutenteng tasku di pundak, kutatap lautan jauh dimana Pulau Jawa bersembunyi dibalik batas pandang. Aku berdoa semoga ombak tak mengamuk kali ini. Aku ingin segera kembali kepelukannya dan menghapus getir rindu dengan manis bibir tipisnya.

Yang Tidak Terceritakan di 28 Februari

Kehidupan dimulai dengan sebuah permulaan. Permulaan itu adalah pertemuan, 28 Februari 2010, pijakan pertama untuk setapak demi setapak merangkai waktu menjadi jalinan kronologi dan cerita-cerita. Kami bertemu di sebuah sore biasa yang cenderung mendung. Dia tinggal di sebuah kompleks perumahan estate yang cukup mewah di Kota Yogyakarta. Rumah dua tingkat seragam berjejer mewah dan elegan, beberapa satpam melirikku ketika aku memasuki kawasan itu. Seolah ingin mengatakan orang asing dilarang iseng-iseng di area ini. Ya, kedatanganku memang hanya keisengan belaka. Menjawab undangan seorang asing yang aku temui di sebuah website yang konon banyak penipu disana. Tetapi aku sudah hampir di rumahnya, aku tak mau mundur. Lagipula aku menyukai “orang asing”, aku menantang diriku dengan misteri, dan aku pecandu kebaruan.

Di depan gerbang gerbang rumah aku berhenti mengambil handphoneku. Kulihat dari luar dia melambai-lambaikan tangannya. Aku gelagapan, dia cukup agresif dengan keterbukaan dan keceriaannya. Aku membalasnya dengan senyum dan salam dalam bahasanya yang kulafalkan dengan artikulasi samar karena gugup.

Aku duduk di ruang tamu sederhana, di sofa hijau gelap dengan pola flora. Kulihat sekelilingku beberapa foto, botol liquor dan lukisan-lukisan yang terlihat dibeli di Perempatan Sagan. Dua gelas teh melesat dan kini berada di atas meja kaca, meja yang menjadi batas antara si tuan rumah dan aku, si tamu. Perbincangan pun dimulai, pelan-pelan aku dengarkan kata-katanya dengan seksama. Kadang aku membalas ngawur karena aku salah menerka omongannya. Dia hanya tersenyum dan maklum. Aku malu kelisutan, tetapi aku mencoba untuk menunjukkan wibawaku sebagai seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM yang telah terkareditas secara internasional. Mungkin dia bisa membaca wajahku yang tegang. Dia menawarkan musik untuk diputar. Aku bertanya apakah dia memiliki lagunya BB King, tetapi dia menawarkan alternatif lain bernama John Farrnham. Seorang musisi legendari dari negaranya. Lagu pop cinta dengan beat yang menyenangkan. Kakiku secara otomotis berjingkat-jingkat mengikuti melodi. Dia melirikku senang.

Musik adalah mantra. Musik memang bukan dirangkai dengan bahasa-bahasa sulit dan tak bisa dicerna seperti mantra kuno. Tetapi musik memiliki kekuatan seperti mantra, menghipnotis, menarik jiwaku kedalam atmosfer absurd imajiner. Ajaibnya, kami jadi bisa berbincang dengan lancar dan rileks. Perbincangan ekonomi, politik hingga religi. Dari perdebatan hingga kelakar tertawa. Inikah chemistry itu? Sebuah tali gaib yang mengikat secara kasatmata.

Dia mampu mencium keingintahuanku yang besar mengenai duniannya. Aku pun dibawanya ke sebuah ruangan di belakang kamar tamu. Disana sehari-hari dia bekerja sebagai seorang konsultan bisnis. Dia memperlihatkan beberapa desain yang dibuat oleh tim nya. Dengan bangga dia berkoar-koar mengenai kejayaan yang dia raih di bisnisnya. Dalam hati aku bertanya-tanya, bagaimana desain murahan seperti itu bisa terjual di pasaran. Mungkin itulah pasar, tempat pembuangan barang murahan yang diproduksi secara masal.

Aku mencoba mengalihkan topik perbincangan. Kumulai dengan bertanya mengenai foto-foto yang terpajang di atas rak teve. Satu per satu dia menjelaskan, memberiku sebuah pintu untuk menelisik kehidupan yang paling private dari dirinya. Hingga dia berhenti pada penjelasan sebuah foto. Seorang bertopi yang sedang merangkul koala. Dia menghela nafas panjang. Akhirnya aku menemukan bahwa dirinya adalah seorang yang terluka karena ditinggal kekasih. Dia adalah tumbal ambisi materialisme bernama uang. Ketika dia sadarsemua sudah terlambat. Dia berusaha untuk menjaga relasinya tetapi si kekasih sudah pergi bersama hasratnya yang lain. Luka itu masih terlihat dari nanar matanya. Bagaimana denganku? Jika dia adalah korban dari seorang kekasih, maka aku adalah korban dari realitas bahwa cinta dan seks bisa menjadi suatu hal yang terpisahkan. Bahwa cinta tidak lagi transenden tetapi imanen. Seks adalah suatu hal yang profan bukan lagi sakral. Walau kami berbeda cerita kehidupan, tetapi kami memiliki kesamaan sebagai orang yang terluka.

Aku memeluknya karena iba, dia membalasku dengan sebuah ciuman.Tidak! mungkin aku yang menciumnya. Ciuman pertamaku dengannya. Setelah itu dia berkata bahwa aku adalah orang yang baik dan menarik. Maka kami pun bercinta di ranjangnya.

Dimanakah banalitas itu? Kutemukan sentuhan-sentuhan yang mengobati luka. Bisikan-bisikan mistis yang membuat bulu kudukku begidik. Kuraba senyumnya dalam remang, kutemukan sebuah kedamaian dan kebahagiaan. Aku menyangka itu hanyalah sebuah kamuflase pada awalnya. Imagologi atas nafsu yang disajikan lebih romantis dan melankolis. Tetapi pemikiranku runtuh ketika dia mencoba mensucikanku dari kotor atas perbuatan hina di pertemuan pertama kami. Kamar mandi ala barat dengan wangi palm oil yang tidak akan pernah kulupakan. Dia membasuhku dengan air hangat, menyeka mukaku dengan tangannya. Katanya ini yang dilakukan orang jepang untuk menghormati partnernya. Aku terperanjat, dia meruntuhkan berbagai pandanganku akan cinta walau tidak sepenuhnya percaya atas creative destruction yang ditawarkannya.
Aku pun pamit untuk pulang. Dia membekali kepergianku dengan ciuman agar selamat dan bisa bertemu. Aku agak risih karena tidak terbiasa. Ketika sampai di rumah, sebuah ikon pesan tertera di layarku.

“Thank you for coming. See You soon. Hugs W”

Kata Banksy “there are second opportunity called tomorrow.” Saat itu aku tahu bahwa hari ini akan berlanjut pada besok. Sebuah kesempatan kedua untukku untuk bertemu dengan cinta. Kesempatan menjadi seorang pecinta setelah terluka. Atau apalah itu.

Monday, 20 June 2016

Selingkuh adalah Posmodern



Ini adalah sebuah jebakan. Malam ini seperti malam di masa lalu, lautan gelap meraung-raung. Dia  bergemuruh dan anginnya membuat gigiku gemeretak. Baru saja kami beramai-ramai tertawa di bibir pantai, tetapi mereka dengan sengaja meninggalkan kami berdua. Mereka berdalih ingin menikmati quality time mereka berdua. Bedebah! ini adalah jebakan gumamku. Seperti masa lalu kami akhirnya hanya berdiam diri berdua, namun kini kami memiliki jarak yang walau hanya sedekap tetapi terasa sangat jauh. Diam dulu menjadi momen menikmati, kini menjadi momen bertanya-tanya. 

Beberapa minggu yang lalu seorang sahabat mengatakan akan pergi ke Jogja dan mengajakku menghabiskan waktu liburannya sebagai pegawai ibu kota yang sangat singkat dan nanggung. Katanya itu lebih baik daripada tidak memiliki liburan sama sekali. Tentu saja, dengan uang yang diraupnya dengan pengekangan, liburan lebih berharga dari kehidupan gaya-gayaan yang diburunya ketika weekend tiba. 

Aku berpikir mungkin dia hanya mengajak aku dan sahabat lamanya yang sekarang tinggal dan bekerja di Jogja. Ternyata dia mengajak seseorang yang sebenarnya aku tidak perlu kaget jika dia juga berada di antara kami. Bahkan aku sempat menduga dia akan datang juga dan aku berharap pula akan keberadaannya diantara kami. Kami berempat memang memiliki relasi yang cukup unik dan dekat. Tetapi aku dan dia memiliki sebuah relasi rumit yang tidak pernah selesai walau kami sama-sama tahu pernah saling mencintai. Mungkin itulah yang membuat segalanya menjadi rumit.

   Setahun yang lalu kami bertemu kembali dan setelah meninggalnya kekasihku aku benar-benar berani untuk terang-terangan mencintainya. Mungkin aku terlalu agresif, atau mungkin saja aku sudah tidak mengenal dirinya yang berubah. Untuk kesekian kalinya semua berakhir buruk. Bahkan aku berjanji kepada diriku untuk menyisihkan dirinya dari kehidupanku untuk selamanya. Sayangnya dia kembali hadir. Lebih tepatnya dia menghadirkan dirinya kembali ke dalam kehidupannku dan aku tidak pernah bisa menolaknya. 

Menghadapi janji yang harus kulanggar, memberanikan diri melawan trauma masa lalu dan menahan diri untuk tidak jatuh kembali. Betapa sulitnya untuk tidak memikirkan mengenai dirinya walau kita hanya bertemu sesaat ketika mengobrol biasa di Excelso Malioboro ketika menemaninya menunggu bus travel-nya.

Anjing! Seharusnya aku biasa saja dan seharusnya pula dia biasa saja setelah kita bertemu dua kali kesempatan terakhit. Tetapi kenapa di malam ini aku benar-benar merasa canggung. Aku mendekap dadaku dengan kedua tanganku, meletakkan kening kepalaku pada dengkul kaki yang kutekuk kebelakang. Lama-lama aku berharap ingin sendiri saja daripada bersamanya yang diam.

“Bagaimana kabarnya?” Tanyanya memecah sunyi.
Kepalaku kuangkat, menyandarkan daguku pada dengkul. “Ya normal-normal saja.” Aku menjawab dengan cara yang menurutku sendiri pun aneh.
“Kamu semakin bahagia saja ya?!” Nadanya bercampur antara bertanya dan seolah memberikan penilaian.
“Aku tidak mencintainya.” Kata itu tiba-tiba muncul begitu saja. Ingin kutarik kembali, tetapi terlanjur keluar. Dalam hati aku bertanya-tanya kenapa aku terlalu jujur padanya.
“Hahaha....” Tawanya pecah. Ada sedikit nada sinis diakhirtawanya seperti biasa. Aku tak semakin karuan. Hinaan itu.
“Sejak tak memiliki cemburu, aku tak yakin aku memiliki cinta!” Sanggahku.
“Lalu bagaimana dengan kematian kekasihmu?” Dia menembakku.
“Kau tak perlu mengungkitnya!” Kataku.

Kami kembali terdiam kembali, sementara laut semakin bergemuruh. Tak ada bintang, tak ada bulan. Terdengar cekikikan ketawa dari kejauhan. Kuberanikan melirik dirinya, tak kusangka dirinya sedang menatapku sedari tadi. 

“Aku tidak merasa mencintainya. Terlebih aku hanya menginginkan teman hidup seperti yang pernah aku lalui bersama kekasihku dulu. Persetubuhan itu seolah hanya saling menggesekkan ketelanjangan dan memasukkan penis yang mengejan kedalam dirinya. Lalu orgasme, kadang bersamaan, kadang hanya aku atau dia.”
“Bulshit...!” Dia menyela.

Dia beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan diriku sendiri di bibir pantai. Kepergiannya justru membuat diriku lega, tapi aku berharap dirinya tidak merasa menjadi seorang sex buddy ku semata setelah apa yang telah kami lalui bersama. Tidak! Aku tidak boleh berpikir demikian karena itu justru akan membuatku merasa sangat bersalah lagi.

   Aku tidak pernah berharap orang lain, terutama dia untuk memahami kehidupanku. Aku berpikir membicarakan cinta adalah sia-sia karena itu diluar jangkauan manusia kecuali mereka memaksakannya di dalam ikatan pernikahan. Apa yang menggerakkan diriku untuk seks tak lebih daripada pemenuhan hasrat. Itu pun aku mulai bosan dengan cara-cara biasa hingga tertarik untuk mencampuradukkan dengan kekerasan kuasa dan simbol. 

Diluar itu semua aku tetaplah diriku yang penuh mimpi tetapi penuh pertimbangan. Aku yang tak mau menerima metanarasi yang disediakan dan memilih memeliki banyak perspektif hingga aku lupa bagaimana menjadi tegas di dalam suatu hal.

Aku kembali ke kamar cottage. Lampu sengaja kumatikan. Kubiarkan diriku dalam ketelanjangan dibawah pelukan selimut. Ini adalah salah satu cara diriku mendapatkan kebebasan. Menjadi telanjang, sendiri dalam kegelapan. 

Hingga menjelang pagi aku belum bisa tidur padahal aku merasa tidak memikirkan apapun. Tiba-tiba pintu kamar terbuka, aku sengaja berdiam diri. Terdengar pintu itu dikunci. Langkahnya berdecit, satu-demi satu dia melucuti pakaiannya. Lalu dia menyelinap ke dalam selimutku.

“Pernikahan itu adalah modern sedangkan perselingkuhan adalah posmodern”. Dia berbisik di belakang tengkuk leherku.

Saturday, 11 April 2015

Camp Asssesment Tidak Manusiawi



Kawan-kawan, Perda Penanganan Gelandangan dan Pengemis No 1 Tahun 2014 telah berlaku selama 1 Tahun. Mekanisme dalam pelaksanaan Perda tersebut adalah melarang semua orang untuk mencari penghidupan di jalan. Satpol PP dibantu dengan pihak terkait melakukan razia untuk menertibkan. Ketika ada orang jalanan ditangkap, mereka lalu dibawa ke camp assesment. Camp assesment adalah tempat yang diselenggarakan oleh dinas sosial untuk dibina karakter dan wataknya. Namun alih-alih membina, camp assesment justru menjadi tempat terjadinya pelanggaran hak asai manusia bagi orang jalanan.

Fasilitas yang disediakan di camp assesment tidak layak sama sekali. Penguni tidak bisa menggunakan air dengan baik karena air tidak lancar dan itupun berwarna coklat. Orang jalanan yang ditangkap dengan tangan kosong tidak sempat untuk membawa baju ganti dan alat mandi. Pemberian baju dan alat mandi sangat minim. Bahkan ketika saya dan kawan-kawan jaringan datang ke camp assesment, banyak orang jalanan yang memakai baju yang sama karena tidak punya baju ganti. Makan 3 kali sehari jamnya tidak teratur. Itupun sangat sedikit.

Karantina di ruang penangkapan awal tidak manusiawi. Mereka mencampur antara gelandangan psikotik dengan yang lain. Bisa jadi ada anak-anak jalanan yang tertangkap harus berkumpul dengan gelandangan psikotik dan orang dewasa.

Tidak ada yang bisa dilakukan oleh orang jalanan di camp assesment. Menurut penuturan seorang kawan jalanan yang ditangkap, camp assesment mengadakan kegiatan pengajian, seni dari ISI, dari polsek 3 kali dalam seminggu, tetapi isinya sama semua doktrin, sehingga mereka malas mendengarkan. Selain itu tidak ada komunikasi yang baik antara pendamping orang jalanan di camp assesment. Hal itu membuat ketidakpastian terhadap masalah yang mereka hadapi. Bahkan ketika saya berbicara dengan orang jalanan di camp assesment, mereka tidak tahu kesalahan apa yang telah mereka perbuat.

Pekerja yang bekerja di camp assesment juga tidak memiliki kualifikasi yang mumpuni. Mereka tidak memiliki pengetahuan terhadap isu HAM dan orang termarjinalkan. Mereka juga tidak paham sekali jika berhadapan dengan seorang ODHA (Orang Dengan HIV Aids). Satu kasus, seorang kawan ODHA harus berhenti minum ARV karena tidak bisa mengakses obat tersebut. Konfidensial ODHA juga sangat rentan karena pekerja camp assesment tidak tahu mengenai hal ini. Per 8 april ada sekitar 163 orang jalanan dan 70 sekian orang psikotik. Sedangkan pekerja sosial (peksos) atau pendamping hanya ada 12 orang dan bertanggung jawab untuk mengawal minimal 5-20 orang. Bisa dibayangkan bagaimana orang jalanan ditangani disana? Camp assesment memiliki klinik, ada 2 dokter yang siap sedia dibantu dengan pegawai honorer setiap hari. Namun sayang klinik itu tutup pada jam 1 siang.

Apakah kita akan tetap diam sementara orang jalanan mendapatkan kekerasan setiap harinya di camp assesment? Mari kita tolak Perda Penanganan dan Gelandangan No 1 tahun 2014 Yogyakarta.

Paraf Petisi dibawah ini:

https://www.change.org/p/dprd-diy-dinas-sosial-yogyakarta-sujanarko-revisi-perda-penanganan-gelandangan-dan-pengemis-no-1-tahun-2014

Tuesday, 13 January 2015

Curug Setawing, Kulon Progo: Wisata Alternatif Air Terjun



Satu alternatif wisata air terjun, Curug Setawing, menjadi suguhan baru bagi backpacker yang sedang berpetualang di Kota Yogyakarta. Curug Setawing terletak di Dusun Jonggrangan, Girimulyo, Kulonprogo, Yogyakarta. Tempat ini bisa ditempuh dengan waktu 1 jam menggunakan sepeda motor. Hamparan padi, perbukitan, jurang hingga samar-samar laut selatan bisa kalian temukan dalam perjalanan menuju tempat ini. Iya kalian akan pergi melalaui bukit menoreh, jadi siapkan kondisi motor kalian dengan cukup baik. Jika kamu berpikir untuk menggunakan transportasi publik, lebih baik kamu berpikir untuk kedua kalinya untuk pergi ke tempat ini.
Bukit Menoreh

Di musim kemarau Curug Setawing tidak begitu indah, namun di musim hujan curahan air terjun lebih besar sehingga tampak lebih indah. Ketinggian air terjun ini sekitar 20 meter. Fasilitas jalan menuju curug cukup baik karena sudah dibangun tertata oleh warga sekitar. Belum ada tarif masuk, tetapi jika kalian pergi ke tempat ini akan dikenakan tarif parkir Rp 2.000.
Curug Setawing, Kulon Progo


Overall, Curug Setawing memang bukan air terjun yang spektakuler tetapi bisa menjadi wisata alternatif untuk berwisata di daerah Kulon Progo. Jika kalian menyempatkan pergi ke daerah ini, ada beberapa wisata lain yang harus kalian kunjungi seperti Gua Kiskendo, Grojogan sewu dan Hutan Pinus. Jika kalian suka menjelajah mungkin kalian akan menemukan air terjun lain yang masih jarang didatangi oleh backpacker. 

hutan pinus, kulon progo


Wednesday, 19 September 2012

Sophee: Yogyakarta; Komunitas dan Cinta Baru



Tinggal di Yogyakarta semakin alam aku semakin cinta dengan kota pelajar ini. Jauh dari orang tua menjadi tantangan sendiri untukku untuk mandiri. Namun dibalik tantangan untuk hidup mandiri, kebebasan memberikan banyak pilihan untukku. 

Aku sedikit demi sedikit mengetahui bahwa aku berbeda dari perempuan lainnya. Aku yakin aku pernah jatuh cinta dengan perempuan dan akan jatuh cinta dengan perempuan lagi.

Berangkat dari jejaring sosial Facebook, aku bertemu dengan teman-teman senasib. Kami kadang berkumpul di kafe 24 jam yang terletak di selokan mataram atau Kafe Sungai Susu di utara Ambarukmo Plaza.

Rutinitas kuliah yang cukup padat dan tugas yang menumpuk kadang membuatku jenuh. Akhir pekan benar-benar menjadi  sebuah perayaan atas kerja keras yang telah aku lakukan. Rencananya malam ini aku dan teman-temanku akan hang out di Ayam Goreng Kentaki, tak jauh dari Tugu Yogyakarta.

Jam tanganku menunjukkan pukul 7 malam, nada pesan BB berbunyi. Aku cek segera BBM, pesannya singkat.

“woy lu dmn? Kt dah nunggu km” BBM singkat dari Icha.
Icha adalah panggilan kami untuknya. Perempuan asli jogja ini sangat cantik, rambutnya panjang terikat rapi. Tidak hanya cantik, ia sangat ramah juga. Saat ini Icha masih kuliah di akademi keperawatan.
“otw KFC” balasku singkat sambil tersenyum. Aku sangat antusias bertemu dengan teman-teman baruku di Jogja.

Aku segera bergegas mengunci kos dan berjalan menuju kos teman yang tak jauh dari kos ku di daerah Karangmalang. Setibanya di kos temanku, aku melihat dia juga sudah siap untuk berangkat.

“Lu udah siap, Lita?” tanyaku memastikan. Lita adalah perempuan kelahiran Jakarta, ia menyelesaikan studinya di jurusan komunikasi. Saat ini bekerja sebagai marketing manager di sebuah agen pariwisata di Yogyakarta.

“Iye, udah, yuk berangkat. Kamu bawa helm kan?”
“Ini, yuk berangkat” aku menunjukkan helm yang aku bawa

Dari Karangmalang ke Ayam Goreng Kentaki tidak begitu jauh, hanya membutuhkan sekitar 15 menit dari kosku. Disana teman-temanku sudah berkumpul.
“Ah kalian mesti telat datangnya” Icha seolah kecewa
“Iya nih, Lita dandan mulu dari tadi, jadinya telat”  Dalihku
“Kurang ajar lu ya, guwa nunggu lu datang ke kos guwa” balas Lita

Kami duduk di sofa panjang yang berada disisi luar. Banyak sekali orang yang nongkrong di akhir pekan ini.
“Eh lu serius amat” Lita menyapa Rahma yang sibuk membaca bukunya.
“Ah..engga juga kok, cuma mau selesein halaman terakhir aja” Balas Rahma sambil menekan kacamatanya. Rahma adalah perempuan asal Malang, dia adalah sukarelawan dalam sebuah LSM yang bergerak di bidang advokasi perempuan.

“Eh bro..kenalin temanku guwa, namanya Eka” sela Icha memperkenalkan temannya yang duduk disampingnya. Eka adalah perempuan asal Medan, tubuhnya ramping, rambutnya dipotong spike . Saat ini bekerja di salah satu perusahaan desain grafis di Jogja.
“Halo Eka, salam kenal” aku menjabat tangannya.
“Hi..”jawabnya singkat 

Kesan pertaa bertemu dengan Eka, dia adalah sosok yang dingin dan kaku. Tetapi lama kelamaan kami bisa berbicara panjang lebar. Eka punya banyak pengalaman dari hidupnya yang keras. ia sudah hidup mandiri setelah lulus SMP, kedua orang tuanya bercerai dan tak ada yang mengurusnya selain kedua kakek-neneknya. 

“Sof, kamu pernah modeling belom?” Tanya Eka
“Eh modeling? Model apa?” tanyaku penasaran
“Ya…..jadi model apa aja”
“Sofi mah cocoknya jadi model popok bayi, lihat aja mukanya yang unyu gitu” Icha mencubit pipiku yang tembem.
“Ah apaan sih Icha.”  
“Menarik juga sih, tapi ya belum pernah sama sekali” jawabku
“Ah itu gampang, nanti aku hubungi kamu lebih lanjut ya”
“Oke ditunggu lo ya” aku mengurai senyum tipisku
“Cie cie..” seru Icha dan Lita

Walau hari sabtu adalah penghujung minggu. Tetapi bagiku malam minggu bisa menjadi malam dimana kisah-kisah akan dimulai. Malam minggu bagiku sangat menyenangkan.
***

Jika kelas usai dan aku tak ada tugas kuliah, biasanya aku pergi main ke rumah Icha. Disana teman-teman berkumpul untuk menghabiskan waktu atau curhat mengenai masalah yang sedang dihadapi. Hari ini aku pergi ketempat Icha, bukan untuk menghabiskan waktu bersamanya tetapi menunggu Eka yang katanya mau mengajak aku main-main di studionya.

Ketika aku sedang asyik mengobrol Icha, Eka datang mengetuk pintu yang terbuka. Ia mengalihkan perhatian kami. 

“Halo semua, lagi asik ya?” Eka menyapa
“Enggak kok, lagi nungguin kamu, nih Sofi udah ga sabaran” Icha menggoda. Aku hanya diam saja, tersipu malu menanggapi Icha. Eka hanya bisa tersenyum tipis.
“Kamu udah siap?” taya Eka
“Yuk berangkat” jawabku
“Aku berangkat dulu ya, Cha” aku pamit kepada Icha
“Iya, have fun ya!” serunya menyemangati.

Aku pergi bersama Eka menuju studionya yang berada di Jalan Moses Gatotkaca, selatan Universitas Sanata Dharma. Studio yang dimiliki Eka tidak begitu besar, namun studionya tertata rapi. Warna putih mendominasi desain studio dengan pajangan foto-foto model dan produk di dinding-dindingnya.

“Coba deh kamu ganti baju sama temenku, dia paling jago kalo urusan gituan” pinta Eka. Aku mengikuti temannya menuju ruang ganti. Setelah selesai aku segera menunjukkan penampilanku kepada Eka.

“Cantik kan bang?” aku berputar dengan gaun pendek warna biru.
“Iya kamu sangat cantik sekali” Eka tersenyum manis.
“Sekarang Sofi kedepan ya, nanti aku kasih tahu gerakan modelnya” pinta Eka. 

Sesi pemotretan berlangsung sangat menyenangkan, canda dan tawa mewarnai sesi pemotretan. Ini adalah pengalaman modeling pertamaku. Walau demikian Eka berkata bahwa aku cukup berbakat menjadi seorang model. 

Seusai pemotretan Eka mengajak aku makan malam di Kafe Musik Sagan. Tempatnya sangat romantis, beberapa meja terletak di bagian luar. Taman kecil mengelilingi meja-meja yang dihiasi lilin. Kami segera memesan makanan setelah waiter memberikan menunya kepada kami.

Sembari menunggu makanan diantar, kami saling tukar cerita. Eka yang dulunya terlihat kaku, sekarang perlahan berubah menjadi sosok yang sangat komunikatif dan ceria. Aku mulai merasa nyaman ketika berada disampingnya, banyak hal yang bisa aku ceritakan kepadanya.

Aku suka bercerita mengenai pengalaman sehari-hariku sedangkan Eka bercerita mengenai pekerjaan dan kisah teman-temannya. Namun malam ini ada hal yang berbeda ketika Eka tiba-tiba memegang tanganku dengan mesra.

“Sofi, ada yang ingin aku omongkan malam ini” Eka memandang kedua mataku. Aku diam saja tak berkutik, mulutku terjahit rapat, detuk jantungku berpacu semakin cepat.
“Aku suka kamu Sof, sejak pertama kali ketemu di Ayam Goreng Kentaki aku sudah jatuh hati. Kamu sangat berbeda dimataku dan hatiku”  paparnya pelan
“Sofi mau ga jadi pacarku?” Eka bertanya. 

Tangannya semakin erat menggenggam tanganku. Aku tak bisa berpikir banyak malam itu. Aku juga tak memiliki alasan untuk menolaknya. Dari hati kecilku aku ingin merasakan kembali apa yang pernah aku rasakan bersama Kiki, dulu.

“Bang, iya” aku menyiratkan senyum samar kepadanya. Rasanya bercampur aduk, antara senang dan cemas.

Setelah makan malam, Eka mengantarkanku pulang ke kos. Perjalanan terasa sangat lama, aku memeluk ia erat. Kami tak banyak berbicara di dalam perjalanan. Tak ada ciuman malam itu, hanya panggilan “sayang” yang ditujukan kepadaku saat Eka berpamitan pulang.

------------------------------------------bersambung kembali----------------------------------------------