Monday, 30 July 2012

Kepergianku


Kita tak menanam apa-apa, kita tak akan kehilangan apa-apa. Detik jarum jam berdentang beriringan dengan denyut jantungku yang terbakar amarah. Rumah biru dan putih begitu hening siang ini setelah pertengkaran besar yang terjadi. Pembantuku buru-buru pulang dengan kekhawatiran membuncah diwajahnya karena ia tak tahu apa yang terjadi. Kawan serumahku juga masih menutup rapat kamarnya rapat-rapat seolah tak mau mengetahui. Aku tak mau peduli lagi dan terus mengemasi barang-barang yang tersisa di kamar atas.

Baru sekitar 2 bulan aku dan patnerku menempati rumah baru ini tetapi hari ini aku harus pergi begitu saja padahal rumah biru dan putih ini adalah cita-cita panjang kami. Memang semua yang dibangun bias saja runtuh tiba-tiba oleh ledakan dan ledakan besar benar-benar terjadi.

Kupandangi foto-foto yang terpajang rapi di rak, senyum lebar aku lihat diwajahku sementara wajahnya datar-datar saja, katanya ia tak bisa tersenyum karena postur wajahnya “inverse smiley”. Melihat foto itu membuatku menyelam ke masa-masa bahagia yang pernah kami lalui bersama. “Biarlah” gumamku lirih dan aku terus mengepaki buku-buku kedalam kardus coklat. Sepertinya aku akan meninggalkan foto-foto itu dirumah ini. 

Tak ada yang akan aku bawa kecuali masa depanku yang terus bergulir. Aku angkat kardus-kardus ke beranda rumah agar lebih cepat pergi dari rumah ini. Segera aku menelpon mobil pick up yang telah aku pesan tadi pagi. Kata si supir tunggu 10 menit, lalu aku duduk di beranda. 

Langit cukup gelap aku khawatir kalo-kalo hujan turun, aku tak mau lebih lama tinggal di tempat ini. Langkah tegas dan kecil ku dengar mengarah ke ruang kerja. Dia duduk di ruang kerja, sambil melihat layar computer seolah tak peduli. 

Jika dirasa waktu menunggu supir adalah waktu terlama yang pernah aku alami sepanjang hidupku walau hanya 10 menit. 

Pick up datang dari timur rumah, segera aku beranjak dari dan membuka gerbang agar mobil bias masuk. Aku dan supir segera mengangkut barang-barangku yang tak banyak itu. 

“Pak nanti tolong dikirim ke alamat ini ya, itu di belakang apartemen merah” pintaku.
“Nanti mas ikut juga ga?”
“Aku nanti nyusul pak, pokoknya diantar aja, sudah ada kawanku disana yang menunggu”
“Oke mas, saya langsung aja” sopir pick up bergegas pergi.

Aku mengeluarkan sepeda motorku dari garasi. Lega rasanya semua telah berakhir, tak ada lagi rahasia yang membuatku risau. Tak ada lagi kebohongan yang bersisa hanya aku si elang yang ingin terbang bebas.

Aku tutup gerbang depan pintu rumah dan aku melihat ia menghampiri kepergianku. Tiba-tiba ia menyalak entah kenapa.

“ You know that I am not make mistake, it is your foolish and you ruin our future, and you know where to apologize”
Aku menyela singkat “I know”

Tak lama aku pandangi wajahnya, dan dia bertolak pergi begitu saja beigtu juga denganku. Aku kira aku harus pergi sekarang sebelum berubah pikiran. Kepergian apa yang lebih indah daripada teguh akan kebenaran.

Aku segera menaiki motor dan melaju pelan, menikmati suasana dan bayang-bayang lama. Seperti elang yang terbebas.  


No comments:

Post a Comment