Thursday, 13 September 2012

Sophee



Terik matahari cukup menyengat pagi itu, aku duduk di bawah pohon menunggu kelas selanjutnya yang akan dimulai pukul 11 siang. Duduk di bawah pohon depan Ruang Antropologi menjadi kegemaranku akhir-akhir ini. Aku bisa banyak berpikir banyak disini, sangat tenang sekali.

Beberapa semester telah untuk kuliah di jurusan Sastra Indonesia di UGM. Banyak hal baru yang aku jumpai disini. Hal-hal yang tidak aku temukan di kota asalku, Lampung.

Terpaan semilir angin begitu sejuk, menghempaskanku pada angan-angan lalu. Walau aku senang berada di Yogyakarta, aku cukup rindu dengan tanah kelahiranku. Banyak kenangan tertinggal disana. Masa yang menyemai pencarian jati diri sejati. Masa dimana aku menemukankan diriku sebagai seorang Sofi.

Titik Awal; Bandar Lampung
Namaku adalah Sofi, begitulah temanku memanggilku. Orang tuaku memberi nama Sophia Agatha Sophee.  Aku lahir pada tahun 1989 di Kota Bandar Lampung, provinsi paling ujung di Pulau Sumatra. Bapak Ibuku adalah perantau dari Jawa. Sudah 7 tahun mereka mencari penghidupan di kota ini. Aku adalah anak kedua dari 2 bersaudara. Kakak laki-lakiku terpaut 3 tahun dariku.

Dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas aku habiskan di kota kelahiran ini. Layaknya perempuan pada umumnya aku tumbuh bahagia bersama keluarga, sederhana dan harmonis. Aku memiliki banyak teman, bahkan beberapa diantaranya sangat dekat denganku.

Masa SMA adalah masa yang tidak terlupakan, banyak kenangan dan tanya tersisa disana. Bisa dikatakan masa ini adalah masa yang mengubah hidupku. 

Di SMA aku aktif di kegiatan Palang Merah Remaja (PMR). Kegiatan rutin PMR adalah mengurus UKS sekolah  atau menjaga kegiatan ekstrakurikuler lain di sekolah. Kegiatan menjaga inilah yang mempertemukanku dengan sahabatku. Sahabat yang mengantarkanku pada jati diriku yang sesungguhnya.

Bulan April menjadi bulan yang indah dan melelahkan. Menjelang peringatan HUT RI diadakan pemilihan Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera) daerah. Pleton Inti (Tonti), salah satu ekstrakurikuler baris berbaris di SMA ku mengadakan seleksi untuk menjadi Paskibraka Daerah. Semua anggota tonti mengikuti seleksi tersebut. Seleksi itu diadakan dalam jangka waktu yang cukup lama, yaitu 2 bulan. 

Seleksi dan latihan tonti diadakan sangat intes, 3 kali selama seminggu setelah kelas usai. Anggota PMR sekolah membantu mengawal mereka latihan karena dari pengalaman sebelumnya banyak peserta seleksi yang jatuh sakit. Jadwal menjaga sudah dibagi, aku mendapat jadwal jaga hari Rabu.   

Mengawal kegiatan kadang membosankan karena aku hanya bisa melihat-lihat saja. Hari itu aku dan seorang temanku menjaga tonti perempuan yang sedang latihan di lapangan basket. Mereka mulai latihan pukul 2 siang, panas matahari sangat terik menyengat ubin lapangan yang berkilau tajam. Sudah lebih dari 1 jam mereka latihan, namun terik matahari seolah tak pernah padam. 

Aku dan temanku telah kehabisan materi perbincangan. “Bosan” desahku sambil mengipas-ipas peluh yang melekat dileherku. Aku sempat melamun sejenak ketika tiba-tiba temanku menepuk bahuku sangat keras “Sof, ada yang pingsan” teriaknya sigap.

Kami berdua lari menjemput korban. Segera kami membawa dia ketempat yang teduh. Aku mengendorkan baju yang mengikat dan memberikan rangsangan bau-bauan. Kami bawa dia ke UKS dan menidurkannya di ranjang. 

Temanku pergi kembali berjaga di lapangan basket, sedangkan aku menunggu dia di ruang UKS. “Kok kalo dilihat-liat dia cukup ganteng ya”. 

Aku terkaget, ketika dia beranjak sadar. Pelan-pelan dia membuka mata. Dia tak berkata apapun, hanya membuka mata, menatap kosong langit-langit.

“Mbak, mbak gimana keadaannya? Pusing?” tanyaku. Dia diam saja, seolah belum sadar betul. Aku mengambil segelas air putih, berjaga kalo dia mau minum.

“Mbak haus? Mau minum?” tanyaku lirih sambil memegang pundaknya.
“Maaf ya mbak, merepotkan” jawabnya malu
“Santai aja mbak” Aku tersenyum, kuberikan dia segelas air putih. Dia beranjak dan duduk di ranjang.
“Gimana, udah baikan?”
“Lumayan sih mbak, tadi pusing aja, eh tiba-tiba lemes gitu”
“Kayaknya mbak kecepapekan deh, oiya namaku Sofi, salam kenal”
“Namaku Kiki, aku anak XI IPA 6”

Obrolan kami berlangsung seru, sangat senang berkenalan dengannya. Namun akhirnya kami harus berpisah. Latihan tonti sudah selesai, dia bergegas kembali kedalam barisan untuk evaluasi sedangkan aku membersihkan UKS lalu pulang kerumah.
***
Keesokan harinya, aku segera bergegas pulang setelah kelas usai pukul 1.30 siang karena tak ada kegiatan sore harinya. Aku duduk di warung depan sekolah menunggu angkot yang biasa aku tumpangi. 

“Sofi..!” Kiki memanggil dari seberang jalan, menaiki sepeda motornya.
“Hai..Kiki” aku beranjak menghampirinya
“Kamu mau pulang?” Tanya Kiki
“Iya, lagi nunggu angkot nih”
“Rumahmu dimana sih?”
“Rumahku di jalan Banteng, deket terminal”
“Yaudah, naik” ajaknya
“Naik kemana?” tanyaku heran
“Aku antar kamu pulang, ayo naik!” 
“Aku kan ga bawa helm, nanti ada polisi”
“Alah santai aja, aku dah biasa” jawabnya santai

Tanpa ragu aku naik ke motornya, ia melejitkan motornya hingga membuatku terkejut. Aku pegang erat-erat tubuhnya. Ia hanya cekikikan melihatku kaget. Ditengah perjalanan kami ngobrol-ngobrol sedikit. Tanya dan jawab orang-orang yang baru berkenalan.

Saking asiknya tak terasa aku sudah tiba di depan rumahku. Rumah sederhana berwarna putih dan abu-abu, ada pohon mangga yang cukup besar di depannya. 

“Terima kasih ya tumpangannya, sering-sering ya” kataku dengan nada bercanda
“Hehehe..iya, nanti sering-sering main kesini kok” balasnya
“Oiya, aku bisa minta no hp mu ga, Sof” Kiki mengembil HP dari sakunya
“oh boleh, 081 392 396 054, sms ntar ya”
“Okey dokey, aku langsung ya”
“hati-hati ya, Ki”
“Itu mah pasti, Sof”

Ia melejit, hilang menjauh dari rumahku. Sejak saat itu kami sering menghabiskan waktu bersama. Kadang ia menjemputku berangkat dan pulang sekolah. Ketika di sekolah, kami sering menghabiskan waktu bersama di depan masjid sekolah. Disana ada pohon sawo kecik yang cukup besar. Tempat itu manjadi tempat faforit kami bertukar cerita dan cita.

Hari itu usai pulang sekolah aku duduk di bawah pohon menunggu Kiki. Aku melihatnya datang dari kejauhan. Ia terlihat lesu, membuang muka ketika berjalan. Ada sesuatu yang membebani pikirannya. Ia menjatuhkan dirinya disebelahku sambil menghela nafas.

“Ada apa Ki?”
“Hmm….aku gagal jadi Paskib, Sof” jawabnya lesu.
“Kapan pengumumannya?”
“Tadi aku baca pengumuman di depan BK” katanya.
“Kau sudah berusaha yang terbaik, Ki.” Aku menyemangatinya, tetapi dia diam saja. Aku tak sepandai untuk urusan memotivasi.

Perbincangan menjadi hening tiba-tiba. Aku seolah kehilangan segala materi yang ingin aku ceritakan. Namun tiba-tiba keheningan terpecah dengan pertanyaannya yang ganjil.

“Kamu sudah punya pacar, Sof? Kau tak pernah bercerita.”
“Maksudnya?” jawabku kaget
“Kau sudah punya pacar?” Tanyanya mengulang
“Belum…..ga pernah terpikir”
“Hahahaha….kau sibuk PMR mulu sih” tawanya lepas. Seolah ia lupa dengan kegagalannya menjadi anggota Paskibraka.
Aku hanya diam tersipu malu, mukaku merah padam tak jelas.
“Ah..tak usah dipikir sih, tak ada gunanya memikirkan cowok saat ini” ia memutus tanya
“Apalagi cowok pada resek-resek semua, kalo ga bajiangan ya homo” Ia tertawa lepas. Aku pun ikut tertawa walau tak begitu paham maksudnya.

Obrolan-obrolan ringan seperti ini membuat kami lupa akan waktu. Kadang kecewa ketika adzan maghrib tiba-tiba menyela, memperingatkan waktu pulang kerumah. Ada kenyamanan dan keterbukaan ketika berbicara dengan Kiki. Dia seperti buku diaryku, tempatku mencurahkan kisah hatiku.
***

Masa SMA berjalan dengan cepat, ujian nasional telah aku lalui dengan sangat baik. Aku menjadi salah satu lulusan siswa terbaik. Saat ini aku sedang menunggu pengumuman ujian perguruan tinggi, aku memilih UGM, Yogyakarta sebagai tujuan pendidikan lanjut.

Semua bersuka ria dengan kelulusan masing-masing. Rencananya teman-teman akan mengadakan prom nite sebagai puncak kegembiraan kelulusan kami. Semua bersuka cita dan antusias menyambut pesta itu, apalagi bagi sepasang kekasih.

Bagiku pesta tetaplah pesta, aku turut merayakan, pesta adalah perayaan. Pesta dimulai malam hari pukul 7 malam. Kiki menjemputku dari rumah, aku memakai gaun warna ungu terang dengan tas pinggang kecil warna putih. Sedangkan Kiki tampak kasual dengan kemeja hitam dan celana jeans. Kiki memang kurang begitu peduli dengan dandanannya.

Prom nite diisi oleh musik, drama dan berbagai permainan. Acaranya berlangsung cukup meriah karena partisipasi teman-teman yang sangat heboh. Acara diakhiri dengan menonton video tahunan. Saking asiknya aku lupa bahwa Kiki sudah tak ada disampingku. 

“Eh kalian lihat Kiki ga?” tanyaku pada teman sebelahku
“Lha bukannya tadi disini sama lu?” jawabnya heran
“Aku juga ga tahu, perasaan tadi duduk disini”.
 Aku pergi mencarinya dalam kerumunan namun tak ada. Aku berjalan menuju lapangan basket di belakang sekolah. Di dalam gelapnya malam, aku melihat seorang duduk sendiri di bawah pohon depan masjid, tempat favoritku. Aku mendekat dan ternyata Kiki sedang duduk sendiri disana.
“Kok sendirian, Ki?” tanyaku pelan
“Hehehe..iya nih, males”
“Lagi mikirin apa? ada masalah?
“Enggak kok, eh…rencanamu setelah lulus mau apa?” 
“Aku mau kuliah di Jogja, mau belajar sastra Indonesia disana” jawabku mantap.
“Oh..jadi ga bakalan disini lagi ya?” ia memalingkan mukanya
“Kalo rencanamu?”
“Aku sih disini aja, aku mau daftar polisi aja”
“Semangat ya, kamu pasti bisa!” aku tersenyum

Namun dia hanya diam saja. Dalam temaram aku melihat matanya berbinar terkena sinar rembulan. Aku cukup heran.
Tiba-tiba Kiki memelukku, menggenggam erat tubuhku. Aku terkaget, bibirku terasa basah. Bibirnya bertemu dengan bibirku. Rasanya sangat aneh. Kiki segera melepas pelukannya.

“I will miss you” ia beranjak dari tempat duduknya dan lari entah kemana.

Aku hanya bisa terdiam, tak tahu harus berkata apa. Rasanya sangat aneh sekali. Ada hal aneh yang membuat detak jantungku berdebar hebat.

 Setelah kejadian malam itu aku tak pernah melihat Kiki lagi. Aku sibuk dengan persiapanku pergi ke Jogja untuk melanjutkan kuliah. Ketika aku ke sekolah mengambil dokumen-dokumen bersama teman-teman, ia juga tak muncul.

Kepergiannya yang tiba-tiba dan tanpa kabar, memberanikan diriku untuk berkunjung ke rumahnya. Aku sempat ragu dengan rencana ini. Tetapi aku tak punya pilihan, aku tak sanggup untuk bertanya-tanya terus menerus.

Aku ketuk pintu rumahnya. Ayah Kiki muncul dari balik pintu. Badannya atletis tinggi rata-rata.
“Sore, ada perlu apa?” tanyanya ramah
“Kiki ada om?”
“Kiki dah ga disini lagi dek, dia pindah ke Bandung mau masuk militer disana. Ada apa ya?”
“Oh..engga apa-apa sih om, cuma mau main saja” jawabku kecewa
Aku pamit tanpa banyak bertanya lagi. Kepindahan Kiki ke Bandung benar-benar membuatku kehilangan. Aku tak yakin apakah aku akan bertemu dengannya lagi.
***

Beberapa hari setelah aku mengetahui kepergian Kiki ke Bandung. Hidupku terasa hampa. Ia selalu membayangi pikiranku, terasa dekat tetapi tak nyata. Aku bertanya kepada diriku sendiri, rasa apakah ini sebenarnya. Air mataku meleleh ketika mengingatnya, mengenang yang lalu. Aku rasa aku telah kehilangan belahan jiwaku.

Tak ada lagi teman untuk bersanding ketika aku sedih. Tak ada api penyulut semangat ketika aku sedang payah. 

Kulihat laptopku menyala menyanyikan lagu-lagu melankoli. Aku bangun dari tempat tidurku dan duduk di meja belajar. Menatap laptopku yang seolah ingin member jawab atas tanda tanya yang ada. Kubuka browser dan mulai menjelajah. Mencari dunia yang belum pernah aku jamah sebelumnya.

-----------------------------------------bersambung------------------------------------------------------

No comments:

Post a Comment