Terik matahari
cukup menyengat pagi itu, aku duduk di bawah pohon menunggu kelas selanjutnya
yang akan dimulai pukul 11 siang. Duduk di bawah pohon depan Ruang Antropologi
menjadi kegemaranku akhir-akhir ini. Aku bisa banyak berpikir banyak disini,
sangat tenang sekali.
Beberapa
semester telah untuk kuliah di jurusan Sastra Indonesia di UGM. Banyak hal baru
yang aku jumpai disini. Hal-hal yang tidak aku temukan di kota asalku, Lampung.
Terpaan semilir
angin begitu sejuk, menghempaskanku pada angan-angan lalu. Walau aku senang
berada di Yogyakarta, aku cukup rindu dengan tanah kelahiranku. Banyak kenangan
tertinggal disana. Masa yang menyemai pencarian jati diri sejati. Masa dimana
aku menemukankan diriku sebagai seorang Sofi.
Titik Awal; Bandar Lampung
Namaku adalah
Sofi, begitulah temanku memanggilku. Orang tuaku memberi nama Sophia Agatha
Sophee. Aku lahir pada tahun 1989 di
Kota Bandar Lampung, provinsi paling ujung di Pulau Sumatra. Bapak Ibuku adalah
perantau dari Jawa. Sudah 7 tahun mereka mencari penghidupan di kota ini. Aku
adalah anak kedua dari 2 bersaudara. Kakak laki-lakiku terpaut 3 tahun dariku.
Dari taman
kanak-kanak hingga sekolah menengah atas aku habiskan di kota kelahiran ini.
Layaknya perempuan pada umumnya aku tumbuh bahagia bersama keluarga, sederhana
dan harmonis. Aku memiliki banyak teman, bahkan beberapa diantaranya sangat
dekat denganku.
Masa SMA adalah
masa yang tidak terlupakan, banyak kenangan dan tanya tersisa disana. Bisa
dikatakan masa ini adalah masa yang mengubah hidupku.
Di SMA aku aktif
di kegiatan Palang Merah Remaja (PMR). Kegiatan rutin PMR adalah mengurus UKS
sekolah atau menjaga kegiatan
ekstrakurikuler lain di sekolah. Kegiatan menjaga inilah yang mempertemukanku
dengan sahabatku. Sahabat yang mengantarkanku pada jati diriku yang
sesungguhnya.
Bulan April
menjadi bulan yang indah dan melelahkan. Menjelang peringatan HUT RI diadakan
pemilihan Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera) daerah. Pleton Inti (Tonti),
salah satu ekstrakurikuler baris berbaris di SMA ku mengadakan seleksi untuk
menjadi Paskibraka Daerah. Semua anggota tonti mengikuti seleksi tersebut.
Seleksi itu diadakan dalam jangka waktu yang cukup lama, yaitu 2 bulan.
Seleksi dan
latihan tonti diadakan sangat intes, 3 kali selama seminggu setelah kelas usai.
Anggota PMR sekolah membantu mengawal mereka latihan karena dari pengalaman
sebelumnya banyak peserta seleksi yang jatuh sakit. Jadwal menjaga sudah
dibagi, aku mendapat jadwal jaga hari Rabu.
Mengawal
kegiatan kadang membosankan karena aku hanya bisa melihat-lihat saja. Hari itu
aku dan seorang temanku menjaga tonti perempuan yang sedang latihan di lapangan
basket. Mereka mulai latihan pukul 2 siang, panas matahari sangat terik
menyengat ubin lapangan yang berkilau tajam. Sudah lebih dari 1 jam mereka latihan,
namun terik matahari seolah tak pernah padam.
Aku dan temanku telah
kehabisan materi perbincangan. “Bosan” desahku sambil mengipas-ipas peluh yang
melekat dileherku. Aku sempat melamun sejenak ketika tiba-tiba temanku menepuk bahuku
sangat keras “Sof, ada yang pingsan” teriaknya sigap.
Kami berdua lari
menjemput korban. Segera kami membawa dia ketempat yang teduh. Aku mengendorkan
baju yang mengikat dan memberikan rangsangan bau-bauan. Kami bawa dia ke UKS
dan menidurkannya di ranjang.
Temanku pergi
kembali berjaga di lapangan basket, sedangkan aku menunggu dia di ruang UKS.
“Kok kalo dilihat-liat dia cukup ganteng ya”.
Aku terkaget,
ketika dia beranjak sadar. Pelan-pelan dia membuka mata. Dia tak berkata
apapun, hanya membuka mata, menatap kosong langit-langit.
“Mbak, mbak
gimana keadaannya? Pusing?” tanyaku. Dia diam saja, seolah belum sadar betul.
Aku mengambil segelas air putih, berjaga kalo dia mau minum.
“Mbak haus? Mau
minum?” tanyaku lirih sambil memegang pundaknya.
“Maaf ya mbak,
merepotkan” jawabnya malu
“Santai aja
mbak” Aku tersenyum, kuberikan dia segelas air putih. Dia beranjak dan duduk di
ranjang.
“Gimana, udah
baikan?”
“Lumayan sih
mbak, tadi pusing aja, eh tiba-tiba lemes gitu”
“Kayaknya mbak
kecepapekan deh, oiya namaku Sofi, salam kenal”
“Namaku Kiki,
aku anak XI IPA 6”
Obrolan kami berlangsung
seru, sangat senang berkenalan dengannya. Namun akhirnya kami harus berpisah.
Latihan tonti sudah selesai, dia bergegas kembali kedalam barisan untuk
evaluasi sedangkan aku membersihkan UKS lalu pulang kerumah.
***
Keesokan harinya,
aku segera bergegas pulang setelah kelas usai pukul 1.30 siang karena tak ada
kegiatan sore harinya. Aku duduk di warung depan sekolah menunggu angkot yang
biasa aku tumpangi.
“Sofi..!” Kiki
memanggil dari seberang jalan, menaiki sepeda motornya.
“Hai..Kiki” aku
beranjak menghampirinya
“Kamu mau
pulang?” Tanya Kiki
“Iya, lagi
nunggu angkot nih”
“Rumahmu dimana
sih?”
“Rumahku di
jalan Banteng, deket terminal”
“Yaudah, naik”
ajaknya
“Naik kemana?”
tanyaku heran
“Aku antar kamu
pulang, ayo naik!”
“Aku kan ga bawa
helm, nanti ada polisi”
“Alah santai
aja, aku dah biasa” jawabnya santai
Tanpa ragu aku
naik ke motornya, ia melejitkan motornya hingga membuatku terkejut. Aku pegang
erat-erat tubuhnya. Ia hanya cekikikan melihatku kaget. Ditengah perjalanan
kami ngobrol-ngobrol sedikit. Tanya dan jawab orang-orang yang baru berkenalan.
Saking asiknya tak
terasa aku sudah tiba di depan rumahku. Rumah sederhana berwarna putih dan
abu-abu, ada pohon mangga yang cukup besar di depannya.
“Terima kasih ya
tumpangannya, sering-sering ya” kataku dengan nada bercanda
“Hehehe..iya, nanti
sering-sering main kesini kok” balasnya
“Oiya, aku bisa
minta no hp mu ga, Sof” Kiki mengembil HP dari sakunya
“oh boleh, 081
392 396 054, sms ntar ya”
“Okey dokey, aku
langsung ya”
“hati-hati ya,
Ki”
“Itu mah pasti,
Sof”
Ia melejit,
hilang menjauh dari rumahku. Sejak saat itu kami sering menghabiskan waktu
bersama. Kadang ia menjemputku berangkat dan pulang sekolah. Ketika di sekolah,
kami sering menghabiskan waktu bersama di depan masjid sekolah. Disana ada
pohon sawo kecik yang cukup besar. Tempat itu manjadi tempat faforit kami
bertukar cerita dan cita.
Hari itu usai
pulang sekolah aku duduk di bawah pohon menunggu Kiki. Aku melihatnya datang
dari kejauhan. Ia terlihat lesu, membuang muka ketika berjalan. Ada sesuatu
yang membebani pikirannya. Ia menjatuhkan dirinya disebelahku sambil menghela
nafas.
“Ada apa Ki?”
“Hmm….aku gagal
jadi Paskib, Sof” jawabnya lesu.
“Kapan
pengumumannya?”
“Tadi aku baca
pengumuman di depan BK” katanya.
“Kau sudah
berusaha yang terbaik, Ki.” Aku menyemangatinya, tetapi dia diam saja. Aku tak
sepandai untuk urusan memotivasi.
Perbincangan
menjadi hening tiba-tiba. Aku seolah kehilangan segala materi yang ingin aku ceritakan.
Namun tiba-tiba keheningan terpecah dengan pertanyaannya yang ganjil.
“Kamu sudah
punya pacar, Sof? Kau tak pernah bercerita.”
“Maksudnya?”
jawabku kaget
“Kau sudah punya
pacar?” Tanyanya mengulang
“Belum…..ga
pernah terpikir”
“Hahahaha….kau
sibuk PMR mulu sih” tawanya lepas. Seolah ia lupa dengan kegagalannya menjadi
anggota Paskibraka.
Aku hanya diam
tersipu malu, mukaku merah padam tak jelas.
“Ah..tak usah
dipikir sih, tak ada gunanya memikirkan cowok saat ini” ia memutus tanya
“Apalagi cowok
pada resek-resek semua, kalo ga bajiangan ya homo” Ia tertawa lepas. Aku pun
ikut tertawa walau tak begitu paham maksudnya.
Obrolan-obrolan ringan
seperti ini membuat kami lupa akan waktu. Kadang kecewa ketika adzan maghrib
tiba-tiba menyela, memperingatkan waktu pulang kerumah. Ada kenyamanan dan
keterbukaan ketika berbicara dengan Kiki. Dia seperti buku diaryku, tempatku
mencurahkan kisah hatiku.
***
Masa SMA
berjalan dengan cepat, ujian nasional telah aku lalui dengan sangat baik. Aku
menjadi salah satu lulusan siswa terbaik. Saat ini aku sedang menunggu
pengumuman ujian perguruan tinggi, aku memilih UGM, Yogyakarta sebagai tujuan
pendidikan lanjut.
Semua bersuka
ria dengan kelulusan masing-masing. Rencananya teman-teman akan mengadakan prom
nite sebagai puncak kegembiraan kelulusan kami. Semua bersuka cita dan antusias
menyambut pesta itu, apalagi bagi sepasang kekasih.
Bagiku pesta
tetaplah pesta, aku turut merayakan, pesta adalah perayaan. Pesta dimulai malam
hari pukul 7 malam. Kiki menjemputku dari rumah, aku memakai gaun warna ungu
terang dengan tas pinggang kecil warna putih. Sedangkan Kiki tampak kasual
dengan kemeja hitam dan celana jeans. Kiki memang kurang begitu peduli dengan
dandanannya.
Prom nite diisi
oleh musik, drama dan berbagai permainan. Acaranya berlangsung cukup meriah
karena partisipasi teman-teman yang sangat heboh. Acara diakhiri dengan
menonton video tahunan. Saking asiknya aku lupa bahwa Kiki sudah tak ada
disampingku.
“Eh kalian lihat
Kiki ga?” tanyaku pada teman sebelahku
“Lha bukannya
tadi disini sama lu?” jawabnya heran
“Aku juga ga tahu,
perasaan tadi duduk disini”.
Aku pergi mencarinya dalam kerumunan namun tak
ada. Aku berjalan menuju lapangan basket di belakang sekolah. Di dalam gelapnya
malam, aku melihat seorang duduk sendiri di bawah pohon depan masjid, tempat
favoritku. Aku mendekat dan ternyata Kiki sedang duduk sendiri disana.
“Kok sendirian,
Ki?” tanyaku pelan
“Hehehe..iya
nih, males”
“Lagi mikirin
apa? ada masalah?
“Enggak kok, eh…rencanamu
setelah lulus mau apa?”
“Aku mau kuliah
di Jogja, mau belajar sastra Indonesia disana” jawabku mantap.
“Oh..jadi ga
bakalan disini lagi ya?” ia memalingkan mukanya
“Kalo
rencanamu?”
“Aku sih disini
aja, aku mau daftar polisi aja”
“Semangat ya,
kamu pasti bisa!” aku tersenyum
Namun dia hanya
diam saja. Dalam temaram aku melihat matanya berbinar terkena sinar rembulan.
Aku cukup heran.
Tiba-tiba Kiki
memelukku, menggenggam erat tubuhku. Aku terkaget, bibirku terasa basah.
Bibirnya bertemu dengan bibirku. Rasanya sangat aneh. Kiki segera melepas
pelukannya.
“I will miss
you” ia beranjak dari tempat duduknya dan lari entah kemana.
Aku hanya bisa
terdiam, tak tahu harus berkata apa. Rasanya sangat aneh sekali. Ada hal aneh
yang membuat detak jantungku berdebar hebat.
Setelah kejadian malam itu aku tak pernah
melihat Kiki lagi. Aku sibuk dengan persiapanku pergi ke Jogja untuk
melanjutkan kuliah. Ketika aku ke sekolah mengambil dokumen-dokumen bersama
teman-teman, ia juga tak muncul.
Kepergiannya
yang tiba-tiba dan tanpa kabar, memberanikan diriku untuk berkunjung ke
rumahnya. Aku sempat ragu dengan rencana ini. Tetapi aku tak punya pilihan, aku
tak sanggup untuk bertanya-tanya terus menerus.
Aku ketuk pintu
rumahnya. Ayah Kiki muncul dari balik pintu. Badannya atletis tinggi rata-rata.
“Sore, ada perlu
apa?” tanyanya ramah
“Kiki ada om?”
“Kiki dah ga
disini lagi dek, dia pindah ke Bandung mau masuk militer disana. Ada apa ya?”
“Oh..engga
apa-apa sih om, cuma mau main saja” jawabku kecewa
Aku pamit tanpa
banyak bertanya lagi. Kepindahan Kiki ke Bandung benar-benar membuatku
kehilangan. Aku tak yakin apakah aku akan bertemu dengannya lagi.
***
Beberapa hari
setelah aku mengetahui kepergian Kiki ke Bandung. Hidupku terasa hampa. Ia
selalu membayangi pikiranku, terasa dekat tetapi tak nyata. Aku bertanya kepada
diriku sendiri, rasa apakah ini sebenarnya. Air mataku meleleh ketika
mengingatnya, mengenang yang lalu. Aku rasa aku telah kehilangan belahan
jiwaku.
Tak ada lagi
teman untuk bersanding ketika aku sedih. Tak ada api penyulut semangat ketika
aku sedang payah.
Kulihat laptopku
menyala menyanyikan lagu-lagu melankoli. Aku bangun dari tempat tidurku dan
duduk di meja belajar. Menatap laptopku yang seolah ingin member jawab atas
tanda tanya yang ada. Kubuka browser dan mulai menjelajah. Mencari dunia yang
belum pernah aku jamah sebelumnya.
-----------------------------------------bersambung------------------------------------------------------
No comments:
Post a Comment