Dinginnya pagi membangunkan tidurku, bermalam di tepian pantai pada minggu pertama bulan kemarau tahun ini cukup membuatku terkaget akan dinginnya. Langit pagi masih pekat gelap, bersama dinginnya pagi aku mengurungkan niatku untuk menunggu sunrise di puncak bukit. Aku berpikir lebih baik menyeduh kopi terlebih dahulu sebelum menikmati sunrise di pantai tak bernama ini.
Aku menemukan pantai ini secara tidak sengaja. Pantai Sepanjang yang menjadi tujuan awal, aku kesampingkan karena ternyata sudah terlalu ramai. Aku kemudian menyusuri jalan bebatuan kearah barat yang dikelilingi oleh pohon pandan duri. Tiba-tiba aku menemukan bangunan semi jadi. Asal usul, itu adalah rumah seorang bule yang sedang dibangun. Kalau dilihat rumahnya akan besar, berada di atas bukit dengan pemandangan luar biasa. Jika kita berdiri disana, kita akan melihat bentangan lautan biru atau Pantai Kukup bersama hiruk pikuknya dari kejauhan. Hal diluar rencana kadang berbuah indah dan inilah salah satu keajaiban dari seorang petualang.
Seduhan kopi menjadi teman yang menyenangkan untuk menunggu kedatangan pagi. Sembari meneguk kopi, aku siapkan sarapan pagi. Perjalanan berikut segera menanti, tidak ada arah yang jelas, aku hanya ingin ke arah barat ke pantai yang belum pernah aku kunjungi.
Tak jauh dari lokasi camping, ada sebuah sumur payau. Disana aku sempatkan mencicipi kesegaran air sumur payau untuk meluluhkan semua keluh perjalanan kemarin. Saat itu aku bertemu dengan seorang petani sekitar, aku menanyakan beberapa hal mengenai pantai di sepanjang pesisir gunung kidul. Aku tertarik dengan sebuah Pantai bernama Ngobaran. Itulah tujuanku berikutnya.
Tenda segera aku bongkar dan rapikan, motor aku pacu lagi kearah barat. Pantai Ngobaran terletak disebelah barat Pantai baron. Dari Pantai Sepanjang kira-kira membutuhkan waktu satu jam. Jalan yang dilalui cukup menarik, disekitar ada bukit-bukit. Jalan menuju pantai ini masih dalam proses pembangunan, jadi kita harus siap dengan track off road yang cukup menantang. Di jalan menuju Pantai Ngobaran kita akan bertemu beberapa Pura, hal yang unik karena disekitar pesisir ternyata pemeluk Agama Hindu cukup banyak.
Akhirnya aku sampai di Pantai Ngobaran, sebelah barat pantai Ngrenehan. Dari kejauhan aku melihat sebuah pura diatas bukit yang konon sering digunakan untuk semedi orang-orang sakti di Jawa. Pantai Ngobaran seolah mirip dengan pantai-pantai di Bali beserta Puranya. Waktu saya kesana, pantai ini sedikit ramai, jadi saya meneruskan perjalaanan ke pantai dis ebelah barat.
Aku harus melewati jalan menanjang yang terjalpenuh bebatuan untuk mencapai pantai bagian barat. Kesan pertama adalah susah, tetapi ketika aku berada di puncak jalan menanjak. Wow! Pemandangan luar biasa, pantainya putih berish memanjang dengan beberapa rumah dipesisirnya.
Pantai disebelah barat yang bernama Nguyahan ini sangat sepi, taka da pengunjung waktu itu. Seolah ini adalah pantai pribadiku. Disana aku bertemu dengan petani pesisir dan berbicara sedikit mengenai kehidupannya. Bapak itu sangat ramah, sembari minum kelapa pantai yang super besar aku berbicara sedikit mengenai kehidupannya.
Beliau hidup dari ladang yang berada di belakang rumah, sebuah ladang yang sederhana yang ditanami palawija. Beliau memiliki dua putra yang tidak bersekolah, wajar jarak sekolah dengan rumah sangat jauh dan beliau tidak sanggup membiaya biaya sekolah putranya. Jika kita menggunakan indikator ekonomi mereka tergolong keluarga miskin. Rumah petak lima kali 6 meter dengan ubin tanah tanpa listrik cukup membuktikan kemiskinan mereka. Tetapi aku melihat kebahagian dalam kesederhanaan mereka.
Diluar sana banyak orang yang bertarung untuk kesejahteraan mereka, tetapi di pesisir ini satu keluarga hidup bergantung dengan alam namun mereka bahagia, seolah tidak ada keserakahan dihati mereka. Keluarga ini adalah penduduk asli pesisir ini, sudah turun temurun berada di pesisir ini. Walau sadar akan kecanggihan dunia luar sana, namun keluarga ini tidak bergeming dan memilih hidup sederhana di pesisir.
Aku melihat kedua bersaudara ini bermain dengan riang dengan mainan buatan sendiri. Rumah sederhana, keluarga, berkah dari alam, apa yang lebih berharga dari itu semua? Saya kira itu adalah akar dari kebahagiaan.
Obrolan terpaksa aku akhiri, aku ingin mendaki bukit untuk memasuki Pura diatas bukit yang dikatakan cukup sakral itu. Pendakian tidaklah susah karena sudah ada tangga dari semen. Aku sedikit kecewa karena jalan masuk pura ditutup. Pura itu cukup kecil, namun aku percaya cukup sakral dengan aura yang aku rasakan ketika melihat dari pintu masuknya.
Walau sedikit kecewa, namun pemandangan diatas bukit sangatlah indah. Adrenalinku benar-benar memuncak. Deburan suara ombak dan angin yang cukup kenjang memaju jantungku ketika aku berjalan ditepian tebing bukit. Seolah nyawaku ini tak berharga sama sekali jika dibandingkan dengan keingintahuanku untuk melihat pemandangan pantai ini dari atas bukit. Debaran jantung semakin kuat, kali ini bukan ketakutan, tapi aku takjub melihat birunya lautan lepas nan jauh keselatan sana. Berkah alam yang tak bisa dinilai dengan uang. Aku terdiam terpaku, membiarkan waktu berlalu. Kali ini aku sangat menikmati petualanganku menyusuri pantai selatan di Gunung Kidul.
No comments:
Post a Comment