Showing posts with label gay. Show all posts
Showing posts with label gay. Show all posts

Monday, 20 June 2016

Selingkuh adalah Posmodern



Ini adalah sebuah jebakan. Malam ini seperti malam di masa lalu, lautan gelap meraung-raung. Dia  bergemuruh dan anginnya membuat gigiku gemeretak. Baru saja kami beramai-ramai tertawa di bibir pantai, tetapi mereka dengan sengaja meninggalkan kami berdua. Mereka berdalih ingin menikmati quality time mereka berdua. Bedebah! ini adalah jebakan gumamku. Seperti masa lalu kami akhirnya hanya berdiam diri berdua, namun kini kami memiliki jarak yang walau hanya sedekap tetapi terasa sangat jauh. Diam dulu menjadi momen menikmati, kini menjadi momen bertanya-tanya. 

Beberapa minggu yang lalu seorang sahabat mengatakan akan pergi ke Jogja dan mengajakku menghabiskan waktu liburannya sebagai pegawai ibu kota yang sangat singkat dan nanggung. Katanya itu lebih baik daripada tidak memiliki liburan sama sekali. Tentu saja, dengan uang yang diraupnya dengan pengekangan, liburan lebih berharga dari kehidupan gaya-gayaan yang diburunya ketika weekend tiba. 

Aku berpikir mungkin dia hanya mengajak aku dan sahabat lamanya yang sekarang tinggal dan bekerja di Jogja. Ternyata dia mengajak seseorang yang sebenarnya aku tidak perlu kaget jika dia juga berada di antara kami. Bahkan aku sempat menduga dia akan datang juga dan aku berharap pula akan keberadaannya diantara kami. Kami berempat memang memiliki relasi yang cukup unik dan dekat. Tetapi aku dan dia memiliki sebuah relasi rumit yang tidak pernah selesai walau kami sama-sama tahu pernah saling mencintai. Mungkin itulah yang membuat segalanya menjadi rumit.

   Setahun yang lalu kami bertemu kembali dan setelah meninggalnya kekasihku aku benar-benar berani untuk terang-terangan mencintainya. Mungkin aku terlalu agresif, atau mungkin saja aku sudah tidak mengenal dirinya yang berubah. Untuk kesekian kalinya semua berakhir buruk. Bahkan aku berjanji kepada diriku untuk menyisihkan dirinya dari kehidupanku untuk selamanya. Sayangnya dia kembali hadir. Lebih tepatnya dia menghadirkan dirinya kembali ke dalam kehidupannku dan aku tidak pernah bisa menolaknya. 

Menghadapi janji yang harus kulanggar, memberanikan diri melawan trauma masa lalu dan menahan diri untuk tidak jatuh kembali. Betapa sulitnya untuk tidak memikirkan mengenai dirinya walau kita hanya bertemu sesaat ketika mengobrol biasa di Excelso Malioboro ketika menemaninya menunggu bus travel-nya.

Anjing! Seharusnya aku biasa saja dan seharusnya pula dia biasa saja setelah kita bertemu dua kali kesempatan terakhit. Tetapi kenapa di malam ini aku benar-benar merasa canggung. Aku mendekap dadaku dengan kedua tanganku, meletakkan kening kepalaku pada dengkul kaki yang kutekuk kebelakang. Lama-lama aku berharap ingin sendiri saja daripada bersamanya yang diam.

“Bagaimana kabarnya?” Tanyanya memecah sunyi.
Kepalaku kuangkat, menyandarkan daguku pada dengkul. “Ya normal-normal saja.” Aku menjawab dengan cara yang menurutku sendiri pun aneh.
“Kamu semakin bahagia saja ya?!” Nadanya bercampur antara bertanya dan seolah memberikan penilaian.
“Aku tidak mencintainya.” Kata itu tiba-tiba muncul begitu saja. Ingin kutarik kembali, tetapi terlanjur keluar. Dalam hati aku bertanya-tanya kenapa aku terlalu jujur padanya.
“Hahaha....” Tawanya pecah. Ada sedikit nada sinis diakhirtawanya seperti biasa. Aku tak semakin karuan. Hinaan itu.
“Sejak tak memiliki cemburu, aku tak yakin aku memiliki cinta!” Sanggahku.
“Lalu bagaimana dengan kematian kekasihmu?” Dia menembakku.
“Kau tak perlu mengungkitnya!” Kataku.

Kami kembali terdiam kembali, sementara laut semakin bergemuruh. Tak ada bintang, tak ada bulan. Terdengar cekikikan ketawa dari kejauhan. Kuberanikan melirik dirinya, tak kusangka dirinya sedang menatapku sedari tadi. 

“Aku tidak merasa mencintainya. Terlebih aku hanya menginginkan teman hidup seperti yang pernah aku lalui bersama kekasihku dulu. Persetubuhan itu seolah hanya saling menggesekkan ketelanjangan dan memasukkan penis yang mengejan kedalam dirinya. Lalu orgasme, kadang bersamaan, kadang hanya aku atau dia.”
“Bulshit...!” Dia menyela.

Dia beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan diriku sendiri di bibir pantai. Kepergiannya justru membuat diriku lega, tapi aku berharap dirinya tidak merasa menjadi seorang sex buddy ku semata setelah apa yang telah kami lalui bersama. Tidak! Aku tidak boleh berpikir demikian karena itu justru akan membuatku merasa sangat bersalah lagi.

   Aku tidak pernah berharap orang lain, terutama dia untuk memahami kehidupanku. Aku berpikir membicarakan cinta adalah sia-sia karena itu diluar jangkauan manusia kecuali mereka memaksakannya di dalam ikatan pernikahan. Apa yang menggerakkan diriku untuk seks tak lebih daripada pemenuhan hasrat. Itu pun aku mulai bosan dengan cara-cara biasa hingga tertarik untuk mencampuradukkan dengan kekerasan kuasa dan simbol. 

Diluar itu semua aku tetaplah diriku yang penuh mimpi tetapi penuh pertimbangan. Aku yang tak mau menerima metanarasi yang disediakan dan memilih memeliki banyak perspektif hingga aku lupa bagaimana menjadi tegas di dalam suatu hal.

Aku kembali ke kamar cottage. Lampu sengaja kumatikan. Kubiarkan diriku dalam ketelanjangan dibawah pelukan selimut. Ini adalah salah satu cara diriku mendapatkan kebebasan. Menjadi telanjang, sendiri dalam kegelapan. 

Hingga menjelang pagi aku belum bisa tidur padahal aku merasa tidak memikirkan apapun. Tiba-tiba pintu kamar terbuka, aku sengaja berdiam diri. Terdengar pintu itu dikunci. Langkahnya berdecit, satu-demi satu dia melucuti pakaiannya. Lalu dia menyelinap ke dalam selimutku.

“Pernikahan itu adalah modern sedangkan perselingkuhan adalah posmodern”. Dia berbisik di belakang tengkuk leherku.

Friday, 11 April 2014

Cinta Untuk Agnostik: Garis



Panggil namaku Garis. Aku beranjak seperti remaja lelaki pada umumnya, bermain bola, musik dan aktif di organisasi sekolah di SMA. Dari luar aku nampak sama seperti mereka, tetapi dari dalam aku merasa berbeda. Hari ini adalah hari keempat setelah ulang tahunku yang ketujuh belas. Seharusnya aku merasa bangga dan lebih percaya diri karena telah menempuh akhir baliq. Sebuah batas antara garis tipis dan tebal seperti hal yang memberdakan antara anak-anak dan dewasa. Tetapi justru dalam lubuk hati, aku merasa bahwa diriku adalah seorang pembelok.
Iman sebagai penuntun, roboh tepat tiga hari setelah ulang tahunku. Aku bertemu dengan seseorang dari chat di Jack’D, namanya Dedi seorang mahasiswa Fakultas Hukum UGM. Awalnya kami hanya berbincang melalui aplikasi tersebut. Dia adalah orang yang menarik, kami sering curhat mengenai kehidupan kami masing-masing. Sampai ketika hari ulang tahunku tiba, dia mengajakku untuk merayakannya.
Pada awalnya aku takut untuk memenuhi ajakannya karena aku belum pernah bertemu dengan satu orang pun dari aplikasi chat tersebut. Entah bagaimana kepercayaan itu terbangun, aku mengiyakan ajakannya.
Saat itu pukul 4 sore, aku masih mengenakan seragam SMA ketika menunggunya di depan Warung Steak. Hatiku berdegup kencang, aku tidak bisa membayangkan jika dia menipuku atau yang lebih parah menjebakku. Ketakutan itu melayang kemana-mana hingga pupus seketika aku melihat kedatangannya dari arah timur. Dia yang kukenal sebatas foto kini perlahan mendekatiku.
Senyum manis, lebih manis dari foto editan yang dia pasang di profilenya. Ternyata realitas lebih indah dari maya. Malu-malu aku membalas senyumannya. Senyum adalah bahasa pertama yang kami gunakan, bukan bahasa verbal atau gerak tubuh. Aku mengatakannya sebagai bahasa rasa. Bahasa yang asalnya dari hati.
Usai berjabat tangan dan berkenalan secara nyata kami segera masuk dan memesan makanan. Kami duduk di meja tengah diantara manusia-manusia lain di ruangan ini. Kami adalah pusat dari keramaian, seperti matahari di antara deretan planet yang kita huni.
“Selamat ulang tahun!” Ucapnya membuka pembicaraan.
“Terima kasih mas.” Jawabku gugup. Degup jantungku berdetak tak normal, aku gugup. Biasanya kalau chat di Jack’D aku lebih santai dan terbuka.
“Ini ulang tahun ke 17 ya? Apa harapanmu di umurmu yang spesial ini? Tanyanya.
“Pengennya sih bisa masuk UGM.” Jawabku malu-malu.
“Wow, keren sekali. Mau masuk jurusan apa?” Tanyanya lagi. Dia terlihat antusias.
“Kalau bisa sih akuntansi mas.” Jawabku. Tanpa aku sadari aku sedang memainkan garpu yang ada diatas meja.
Dengan lembut dia memegang  tanganku yang sedang memainkan garpu karena gugup. “Belajar yang rajin ya. Aku yakin kamu pasti bisa masuk UGM.” Katanya.
Aku menegakkan kepalaku , perlahan menatap wajahnya yang tersenyum hangat. Aku tidak bisa berbicara apa-apa. Ada hawa hangat yang menjalar dari tangannya hingga kepalaku. Membuka mataku lebar-lebar bahwa ini bukan mimpi.
Selesai makan kami pergi ke kos Dedi tak jauh dari tempat kami makan tadi. Kos nya terletak di belakang rumah pemilik kos yang memiliki kebun asri. Pertama kali aku melihat kamar kosnya aku takjub dengan koleksi buku-buku yang berjejer rapi di rak yang terpajang di tembok kamarnya. Jas almamater coklat goni tergantung dibelakang pintu. Cocard kepanitiaan sengaja digantung dengan paku di tembok seolah itu adalah medali pencapain. Inikah kehidupan seorang mahasiswa tanyaku dalam hati.  
Dedi mengambil sesuatu dari meja belajarnya. Sebuah bingkisan yang disampul dengan kertas warna merah bercorak ornamen emas.
“Ini buat kamu. Buka aja!” Katanya.
Aku menerima bingkisan itu dan membuka bingkisannya pelan-pelan. Ternyata itu adalah sebuah buku berjudul “Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran”.
“Soe Hok Gie?” Aku bertanya.
“Seorang aktivis tahun 60-an. Mahasiswa Sastra Indonesia yang menjadi salah satu manusia besar yang dimiliki oleh bangsa ini. Bukunya inspiratif, aku kira bagus kalau kamu baca buku ini.” Jawabnya paparnya.
“Terima kasih mas.” Aku menatap buku itu penuh arti.
Kami mulai berbincang panjang lebar hingga lupa akan waktu. Aku merasakan kenyamanan bersama dengannya. Dia adalah orang pertama dimana aku bisa berbicara tentang apa saja tanpa rasa takut.
Matahari perlahan terbenam, warna jingga sore berubah menjadi gelap. Betapa syahdu sore itu ditemani olehnya dan kopi. Dia beranjak lalu menutup pintu kosnya. Akhirnya hal itu terjadi. Untuk pertama kalinya.  

***
Aku duduk bersimpuh di dalam masjid meratapi betapa rapuhnya imanku. Aku bertanya-tanya kepada Dia, maha pembolak-balik hati. Kenapa dia memberikanku sebuah cobaan yang teramat besar, bukan kemiskinan, bukan ujian lain kecuali menyukai laki-laki. Aku merasa kotor.
Handphone dalam saku celana kembali bergetar, mengalihkan kekhusukanku dalam doa. Aku bisa menebak dari siapa pesan singkat itu berasal. Sejak pagi tadi dia mengirimkan sms kepadaku, mengucapkan selamat pagi dan menanyakan kabarku. Aku sengaja belum membalasnya, mencoba mencerna apa yang aku gundahkan saat ini.
Jika kemarin adalah dosa, Ini bukan salahnya karena tak ada paksaan dan tipu daya. Tentu juga bukan salah-Nya karena hanya dialah yang Maha Benar. Lalu apakah ini semua salahku?
Kepala ini berat sekali rasanya hingga hanya bisa tertunduk. Aku tak ingin menjadi bagian dari kaum yang sombong dan melebihi batas. Tak hal lainselain berserah diri dan memohon petunjuk.
Aku berjalan menuju serambi masjid. Angin semilir mengayun damai memberikan kesegaran, suatu pertanda bahwa Dia masih memberikan rahmat walau untuk seorang pendosa sepertiku. Kulihat teman-temanku duduk-duduk bercanda. Ada pula teman-teman yang girang bermain voli di lapangan. Aku bergabung bersama teman-teman, mencoba melupakan gundah sejenak.
Sudah tiga tahun lamanya aku bersekolah, sebentar lagi aku akan segera meninggalkan sekolah ini untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Banyak sekali kenangan yang terpahat disini, sepertinya akan berat meninggalkan tempat ini.
Tiba-tiba seorang teman membangunkanku dari lamunan, tangannya lembut memegang pundakku dari belakang. Pandanganku teralih kepadanya, dia duduk di sampingku.
“Kok antum diem, tumben.” Celetuknya, seolah dia mengamatiku sejak tadi.
“Ah, biasa aja Don.” Aku membalas menepuk bahu Doni.
“Pasti galau mikirin UM-UGM.” Dia menerka.
“Hahaha…” Aku tertawa kecut.
“Manusia kan cuma bisa berikhtiar, setelah itu kan bertawakal. Biar tahu bahwa manusia itu punya batas dan ada Allah SWT di atas.” Jawabnya bijak sembari menunjuk jarinya ke langit.
“Ketua rohis itu kalau ngomong penuh makna ya.”
“Eh antum selepas dari SMA mau terus liqo ngga?” Tanyanya.
Pertanyaan spontan yang menjurus. Seolah aku bisa menebak kemana perbincangan kami akan tertuju.
“Insyallah, akh.” Jawabku. Menurut agamaku insyallah berarti jika Allah SWT menghendaki namun kali ini dalam lubuk hati, aku mengartikannya sebagai kebimbangan antara ya dan tidak.
“Tetep istiqomah, akh.” Doni mengingatkanku. Tangannya menepuk bahuku dengan keyakinan.
Tidak terasa sore telah berada di ujung horison barat menanti datangnya bulan dan bintang dari timur. Satu per satu teman pergi meninggalkan masjid dan suasana perlahan menjadi sepi. Aku mengikuti berlalunya ramai, pulang bersama teman-teman. Kami berpisah di parkiran sepeda motor di samping sekolah.
Kurogoh handphoneku dalam saku celana. Sebuah ikon sms terpampang besar memenuhi isi layar, dibawahnya tertulis nama Dedi. Sebuah pesan yang singkat:
Makan bareng jam 7?
Pesan ini adalah pesan ketiga yang dia kirim hari ini. Pesan yang dikirim pukul 3 sore tadi. Ada sedikit keraguan untuk membalas pesan singkat yang dia kirimkan. Namun aku akan merasa bersalah jika tiba-tiba diam dan pergi tanpa sebuah alasan yang pantas ia tahu. Aku sejenak merenung, menanggalkan kembali helm yang telah aku pakai.
Mamandang lepas ke atas, langit semburat jingga bercampur biru yang menawan. Tenang dan damai, begitu aku merasakannya. Ciptaan yang luar biasa atas kehendak-Nya. Aku berkata dalam hati, jika pertemuanku dengannya adalah kehendak-Nya, maka terjadilah. Jika saja ini adalah jalan untukku untuk mengetahui hakikat hidupku, maka kembalikanlah aku pada waktunya nanti. Hanya nama-Mu yang kurapal dalam doa.
Kupegang handphone ku dengan erat di tengah kecamuk keraguan. Kubuka pesan darinya, lalu kutekan tombol balas. Pesan singkat segera aku kirimkan kepadanya.
“Oke mas, ketemu di kosmu jam 7 ya.”

***
Pagi yang awalnya tenang, seketika berubah ketika ibuku teriak-teriak setelah membaca namaku terpampang di kolom Penerimaan Mahasiswa Baru UGM di Koran Kedaulatan Rakyat. Satu per satu anggota keluarga dari kakek, bapak hingga adik dipanggil satu-satu. Tetangga yang mendengar gaduh bungah dari ibu juga turut ingin tahu apa gerangan.
Aku berada diantara bahagia setengah mati dan malu luar biasa. Entah seperti apa raut mukaku saat ini, campur-campur bak gado-gado. Kuambil koran yang sejak tadi silih ganti berada di tangan keluarga dan tetanggaku. Kuamati dengan seksama, namaku tercetak dengan benar beserta nomor peserta ujian yang tertera dibelakangnya. Kulihat dikolom paling kanan, jurusan dimana aku diterima. Aku terhenyak sejenak, lalu kutatap ibuku. Sepertinya ibuku tidak terlalu memperhatikan dimana aku diterima, dia terlanjur girang membaca namaku terpampang di halaman Penerimaan Mahasiswa Baru UGM.
Pelan-pelan aku mendekati ibuku, mencoba menyela kegembiraannya.
“Bu….” Sapaku dengan hormat setengah takut.
“Gimana nak?” Mata Ibu berbinar, tersenyum selebar 10 cm layaknya pramugari yang menyambut para penumpang.
“Bu, saya nggak di terima di Akuntansi lho, tapi di Fakultas Hukum.” Lirih aku bersuara. Semua terhenyak, aku menjadi pusat dari semua mata-mata serius yang menatapku tajam.
“Di UGM kan nak?” Tanya Bapakku. Aku tak berkata hanya mengangguk.
“Yeeeey……!” Semua bersorak kembali. Seolah jurusan bukan menjadi hal yang penting. Bagi mereka masuk UGM lebih penting daripada jurusan yang dipilih.
Hari itu menjadi hari yang penting dan berarti bagi diriku tetapi juga keluargaku. Aku adalah orang pertama dari anggota keluarga yang bisa belajar di UGM, bahkan menjadi orang pertama di kampung yang bisa melanjutkan studi di salah satu perguruan tinggi favorit di Indonesia ini. Sekali lagi aku menunjukkan kepada mereka betapa lurus hidupku. Hidup yang mereka yakini benar.
Masa-masa awal perkuliahan diawali dengan Ospek yang membuatku dan keluargaku kelabakan memenuhi syarat yang diwajibkan oleh senior. Katanya mahasiswa adalah kaum intelektual, namun kenapa mereka membuat kegiatan semacam ospek kampus yang bagiku tidak mendasar dan manusiawi untuk memperlakukan anak-anak berumur 18 tahun sepertiku. Bayangkan saja membuat tas dari kantung gandum hingga topi kertas yang bagiku mirip seperti topi Peterpan dalam dunia dongeng. Sama sekali tak ada sisi intelektualitasnya bagiku.
Sebagai mahasiswa baru, aku mencoba menyesuaikan diri dengan rutinitas kampus. Pelan-pelan aku mulai menikmati ritme menjadi seorang mahasiswa. Maksudku seorang mahasiswa yang tidak hanya kuliah saja.
Siang itu aku dan temanku mampir di sekretariat organisasi yang kebanyakan laki-laki, atau dalam bahasa mereka disebut ikhwan, berjenggot tipis serta ada dua tanda hitam dijidat mereka. Mereka menyambut kami dengan ramah serta banyak berbincang lebar mengenai perkuliahan dan kegiatan yang dilakukan oleh Keluarga Mahasiswa Muslim Fakultas Hukum (KMMFH).
Mataku menelisik isi sekretariat yang ditata dengan rapi. Banyak sekali buku-buku tebal berjejer rapi di rak-rak yang berada di pojok ruangan. Mungkin inilah salah satu perbedaan sekretariat seorang mahasiswa dan siswa. Berbeda dengan sekretariat organisasi lain, tak ada foto yang terpajang di tembok KMMFH ini. Hal itu membuat ruangan terkesan sederhana dan lebih luas, jauh dari semwawut narsistik aktivis mahasiswa.
Iseng aku bertanya kepada senior mengenai hal tersebut, katanya foto tidak baik untuk dipajang di ruang publik seperti ruang ini. Takut auratnya tersibak dia terkekeh. Aku sempat terkagum-kagum dengan jawabannya. Setelah menjawab pertanyaanku, kakak ini mengambil sebuah album foto diantara deretan buku tebal di rak.
Kubuka buku album itu halaman demi halaman. Kebanyakan foto dipenuhi dengan foto laki-laki, minim sekali foto perempuan. Pandanganku tiba-tiba terhenti pada sesosok orang yang sepertinya aku kenal dekat. Seseorang, hanya seorang, dimana aku bisa berbicara mengenai sisi lain dari hidupku yang tabu. Sudah lama aku tidak berkomunikasi dengannya, bukankah saat ini kita satu kampus?
“Apa kabarmu Dedi?”
***
Aku berhadapan dengan pintu yang dicat coklat muda mengkilat. Tertempel stiker-stiker berbau provokatif ciri khas kamar seorang aktivis yang menggebu-gebu. Aku mengetuk pintu itu selama tiga kali tetapi tidak ada respon sama sekali dari empunya kamar. Kamar-kamar kos yang berjejer juga terlihat sepi sehingga tidak ada orang yang bisa aku tanyai. Lengang sekali siang ini.
Kubaca pesan yang tersimpan dalam handphoneku. Aku tidak salah, seharusnya aku bertemu dengannya pukul 1 siang di kosnya. Kuputuskan untuk menelponnya. Rasa cemas muncul ketika nada telpon panjang harus diakhiri oleh suara operator bukan jawaban darinya. Hampir saja aku pergi meninggalkan kos-kosan itu ketika dia tiba-tiba datang dari arah parkiran motor yang terletak di depan. Dedi akhirnya muncul juga.
Hal pertama yang aku lihat darinya adalah senyumannya. Senyuman sama yang aku lihat ketika pertama kali bertemu dengannya. Senyuman yang mampu membuat rasa cemasku runtuh dan membuat mulutku ketir untuk berkata-kata.
Dedi segera membereskan buku-buku yang berserakan di lantai kamar. Sepertinya dia tidak terlalu peduli dengan keadaan kamarnya akhir-akhir ini. Aku duduk di lantai sembari melihatnya merapikan kamarnya secepat dan semampunya.
“Wuih…” Keluhnya, seolah lelah akan suatu hal.
“Mau kopi?” Tanyanya. Aku mengangguk, tanpa kontrol sepenuhnya dariku. Kopi, sesuatu yang jarang sekali aku minum. Biasanya minuman ini aku temui ketika ronda di kampung, itupun aku hanya melihat ketika bapak-bapak yang turut jaga minum.
“Gula?” Tanyanya lagi.
“Iya mas.” Jawabku spontan. Tak bisa kubayangkan bagaimana menikmati kopi yang rasanya  pahit.
Dua cangkir kopi tersaji, kepulan uap terlihat lalu lenyap di telan udara kamar. Seolah itu pertanda bahwa aku harus tinggal lebih lama disini, mengobrol dengannya. Bukankah ketika kami bertemu biasanya lebih dari sejam-dua jam?  Dia menyalakan rokok kreteknya lalu mengoceh, kata seorang ahli kopi merokok dapat merusak kenikmatan dari kopi. Tetapi persetan dengan omongan si ahli ,baginya kopi dan rokok adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Jika dipisahkan maka tidak akan lengkap.
Ketika rokok telah dijepitnya diantara jari tengah dan telunjuk, dia terlihat begitu lepas. Apapun dia obrolkan mulai dari apa yang dia lakukan hari ini, kekonyolan yang dia alami hingga folosofi hidup yang dia pegang. Hal terakhir adalah candu yang membuatku terasa jauh dari realitas. Kadang aku tidak mengerti yang dia omongkan, namun bagiku caranya berbicara dan aura yang terpancar sudah lebih dari cukup.
Susah sekali mengimbangi perbincangannya. Satu-satunya kesempatanku untuk berbicara adalah ketika dia terdiam, menghela nafas panjang. Seolah sedang melepaskan kepenatan yang menjadi bebannya.
“Mas….” Panggilku lirih. Dia menoleh kearahku. Lagi-lagi senyum itu terpancar, lama-lama aku benci jika tak melihatnya.   
“Kok aku nggak pernah lihat kamu di kampus ya? Kan sekarang kita satu kampus.” Tanyaku.
“Hmm…kemari.” Dia tak menjawab pertanyaanku, justru memintaku untuk duduk lebih dekat dengannya.
Dibukanya lengannya menyerahkan dadanya yang bidang untukku bersandar. Kujatuhkan saja kepalaku kedadanya, menyerah tanpa syarat. Dielus-elusnya kepalaku dengan tangannya yang magis, membuatku terjatuh lebih oleh candunya. Kupeluk dia semakin erat hingga kurasakan tiap degup jantungnya.
Tanpa aku sadari diriku sudah tertindih oleh tubuhnya, pakaianku pun terlucuti tanpa perlawanan. Kutemukan sebuah dunia tanpa jeratan, tanpa belenggu ini dan itu. Dunia tak beruang dan berwaktu, yang ada hanya aku dan dia. Dalam dunia tak sadar ini aku menjadi bukan aku dalam realitas. Aku adalah jelmaan dari sisi lain diriku yang bangkit dari jiwa-jiwa bebas yang dijerat oleh darma-darma.
Sayang sudah takdirku untuk kembali ke dalam alam sadar realitas setelah kami kelelahan menikmati candu. Kutatap matanya yang bersinar dalam remang, pandangan penuh arti. Ingin sekali lagi aku mengajaknya memasuki dunia candu itu, namun dengan halus dia menolaknya dengan dekapan erat. 
Aku terperanjat dan melepas pelukanku darinya ketika suara adzan berkumandang lirih memasuki celah-celah kecil ventilasi. Aku segera bangkit dan meraih bajuku yang berserakan di lantai. Dia sama sekali tak mencegahku kali ini.
“Aku harus pergi.” Kataku.
Dia hanya membalas dengan senyumannya. Tanpa terima kasih, itulah kata-kata terakhir yang aku katakan kepadanya. Aku telah dipanggil, waktuku untukmu sudah habis. Aku harus pergi bergantian menemui-Nya sekarang.
***
Seorang teman membanting sebuah majalah ke meja tempat aku dan teman yang lain sedang makan di kantin. Raut mukanya penuh amarah, jari telunjuknya menunjuk sebuah foto yang dipasang di salah satu artikel.
“Dunia sudah kiamat, dunia sudah kiamat ini!” Dia mengulang-ulang kata itu diikuti dengan amarah yang meledak.
Seraya teman-temanku yang lain segera mengambil majalah tersebut dan membacanya. Mereka pun turut berkomentar “Astaughfirullah…semoga azab Allah tak menimpa kita semua.” Kata temanku dengan mimik wajah khawatir.
Aku segera meraih majalah yang cukup menggemparkan itu. Foto yang terpampang di majalah itu menohokku. Seseorang yang sangat aku kenal sekali. Kubaca artikel itu baris demi baris, sebuah pengakuan seorang muslim akan identitas seksualnya. Bukan hanya pengakuannya saja, namun artikel itu juga membahas mengenai visi yang dia usung bersama gerakannya tentang “gay muslim”. Aku tak sanggup untuk membaca artikel itu lebih jauh lagi.
Pikiranku berkecamuk hebat mengenai kedekatanku dengannya dan rahasia mengenai identitasku yang aku simpan rapat. Sumpah serapah yang teman-temanku lontarkan membuat diriku semakin terpojok dalam kegundahan dan ketakutan. Bagaimana jika teman-temanku tahu akan rahasiaku?
Bayangan-bayangan ketakutan tiba-tiba muncul, mencekikku. Betapa ngerinya. Tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Inikah pertukaran yang akan aku hadapi jika aku meneruskan hidupku seperti ini. Kedamaian yang aku temukan bersama dengannya ternyata memiliki sisi kekacauan yang tak terkira.
Aku mencoba bersikap tenang dan kalem walau raut mukaku tidak bisa berbohong. Entah kenapa, sepertinya teman-temanku melihatku dengan pandangan berbeda. Atau jangan-jangan ini hanya ketakutanku saja. Aku lebih baik diam saja dan berpura-pura mendengarkan perbincangan mereka. Tetapi sungguh, aku sekarang kosong.
Satu persatu teman-teman pergi meninggalkanku yang masih ingin tinggal lebih lama, menenangkan diri dalam kesendirian lebih tepatnya. Kulihat majalah yang tergeletak, terbuang di atas meja. Kuambil majalah tersebut dan aku pun pergi dari kantin segera.
Aku berjalan menuju arah parkiran motor tak jauh dari sekretariat organisasi kampus. Seperti biasa, suasana kampus ramai oleh mahasiswa. Terlihat beberapa temanku yang sedang bermain gitar atau ngobrol. Kutundukkan kepalaku, menyembunyikan diriku dari pandangan mereka dan untuk menghindari kewajibanku untuk menyapa mereka.
Langkah kakiku kupercepat agar segera sampai di parkiran motor. Namun langkahku segera kupelankan ketika seseorang berdiri di lorong parkiran motor. Kulihat sepatu kanvas butut hitam yang penuh debu, lalu jeans biru dengan sobekan yang disengaja di lututnya. Senyuman itu, senyuman yang bahkan lebih manis dari biasanya. Secara ajaib dia berada di depanku, aku dan dia hanya berjarak tak lebih dari 3 meter.
Hampir saja aku termakan candunya dengan membalas dengan senyumanku. Tetapi aku segera sadar dan mengingat kembali apa yang akan hadapi. Kedamaian dan ketakutan itu bercampur menjadi satu.
Kami saling bertatapan dan waktu menjadi beku untuk sesaat. Dia melihat raut mukaku yang kosong, seketika senyumannya pun sirna menjadi kekosongan. Lengang dan dingin, semuanya berubah seketika. Tak ada sepatah kata pun yang terucap seolah mulut-mulut kami membeku.
Kami masih saling pandang. Dia mencoba menelisik dengan tatapan penuh tanya dan curiga. Tatapan yang menyiksa, tetapi menjelaskan kepadanya akan lebih menyiksaku. Kuberikan majalah yang aku bawa dari kantin kepadanya.
Aku melanjutkan langkahku. Satu, dua, tiga langkah dan aku melaluinya seolah melewati orang yang tak pernah aku kenal sebelumnya. Aku meninggalkannya sekarang, bukan pergi karena tak akan ada jalan untuk pulang kembali.
***
Kini aku tanpa sebuah dunia dimana aku menemukan kedamaian dan ketakutan. Diriku berada di sebuah sisi lain kehidupan dimana aku menjadi anak dari orang tuaku, seorang teman bagi teman-temanku dan makhluk ciptaan-Nya. Orang berkata setiap insan berhak untuk memilih atas penghidupannya. Bagiku sendiri, pilihanku adalah jalan yang sudah digariskan.
Garis lurus yang membelah garis-garis kusut yang melintangi kehidupan. Dalam kitab yang aku baca ada dua hal yang perlu harus kupegang teguh, menjauhi larangan dan mentaati perintah-Nya. Garis bersimpul atau belok adalah larangan-Nya.
Dia yang pernah memberikan kedamaian yang tak bisa kudefinisikan, berada dalam garis bersimpul itu. Sebuah sisi dunia dimana seharusnya aku tidak berada disana sama sekali.

Friday, 7 February 2014

Cinta Untuk Agnostik



“Some people deserve for love, some people don’t!”

Mengutip sebuah kata-kata kritis yang pernah kubaca, “Buddha tidak memeluk agama Budha. Yesus tidak memeluk agama Katholik. Agama yang mereka peluk adalah cinta.” Bisa dikatakan cinta adalah awal dari segalanya, contohnya adalah agama. Aku kira semua agama basisnya adalah cinta, walau cinta sendiri tidak sesempit hubungan sejoli saja. 

Seperti agama yang percaya akan Tuhan (cinta), ada yang berpegang teguh dan ada orang yang tidak memeluknya sama sekali.  Ada monotheism, polytheism, atheism bahkan agnotheism. Berbicara mengenai cinta sejoli aku adalah seorang agnostik. Mungkin cinta itu ada, tetapi aku tidak memeluknya, bahkan tidak peduli lagi.

“People don’t change one day, they just reveal real them.”

                Kehidupanlah yang membuka tabir akan cinta. Kita tidak pernah tahu kapan datangnya cinta itu. Hanya kehidupanlah yang akan mempertemukan kita dengannya. Berkata percaya, tidak percaya atau tidak peduli lagi bukan berarti orang itu berubah. Keehidupanlah yang menunjukkan mereka untuk percaya atau sebaliknya.

                Aku bertemu dengan cinta ketika aku sudah bersama dengan orang lain. Bukan berarti aku tidak mencintai partner pertamaku. Tetapi aku bertemu dengan cinta sesungguhnya darinya yang datang setelah aku bersama dengan orang lain. 

                Cukuplah cinta untuk cinta. Itulah yang bisa kugambarkan mengenai perasaan yang aku alami waktu itu. Tidak ada pretensi atau ekspektasi walau banyak drama yang kami lakukan. Tetapi drama itu sendiri malah membuka pandanganku lebih luas akan cinta. Sampai akhirnya dia harus pindah ke luar kota dan kami pun semakin jauh. 

                Aku mencoba untuk melupakannya. Banyak cara, tinggal bersama dengan partnerku selama kurang lebih 4 tahun. Menjalin hubungan lainnya, terhitung sudah dua orang yang pernah dekat denganku. Hal yang sia-sia belaka. Pada akhirnya aku jatuh kembali ke dalam pelukannya melalui tulisan, ingatan atau mimpi. Bersama dengan yang lain hanya semakin membuatku berangan-angan seandainya aku bisa bersamanya. Seperti itu, seindah itu.

                Tidak ada yang seperti cintanya…

                Maka sebut saja aku pecundang, bodoh, dungu, pembohong atau pelacur sekalipun. Itulah wajah yang selama ini aku tutupi dengan topengku. 

                Greet me, bless me, the agnostic!

                Seks?

                Ada yang berkata bahwa seks harus diawali dengan cinta. Ada pula yang berkata biarlah seks itu mengalir ketika cinta lahir. Cinta dan seks adalah kesatuan. 

Bagiku sebagai seorang agnostik, aku memandangnya secara berbeda. Kehidupan  menuntunku berjalan ke arah yang berbeda. Seks adalah seks, upaya pemenuhan kebutuhan biologis. Sedangkan cinta adalah sesuatu yang aku yakini ada, tetapi aku tidak peduli akannya. Tak mau memeluknya, karena dia telah hilang walau bukan berarti tidak ada. 

Aku adalah orang yang hilang yang mereka sebut sebagai jalang.

Mungkin memang seperti itu. Membarakan sisi-sisi kebinatangan, dan meredam sisi kemanusiaan.

Untuk mereka yang datang ke kehidupanku akhir-akhir ini. Tentu seharusnya mereka tahu bagaimana aku memandang mereka. Dan seharusnya mereka pun membuka mata, melihatku bukan sebagai topeng, tetapi sebagai aku, agnostik (jalang).