Kita tak menanam apa-apa, kita
tak akan kehilangan apa-apa. Detik jarum jam berdentang beriringan dengan
denyut jantungku yang terbakar amarah. Rumah biru dan putih begitu hening siang
ini setelah pertengkaran besar yang terjadi. Pembantuku buru-buru pulang dengan
kekhawatiran membuncah diwajahnya karena ia tak tahu apa yang terjadi. Kawan
serumahku juga masih menutup rapat kamarnya rapat-rapat seolah tak mau
mengetahui. Aku tak mau peduli lagi dan terus mengemasi barang-barang yang
tersisa di kamar atas.
Baru sekitar 2 bulan aku dan
patnerku menempati rumah baru ini tetapi hari ini aku harus pergi begitu saja
padahal rumah biru dan putih ini adalah cita-cita panjang kami. Memang semua
yang dibangun bias saja runtuh tiba-tiba oleh ledakan dan ledakan besar benar-benar
terjadi.
Kupandangi foto-foto yang
terpajang rapi di rak, senyum lebar aku lihat diwajahku sementara wajahnya
datar-datar saja, katanya ia tak bisa tersenyum karena postur wajahnya “inverse
smiley”. Melihat foto itu membuatku menyelam ke masa-masa bahagia yang pernah
kami lalui bersama. “Biarlah” gumamku lirih dan aku terus mengepaki buku-buku
kedalam kardus coklat. Sepertinya aku akan meninggalkan foto-foto itu dirumah
ini.
Tak ada yang akan aku bawa
kecuali masa depanku yang terus bergulir. Aku angkat kardus-kardus ke beranda
rumah agar lebih cepat pergi dari rumah ini. Segera aku menelpon mobil pick up
yang telah aku pesan tadi pagi. Kata si supir tunggu 10 menit, lalu aku duduk di
beranda.
Langit cukup gelap aku khawatir
kalo-kalo hujan turun, aku tak mau lebih lama tinggal di tempat ini. Langkah
tegas dan kecil ku dengar mengarah ke ruang kerja. Dia duduk di ruang kerja,
sambil melihat layar computer seolah tak peduli.
Jika dirasa waktu menunggu supir
adalah waktu terlama yang pernah aku alami sepanjang hidupku walau hanya 10
menit.
Pick up datang dari timur rumah,
segera aku beranjak dari dan membuka gerbang agar mobil bias masuk. Aku dan
supir segera mengangkut barang-barangku yang tak banyak itu.
“Pak nanti tolong
dikirim ke alamat ini ya, itu di belakang apartemen merah” pintaku.
“Nanti mas ikut juga ga?”
“Aku nanti nyusul pak, pokoknya
diantar aja, sudah ada kawanku disana yang menunggu”
“Oke mas, saya langsung aja”
sopir pick up bergegas pergi.
Aku mengeluarkan sepeda motorku
dari garasi. Lega rasanya semua telah berakhir, tak ada lagi rahasia yang
membuatku risau. Tak ada lagi kebohongan yang bersisa hanya aku si elang yang
ingin terbang bebas.
Aku tutup gerbang depan pintu
rumah dan aku melihat ia menghampiri kepergianku. Tiba-tiba ia menyalak entah
kenapa.
“ You know that I am not make
mistake, it is your foolish and you ruin our future, and you know where to
apologize”
Aku menyela singkat “I know”
Tak lama aku pandangi wajahnya,
dan dia bertolak pergi begitu saja beigtu juga denganku. Aku kira aku harus
pergi sekarang sebelum berubah pikiran. Kepergian apa yang lebih indah daripada
teguh akan kebenaran.
Aku segera menaiki motor dan
melaju pelan, menikmati suasana dan bayang-bayang lama. Seperti elang yang terbebas.
No comments:
Post a Comment