Showing posts with label lgbt. Show all posts
Showing posts with label lgbt. Show all posts

Monday, 18 November 2019

PANSEKSUAL-mu Adalah Omong Kosong


“Ngeri ga si kalau punya pacar Pansexual?”
“Kenapa?”
“Ya kan dia berbahaya?”
“Karena?”
“Sama apa aja suka kan?”

Obrolan singkat di atas bermula dari seorang teman dunia maya yang memposting kegelisahannya di Twitter. Percakapan terakhir membuat aku harus mengakhiri percakapan sederhana itu. Akhir-akhir ini istilah Panseksual sedang populer di twitter, beberapa orang mengidentifikasi diri mereka sebagai panseksual. Mereka mengatakan bahwa Panseksual memiliki ketertarikan pada semua gender. Bahasa dan pengetahuan adalah privelege. Bukankah Panseksual terdengar lebih intelektual, lebih tinggi, jika dibandingkan dengan label-label populer lainnya seperti Gay, Top-Bottom, Biseksual, Butchi, Femme, yang sudah usang termakan pola biner yang mulai tidak disukai oleh beberapa orang di komunitas.

Tentu kita bisa melihat siapa saja yang mengidentifikasi dirinya sebagai panseksual. Berdasarkan pengamatan pribadi, kebanyakan mereka adalah anak-anak muda yang memiliki privelege terhadap pengetahuan seksualitas. Mereka biasanya memiliki pendidikan tinggi dan mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Pengamatanku ini bukan sebuah fakta, tetapi asumsi yang menurutku sangat bisa dibuktikan.

Mari kita lihat lebih jauh lagi apa itu Panseksual. Aku merujuk kepada salah satu buku yang dibuat oleh Federasi Arus Pelangi, kumpulan organisasi yang sangat getol mengutak atik identitas gender dan seksual manusia. Menurut mereka di dalam buku Modul Pendidikan Dasar SOGIESC, Panseksual adalah bagian dari orientasi seksual. Apa itu Orientasi seksual?

ORIENTASI SEKSUAL [noun. kata benda] adalah ketertarikan manusia terhadap manusia lain yang melibatkan rasa emosi dan romantis, dan/atau seksual. Orientasi seksual bersifat sangat personal. Sejauh ini masyarakat belum banyak mengenal keragaman orientasi seksual selain heteroseksual. Situasi lingkungan, termasuk di antaranya ketersediaan ruang aman dan nyaman mempengaruhi pilihan seseorang untuk menyatakan orientasi seksualnya atau tidak.”

Sedangkan Panseksual didefinisikan sebagai;

PANSEKSUAL [adj. kata sifat], ketertarikan manusia yang melibatkan rasa emosi dan romantis, dan/atau seksual terhadap manusia lainnya tanpa memandang gender dan/atau seksnya, misalnya:
DEMISEKSUAL [adj. kata sifat], ketertarikan manusia terhadap manusia lainnya tanpa memandang gender dan/atau seksnya, dimana ketertarikan seksual tidak muncul tanpa adanya ikatan emosi dan romantis yang kuat.
SAPIOSEKSUAL [adj. kata sifat], ketertarikan manusia terhadap kecerdasan manusia lainnya yang melibatkan rasa emosi, romantis dan/atau seksual tanpa memandang gender dan/atau seksnya.

Ternyata Panseksual tidak sesederhana menurut pemahaman warga netijen yang saya temui. Beberapa dari mereka menggunakan Panseksual dan Sapioseksual dalam konteks yang berbeda sedangkan Arus Pelangi melihat Sapioseksual sebagai bagian dari Panseksual. Tulisan ini tidak akan mengulas bagaimana kedua wacana tersebut memiliki perbedaan konteks. Tulisan ini lebih menggarisbawahi pandangan kritis terhadap Panseksual.

Pertanyaan kritis tersebut kita awali dengan sebuah pertanyaan “Apakah manusia bisa memiliki ketertarikan yang melibatkan emosi dan romantis terhadap manusia lainnya tanpa memandang gender dan/atau seksnya?” Jawaban yang terlontar dari ruang hampa logika tentu akan mengatakan “Ya, bisa sangat mungkin terjadi.” Tetapi hal itu bukan cara menjadi kritis karena terlepas dari realitas.

Pertanyaan awal itu membawa saya untuk mengajukan sebuah pertanyaan kepada kawan-kawan saya yang menggeluti ilmu seksualitas. Saya mengajukan pertanyaan “Apa perbedaan antara Biseksual dan Panseksual?” Pertanyaan tersebut menimbulkan sebuah keraguan. Salah seorang teman mengatakan bahwa Biseksual adalah ketertarikan yang melibatkan dua gender. Masih menggunakan pola biner laki-laki dan perempuan. Tetapi kemudian timbul pertanyaan lebih kritis lagi mengenai siapa yang disebut laki-laki dan perempuan itu dalam konteks Biseksual. Apakah terlepas dari kemelekatan jenis kelamin? Kawan lain mengajukan sebuah definisi Biseksual sebagai ketertarikan yang melibatkan dua gender apapun itu? Tetapi pandangan ini pun runtuh dengan pertanyaan kritis kenapa hanya dua gender saja? Padahal orang terkait mampu memiliki ketertarikan diluar batas kemelekatan jenis kelamin. Apa yang membuat mereka hanya mampu menyukai dua, bukan tiga dan selebihnya.

Arus Pelangi menempatkan Biseksual dan Panseksual dalam kategori orientasi seksual. Biseksual dalam Modul SOGIESC didefinisikan sebagai;

BISEKSUAL [adj. kata sifat], ketertarikan manusia terhadap manusia lain yang melibatkan rasa emosi dan romantis, dan/atau seksual, yang tidak terbatas pada satu gender dan/atau seks tertentu.”

Definisi Biseksual yang dirumuskan oleh Arus Pelangi telah melepaskan pakem kata “bi” yang berarti dua. Cukup aneh melihat terminilogi dan definisi yang tidak sinkron tersebut. Mari kita kembali pada tema besar Panseksual. Jika kita mencermati definisi Panseksual dan Biseksual terlihat serupa. Titik perbedaannya Panseksual adalah ketertarikan tanpa memandang gender sedangkan Biseksual tidak terbatas pada satu gender tertentu. Tanpa memandang berarti seseorang memang tidak peduli dengan gender orang lain yang ia sukai. Tetapi hal apakah yang bisa membuat seorang Panseksual memiliki ketertarikan terhadap orang lain tanpa melihat gendernya? Melihat konteks Panseksual berada pada tataran orietasi seksual, maka sesuatu itu harus mampu menciptakan ketertarikan rasa emosi, romantis, dan/atau seksual.

Demiseksual yang dianggap sebagai salah satu kategori Panseksual justru meninggalkan misteri besar pertanyaan di atas. Sedangkan Sapioseksual menjelaskan bahwa kecerdasanlah yang membuat seorang tertarik secara emosi, romantis, dan/atau seksual. Seksualitas harus dilihat sebagai suatu yang beragam. Sangat mungkin kita tertarik pada seseorang karena dia pintar, tetapi apakah kita hanya melihat kepintarannya saja semata? Bagaimana itu bisa terjadi secara nyata.

Menurut Judith Buttler gender adalah apa yang seseorang lakukan (perform) bukan tentang apa-siapa semata. Perform tersebut melibatkatkan banyak aspek seperti identitas, kuasa, hasrat dll. Bagaimana seseorang mampu untuk mengelak dari hal-hal rumit tersebut dan terpaku pada “kepintaran” sematalah yang membuat ia tertarik pada seseorang? Saya kembali bertanya kepada teman-teman saya dan mereka tidak mampu menjawab pertanyaan terakhir saya.

Kami mengambil sebuah kasus bagaimana beberapa teori seksualitas tidak bisa bekerja dalam realitas. Ada seorang laki-laki yang mengidentifikasi dirinya sebagai seorang gay. Ternyata dia tidak menyukai sekedar laki-laki. Setelah kami lihat lebih jauh laki-laki tersebut memiliki preferensi laki-laki yang ia sukai seperti maskulin, ras cina, mapan, mampu berbahasa inggris. Pada prakteknya ternyata seorang gay tidak bisa memisahkan orientasi yang berbasis gender semata dengan preferensinya lain dari variabel kompleks manusia lainnya. Bahkan menurut kami, orientasi seksual tersebut tidak akan bekerja dalam realitasnya jika kita melihat bagaimana ruang dan politik bekerja. Bisa jadi seorang gay tidak akan mampu/berani menjadi seorang gay di tengah sebuah negara yang menerapkan hukuman mati bagi LGBTIQ.

Panseksual bisa jadi adalah false science yang terus direproduksi oleh politik identitas dan kapitalisme. Wacana yang terus menciptakan pola-pola kaku yang tidak bisa bekerja dalam realitas dan cacat logika.

Monday, 8 January 2018

Dari Perempuan Itu


Perempuan itu terkejut begitu memasuki ruangan tempat dirinya menjalani seleksi wawancara. Ia melihat laki-laki yang ditemuinya di dalam kegiatan seni di Jalan boulevard UGM. Ia tidak terlalu dekat dengan laki-laki itu, tetapi mereka berbincang baik ketika bertemu. Laki-laki itu segera menyadari kedatangan perempuan yang menjaga langkahnya ketika memasuki ruangan.
“Eh kamu to”. Begitu laki-laki itu menyapa. Tanpa sebutan nama hingga membuat perempuan itu merasa bahwa laki-laki itu memang tak mengingat namanya. 

Begitulah pertemuan mereka terjadi, titik awal hingga mereka tumbuh menjadi layaknya seorang kakak-adik. Setidaknya itulah yang sering aku lihat dari hubungan mereka yang sangat unik. Ada saat-saat bahagia, kenangan yang selalu disertai tawa ketika perempuan itu mengingatnya. Atau hal-hal yang ia tak sukai tetapi ia lebih suka menyimpan untuk dirinya sendiri. 

Aku datang tanpa sebuah rencana ke rumah perempuan itu. Ia selalu terbuka untuk diriku. Kami duduk di ruangan bawah tempat kami sering berbincang banyak hal. Siang itu aku menanyakan sebuah rencana santai. Begitu aku menyampaikan hal itu secara sederhana tanpa muluk-muluk. Seperti biasanya ia selalu mengatakan “Apa yang bisa ia bantu.” Aku hampir mengejeknya, balasannya terlalu otomatis seperti seorang pelayan konsumen. Tetapi aku lebih memilih untuk membuka sebuah peluang untuk berbicara hal-hal yang ingin aku ketahui dari perjalanannya selama beraktivisme.

Perempuan itu menerawang ketika aku mengajukan beberapa pertanyaan. Aku sempat berpikir apakah pertanyaanku sedikit rumit untuk digali dari masa lalunya? Beberapa jawaban yang aku dengar terkesan sangat formal, sebuah bukti sukses ideologi organisasi tempatnya menghabiskan bertahun-tahun bersama komunitas tertindas. Ia berkali-kali juga tidak bisa untuk tidak mengaitkan organisasinya. Padahal aku ingin memunculkan subyektivitas dirinya dalam setiap jawabannya. Mungkin aku bukan seorang penanya yang baik, karena seharusnya aku tak perlu berharap dia menjawab sesuatu yang aku inginkan. Aku tahu aku bodoh.

Organisasi tua tempat perempuan mengabdikan diri memang besar pengaruhnya pada gerakan komunitas tertindas, terutama gerakan LGBT. Mereka-mereka yang pernah berada di organisasi itu adalah orang luar biasa yang selalu menginginkan perubahan. Dulu ketika isu HIV AIDS mendominasi segala funding dan wacana. Mereka memilih untuk membuka cakrawala wacana. Perjuangan identitas menjadi pijakan berikutnya untuk mendorong komunitas LGBT untuk bergerak lebih luas memperjuangkan hak mereka. Mereka tak hanya menganggap komunitas LGBT sebagai obyek proyek yang harus selalu didampingi. Mereka meyakini bahwa komunitas memiliki daya untuk menjadi aktor utama perubahan.

Perbincangan kami menjadi tidak teratur. Semakin lama aku bukan menjadi seorang penanya yang pintar. Semakin lama aku pun sedikit khawatir karena berkali-kali ia mengulang nama seorang laki-laki yang telah tiada. Seseorang yang sangat berarti untuk hidupnya. Aku cukup khawatir jika pertanyaanku akan membuka lukanya yang telah sembuh karena ikhlas. Kami diam sejenak, aku lalu mengalihkan pembicaraan pada hal-hal remeh tentang bahasan keseharian komunitas yang tak jauh dari pasangan, pesta atau kesenian. Ternyata dulu dan hari ini tak terlalu berbeda. Masalah-masalah yang seolah terulang, beranak-pinak dan tak terselesaikan. Aku tak ingin menjadi orang yang terlalu pemimis melihat masalah itu. Bukankah perubahan tidak akan pernah terjadi tanpa harapan yang harus selalu hidup. Dari perempuan itu aku semakin percaya bahwa harapan itu harus terus menyala dan diteruskan ke semua orang. Perempuan itu memang tidak terlalu yakin atau mungkin dia tidak terlalu ingat. Beberapa kali dia mengatakan untuk bertanya kepada laki-laki, “kakak”nya yang lebih dulu bergerak bersama komunitas. Aku tahu bahwa aku harus bertanya kepada laki-laki itu. Seorang laki-laki yang menyimpan banyak proses bersamanya. Kadang aku berandai-andai, jika laki-laki itu ingin menggunakan namanya. Mungkin ia telah menjadi seorang direktur, seorang aktivis ternama, atau seorang lain yang besar. Bagiku ia memilih bersama komunitas dan aku hormat padanya.

Aku tak pernah bisa menebak isi kepala perempuan itu. Semakin lama kami berbincang aku ingin semakin dalam menyelam. Mungkin dia akan sangat berbeda memaknai laki-laki itu. Dia lah yang telah lama mengenalnya. Sebelum berada di organisasi yang sama, ia telah mengenalnya melalui mantan kekasihnya. Dari teman kekasihnya ia bertemu dengan laki-laki itu di Boulevard UGM. Mereka berkumpul membicarakan banyak hal terutama kesenian. Di luar jalanan Boulevard perempuan itu juga bertemu dengan laki-laki itu menjadi seseorang yang aktif berbicara LGBT di banyak forum. Kami melihat gerakan yang dibangun oleh laki-laki adalah gerakan menengah. Tetapi aku tak bisa melihat sedangkal itu. Aku harus mendengarkan cerita lain tentang laki-laki itu dari orang lain, perempuan itu tak berani menceritakannya. Dari cerita orang lain, mereka bercerita tentang aksi bersama petani, ramaja jalanan, buruh. Jelaslah bahwa laki-laki itu telah melakukan bunuh diri kelas dan membaur bersama orang-orang kecil.

Melalui perempuan itu aku ingin menceritakan tentang laki-laki itu. Aku tidak ingin orang-orang seperti dirinya berlalu begitu saja dalam waktu. Seperti tahun demi tahun yang lalu, aku dan perempuan itu kehilangan orang-orang besar. Kehilangan selalu memyedihkan, memang. Namun, ada yang lebih menyakitkan jika kami yang pernah bersama mereka tak bisa menyampaikan jiwa mereka kepada lainnya. 

Sebelum teknologi mampu meniadakan kematian. Aku pikir mereka harus tercatat dalam sejarah. Demikian jiwa mereka akan tersampaikan pada lainnya.

Friday, 5 January 2018

Narasi Kecil Gerakan LGBT: Badai di otakku.


Belum terungkap bukan berarti tak ingin dikenang. Tidak tertulis jangan diartikan tak bersejarah.”

Aku selalu antusias mendengarkan cerita senior tentang gerakan LGBT. Cerita tentang bagaimana PLUSH terlahir dan menjadi rumah bagi mereka yang percaya kesetaraan. Di dalam perbincangan, mereka memanggil kisah-kisah yang mengendap lama. Aku menerawang dari dalam mata mereka. Berharap bisa terbawa pada ingatan itu. Setiap perbincangan tentang sejarah selalu menyenangkan. Mereka saling menimpali. Melengkapi ingatan yang terselip oleh waktu. Kadang satu diantara mereka tiba-tiba terkekeh. Teringat cerita jenaka. Lainnya pun ikut tertawa. Sebagai pendengar cerita, aku turut tertawa dan menjadi penonton yang berbahagia. Namun ada rasa sedih setelah mendengarkan cerita mereka. Tidak pernah aku menemukan cerita mereka di dalam buku, jurnal, atau sastra. Mereka seolah tersimpan dalam rahasia sejarah. Teronggok bersama kumpulan narasi kecil. Cerita yang tak terceritakan. Semangat baik yang tak tersampaikan?

Susah sekali menceritakan mereka. Terlalu banyak cerita menggelintar. Pertanyaan bagaimana memulai cerita mereka terngiang-ngiang di dalam benakku setiap kali bertemu dengan mereka. Aku merasa cerita mereka lebih dari sekedar alur peristiwa yang biasa ditemukan dalam ensiklopedia sejarah. Semangat, gagasan dan tantangan mereka harus terceritakan. Cerita mereka adalah persoalan memaknai garis waktu. Makna yang membuat gerakan LGBT tetap hidup hingga hari ini aku bersama mereka.

Menulis adalah caraku menghormati perjuangan mereka. Ini adalah iktikad. Mereka harus terceritakan. Pengorganisator akar rumput. Mereka yang tak pernah silau kedudukan organisasi. Tidak pernah memposisikan diri lebih hebat atau pintar dari komunitas. Mereka adalah teman dari komunitas. Teman yang membangkitkan ketertindasan menjadi sebuah perlawanan berarti. Saat ini mereka telah kembali ke dalam komunitas. Tak menjadi direktur lembaga, politisi atau orang ternama. Mereka adalah orang biasa dan kembali menjadi orang biasa.

Gerakan LGBT di Yogyakarta lahir dari rahim gerakan Kesehatan Reproduksi. Mendengar cerita teman, beberapa dari mereka mengatakan bahwa gerakan advokasi LGBT menjadi embrio wacana dari divisi pengorganisasian gay dan waria di PKBI Yogyakarta. Wacana advokasi tidak terlahir apik seperti konsep hari ini. Ini bukan menjadi sebuah perbandingan. Wacana hari ini adalah pikiran organik yang tumbuh sehingga ia tak lepas dari sejarahnya. Melihat wacana yang populer saat itu, isu HIV AIDS sedang berada di arus utama pengarusutamaan wacana. Ditambah hanya lembaga-lembaga HIV AIDS yang memberikan sokongan dana untuk kepentingan komunitas. Tanpa mengecilkan makna kolektif saat itu. Aku pikir perlu mengakui wacana yang berkembang saat itu membuat gerakan gay dan waria hanya menjadi kelompok yang diakui umum dalam gerakan sosial. Aku yakin, teman-teman ini tidak menyerahkan diri mereka puas dalam wacana lembaga sokongan dana dan wacana umum. Mereka telah berpikir keras mendiskusikan wacana seksualitas lebih luas, tentang orientasi seksual, hak tubuh dan lainnya. Mereka juga mulai berpikir mengajak gerakan Lesbian untuk berjuang bersama.

Sejarah mereka yang dulu cukup aktif di divisi pengorganisasian gay PKBI Yogyakarta juga perlu dicatat sebagai sebuah keberhasilan. Aku masih berhitung soal jumlah, berdasarkan cerita senior, banyak komunitas yang diorganisasi mereka. Ada Pelangi Jogja yang menjadi wadah berkesenian bagi komunitas, Komunitas satu Hati yang aktif dalam kegiatan sosial di Yogyakarta dan komunitas-komunitas tak bernama yang sering berkumpul di alun-alun utara, taman pintar dan titik lainnya. Jika aku harus bertepuk tangan, aku takut jemariku akan remuk saking salutnya. Bisa jadi pengorganisasian waktu itu adalah pengorganisasian terbesar dalam sejarah gerakan LGBT. Tidak hanya itu saja, aku juga mendengar bahwa gerakan LGBT pernah tergabung ke dalam gerakan agraria, buruh dan demokrasi. Interseksionalisme bukan wacana baru hari ini. Mereka telah lebih lama beririsan dengan gerakan lain. Irisan yang hari ini telah lapuk dan kembali dirajut susah payah.

Ternyata ada sedikit keraguan dari iktikad yang besar. Keraguan itu adalah pertanda bahwa aku harus bersabar untuk belajar. Sejarah itu terlalu luas, seperti cerita-cerita yang terlontar santai, mengalir deras hingga aku tak bisa mengimajinasikannya. Sejarah perlu membatasi dirinya agar mampu dimaknai. Aku sedang berpikir keras akan batasan itu. Pilihan yang sangat sulit. Aku pun bersiap untuk salah dengan pikiran terbuka. Menceritakan perjuangan merek adalah perkara rumit. Aku membayangkan setiap orang harus dihargai. Menghargai subyektif mereka, menghargai keakuan mereka. Tulisan seharusnya mampu menangkap bagaimana mereka memandang gerakan LGBT lahir dan tumbuh.

Monday, 20 June 2016

Selingkuh adalah Posmodern



Ini adalah sebuah jebakan. Malam ini seperti malam di masa lalu, lautan gelap meraung-raung. Dia  bergemuruh dan anginnya membuat gigiku gemeretak. Baru saja kami beramai-ramai tertawa di bibir pantai, tetapi mereka dengan sengaja meninggalkan kami berdua. Mereka berdalih ingin menikmati quality time mereka berdua. Bedebah! ini adalah jebakan gumamku. Seperti masa lalu kami akhirnya hanya berdiam diri berdua, namun kini kami memiliki jarak yang walau hanya sedekap tetapi terasa sangat jauh. Diam dulu menjadi momen menikmati, kini menjadi momen bertanya-tanya. 

Beberapa minggu yang lalu seorang sahabat mengatakan akan pergi ke Jogja dan mengajakku menghabiskan waktu liburannya sebagai pegawai ibu kota yang sangat singkat dan nanggung. Katanya itu lebih baik daripada tidak memiliki liburan sama sekali. Tentu saja, dengan uang yang diraupnya dengan pengekangan, liburan lebih berharga dari kehidupan gaya-gayaan yang diburunya ketika weekend tiba. 

Aku berpikir mungkin dia hanya mengajak aku dan sahabat lamanya yang sekarang tinggal dan bekerja di Jogja. Ternyata dia mengajak seseorang yang sebenarnya aku tidak perlu kaget jika dia juga berada di antara kami. Bahkan aku sempat menduga dia akan datang juga dan aku berharap pula akan keberadaannya diantara kami. Kami berempat memang memiliki relasi yang cukup unik dan dekat. Tetapi aku dan dia memiliki sebuah relasi rumit yang tidak pernah selesai walau kami sama-sama tahu pernah saling mencintai. Mungkin itulah yang membuat segalanya menjadi rumit.

   Setahun yang lalu kami bertemu kembali dan setelah meninggalnya kekasihku aku benar-benar berani untuk terang-terangan mencintainya. Mungkin aku terlalu agresif, atau mungkin saja aku sudah tidak mengenal dirinya yang berubah. Untuk kesekian kalinya semua berakhir buruk. Bahkan aku berjanji kepada diriku untuk menyisihkan dirinya dari kehidupanku untuk selamanya. Sayangnya dia kembali hadir. Lebih tepatnya dia menghadirkan dirinya kembali ke dalam kehidupannku dan aku tidak pernah bisa menolaknya. 

Menghadapi janji yang harus kulanggar, memberanikan diri melawan trauma masa lalu dan menahan diri untuk tidak jatuh kembali. Betapa sulitnya untuk tidak memikirkan mengenai dirinya walau kita hanya bertemu sesaat ketika mengobrol biasa di Excelso Malioboro ketika menemaninya menunggu bus travel-nya.

Anjing! Seharusnya aku biasa saja dan seharusnya pula dia biasa saja setelah kita bertemu dua kali kesempatan terakhit. Tetapi kenapa di malam ini aku benar-benar merasa canggung. Aku mendekap dadaku dengan kedua tanganku, meletakkan kening kepalaku pada dengkul kaki yang kutekuk kebelakang. Lama-lama aku berharap ingin sendiri saja daripada bersamanya yang diam.

“Bagaimana kabarnya?” Tanyanya memecah sunyi.
Kepalaku kuangkat, menyandarkan daguku pada dengkul. “Ya normal-normal saja.” Aku menjawab dengan cara yang menurutku sendiri pun aneh.
“Kamu semakin bahagia saja ya?!” Nadanya bercampur antara bertanya dan seolah memberikan penilaian.
“Aku tidak mencintainya.” Kata itu tiba-tiba muncul begitu saja. Ingin kutarik kembali, tetapi terlanjur keluar. Dalam hati aku bertanya-tanya kenapa aku terlalu jujur padanya.
“Hahaha....” Tawanya pecah. Ada sedikit nada sinis diakhirtawanya seperti biasa. Aku tak semakin karuan. Hinaan itu.
“Sejak tak memiliki cemburu, aku tak yakin aku memiliki cinta!” Sanggahku.
“Lalu bagaimana dengan kematian kekasihmu?” Dia menembakku.
“Kau tak perlu mengungkitnya!” Kataku.

Kami kembali terdiam kembali, sementara laut semakin bergemuruh. Tak ada bintang, tak ada bulan. Terdengar cekikikan ketawa dari kejauhan. Kuberanikan melirik dirinya, tak kusangka dirinya sedang menatapku sedari tadi. 

“Aku tidak merasa mencintainya. Terlebih aku hanya menginginkan teman hidup seperti yang pernah aku lalui bersama kekasihku dulu. Persetubuhan itu seolah hanya saling menggesekkan ketelanjangan dan memasukkan penis yang mengejan kedalam dirinya. Lalu orgasme, kadang bersamaan, kadang hanya aku atau dia.”
“Bulshit...!” Dia menyela.

Dia beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan diriku sendiri di bibir pantai. Kepergiannya justru membuat diriku lega, tapi aku berharap dirinya tidak merasa menjadi seorang sex buddy ku semata setelah apa yang telah kami lalui bersama. Tidak! Aku tidak boleh berpikir demikian karena itu justru akan membuatku merasa sangat bersalah lagi.

   Aku tidak pernah berharap orang lain, terutama dia untuk memahami kehidupanku. Aku berpikir membicarakan cinta adalah sia-sia karena itu diluar jangkauan manusia kecuali mereka memaksakannya di dalam ikatan pernikahan. Apa yang menggerakkan diriku untuk seks tak lebih daripada pemenuhan hasrat. Itu pun aku mulai bosan dengan cara-cara biasa hingga tertarik untuk mencampuradukkan dengan kekerasan kuasa dan simbol. 

Diluar itu semua aku tetaplah diriku yang penuh mimpi tetapi penuh pertimbangan. Aku yang tak mau menerima metanarasi yang disediakan dan memilih memeliki banyak perspektif hingga aku lupa bagaimana menjadi tegas di dalam suatu hal.

Aku kembali ke kamar cottage. Lampu sengaja kumatikan. Kubiarkan diriku dalam ketelanjangan dibawah pelukan selimut. Ini adalah salah satu cara diriku mendapatkan kebebasan. Menjadi telanjang, sendiri dalam kegelapan. 

Hingga menjelang pagi aku belum bisa tidur padahal aku merasa tidak memikirkan apapun. Tiba-tiba pintu kamar terbuka, aku sengaja berdiam diri. Terdengar pintu itu dikunci. Langkahnya berdecit, satu-demi satu dia melucuti pakaiannya. Lalu dia menyelinap ke dalam selimutku.

“Pernikahan itu adalah modern sedangkan perselingkuhan adalah posmodern”. Dia berbisik di belakang tengkuk leherku.