Saturday, 31 March 2012

Ketika Mereka (Mahasiswa) Vandal


          Terik matahari begitu menyengat, sepanas dialektika menanggapi rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Sudah kesekian kali pemerintahan dibawah SBY menaikkan harga BBM dan sudah kesekian kali rakyat berteriak-teriak melawan kebijakan ini. Aksi demonstrasi pun semarak terjadi di berbagai kota, baik aksi yang bersifat damai dan vandal. Mahasiswa sebagai bagian dari pengunjuk rasa pun dianggap sebagai biang kerok terjadinya kerusuhan.
            Dipicu kenaikan harga minyak mentah dunia, pemerintah berencana menaikkan harga BBM untuk menyelamatkan APBN Negara. Sampai saat ini ketika penulis menulis artikel ini DPR masih mengulur-ulur keputusan kenaikan harga BBM. Diluar gedung terhormat, banyak terjadi demonstrasi dari berbagai kalangan.
            Di Yogyakarta sendiri demonstrasi terfokus di beberapa titik kota seperti di pertigaan UIN Yogyakarta, kawasan nol kilometer, Kawan Tugu Yogyakarta dan beberapa kawasan lainnya. Seperti yang dikatakan oleh detik.com seolah-olah Yogyakarta dikepung oleh massa demonstran. Kawasan Malioboro dan halaman DPRD DIY 'dikuasai' massa Forum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) DIY, Gerakan Rakyat Anti Kenaikan BBM dan Gerakan Pemuda Progresif, massa PMII DIY dan GMNI DIY[1].Pertamina Yogyakarta Regional Yogyakarta tidak luput menjadi sasaran para demonstran[2].
            Adanya Pro dan Kontra Kenaikan harga BBM di tubuh masyarakat perbedaan dalam menilai aksi-aksi yang dilakukan oleh mahasiswa. Sering penulis mendengar celoteh tetangga atau dari akun twitter mengenai keluhan mereka atas dampak negatif dari demonstrasi.
            Sebagai contoh aksi demonstrasi tanggal 29 Maret 2012 di pertigaan UIN Yogyakarta membuat Jalan Solo harus ditutup sehingga para pengendara harus memutar arah. Jelas hal itu membuat jengkel para pengendara yang mencoba melintasi jalan tersebut.
            Demonstrasi yang terjadi di kawasan UIN Sunan Kalijaga juga berakhir ricuh atas aksi lempar batu oleh mahasiswa dan water canon oleh polisi[3]. Suatu hal yang disayangkan terjadi mengingat Negara kita adalah Negara demokratis. Mahasiswa yang berusaha menyampaikan maksudnya harus terlebih dahulu dihadang oleh berbagai senjata dan kendaraan militer.
Pandangan Mereka Untuk Mahasiswa
            Petikan kejadian diatas adalah bagian kecil dari perjalanan pergerakan mahasiswa. Tetapi kejadian diatas mengeneralisasi penilaian masyarakat terhadap gerakan mahasiswa. Mahasiswa diidentikkan dengan biang keladi atas kerusuhan yang terjadi. Mahasiswa adalah kelompok anarkhis, vandal, yang tidak bisa berpikir dewasa.
            Penulis mencoba memahami kenapa masyarakat memberikan penilaian tersebut. Niat mahasiswa yang ingin berjuang untuk kehidupan rakyat Indonesia berbuah penilaian buruk karena aksi-aksi yang merugikan masyarakat. Pemblokiran jalan raya, coret-coret tembok, atau perusakan fasilitas publik justru akan memberikan nilai negatif bagi aksi-aksi mahasiswa.
            Hal itu disebabkan mahasiswa kurang begitu memahami dampak yang terjadi atas aksi-aksi mereka. Jika mahasiswa beralasan aksi kadang tidak terkontrol karena situasi yang dinamis di lapangan, menurut saya hal itu hanya dalih saja. Mahasiswa sebagai golongan intelektual seharusnya mampu mengedepankan sisi-sisi intelektualnya, bukan sisi emosi yang justru lebih akan merugikan mereka sendiri.
Tidak Semua Mahasiswa
            Sebagai kawan mahasiswa dan sebagai mahasiswa, saya berpendapat bahwa tidak semua mahasiswa bersikap vandal dalam melakukan aksinya. Generalisasi pandangan masyarakat untuk pergerakan mahasiswa tidak tepat untuk dilakukan. Diantara kesekian gerakan masih ada pergerakan mahasiswa yang mengedepankan sisi intelektualitasnya.
            Bagi saya manusia yang paling idealis adalah mahasiswa. Pemuda-pemuda ini memiliki sosok yang obyektif, tanpa tendensi, dan jujur dalam bertindak. Mereka bisa menempatkan diri dalam semua lapisan masyarakat dan kompleksitas masalah yang ada.
            Kadang saya menyayangkan sikap orang tua saya yang mencegah anak-anaknya untuk mengikuti pergerakan mahasiswa dengan alasan keamanan atau aksi-aksi brutal dan vandal yang sering disorot oleh media.
            Dimanakah mahasiswa memperoleh nilai-nilai kejujuran, prinsip-prinsip hidup, jiwa sosial selain di dlaam tubuh pergerakan mahasiswa atau organisasi mahasiswa? Saya kira ruang-ruang kelas belum cukup untuk menanamkan nilai-nilai tersebut.
            Mahasiswa adalah bagian dari rakyat, mereka berjuang untuk rakyat Indonesia. Sebagai golongan intelektual mereka adalah roda perubahan. Tidak pantas kita menyematkan sosok brutal dan vandal pada diri mereka karena masih banyak mahasiswa yang berjuang dengan sisi-sisi moral dan inteltualitasnya.  
              

Saturday, 10 March 2012

Hentikan Pengebirian Terhadap Alam


Pertumbuhan penduduk dan pembangunan memiliki kaitang yang sangat erat. Seperti deret hitung, kenaikan pertumbuhan penduduk juga diikuti dengan semakin pesatnya pembangunan yang dilakukan. Hal itu wajar karena sebagai manusia ia akan melakukan segala sesuatu untuk memnuhi kebutuhan dan berusaha hidup lebih baik. Salah satu caranya dilakukan dengan pembangunan sebagai penyokong kehidupan manusia.

Pertumbuhan dan pembangunan memang tidak bisa dielakkan dalam kehidupan manusia. Namun jika kita menilik pembangunan yang terjadi, khususnya di Pulau Jawa kita akan melihat pengelolaan yang kurang tepat bahkan menjurus ngawur.

Salah satu indikator pengelolaan yang salah dapat kita lihat dari dampak negatif bagi kehidupan manusia. Bencana yang selalu menyapa tiap tahun di Jawa merupakan bukti bahwa manusia telah melakukan kesalahan dalam melakukan pengelolaan alam dalam rangka pembangunan. Kasus terbaru adalah kasus rob, yaitu masuknya air laut ke daratan. Pembangunan yang tidak memperhatikan AMDAL dan analisis kerawanan bencana mengakibatkan kerusakan lingkungan yang akhirnya manusia sendirilah yang menjadi korbannya.

Paradigma pembangunan saat ini sepertinya perlu dikoreksi, trade off antara kerusakan alam dan hasil eksplorasi alam harus ditinjau kembali. Melihat bencana yang terjadi akhir-akhir ini seharusnya manusia sadar bahwa paradigma pembangunan bukan semata-mata melihat pertumbuhan tetapi juga kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Percuma kita membuat tanah-tanah kita menjadi kerajaan-kerajaan megah tetapi di depan pintu, banjir, rob dan longsor mengetuk-ngetuk pintu kita dengan ancaman yang dibawanya.

Hormatilah alam!
Pembangunan yang telah lepas kendali saat ini merupakan suatu kontradiksi dari sifat manusia jawa sesungguhnya. Membuka tabir filsafat jawa yang ditabadikan dalam lagu ilir-ilir, pada bait kedua “Cah angon,cah angon, penekna blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekna kanggo seba mengko sore” yang merupakan simbolisasi dari manusia sebagai Khalifah Fil Ardh, atau pemelihara alam yang dalam kehidupannya harus diimbangi dengan tujuan di dunia dan akhirat. Seharusnya kita berpikir dalam tataran strategik dalam pembangunan yang dilakukan.

Pengebirian terhadap alam oleh hasrat keserakahan manusia harus segera dihentikan selama tanah-tanah masih tertunduk diam dibawah kaki-kaki kita. Pertumbuhan kehidupan yang menstimulus manusia menjadi consumer society harus dihentikan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Gandhi bahwa kebutuhan itu terbatas, tetapi keinginan manusialah yang tidak terbatas. Alam yang diturunkan oleh Tuhan untuk manusia tidak akan cukup jika manusia masih menuhankan hasratnya.

Kehidupan yang baik bukanlah kehidupan yang disesaki oleh produk yang beranekaragam, bukan juga istana-isatana megah yang mencengkeram tanah-tanah kita. Kehidupan idealnya adalah kondisi dimana setiap manusia memiliki kesempatan untuk memaknai kebahagiaan akan kehidupan, bukan keprihatinan akan bencana yang melanda akibat pembangunan yang mengebiri alam.  


Menciptakan Ketahanan Pangan Berkelanjutan


Dunia seakan tidak pernah berhenti berperang, berakhirnya Perang Dunia ke II bukan merupakan simbol berakhirnya umat manusia. Kini manusia dilanda perang yang lebih besar karena musuh mereka adalah pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk menjadi permasalahan ketika sumber daya pangan tidak mampu mencukupi kebutuhan manusia. Genderang perang pun ditabuh, dan kini manusia bersiap-siap untuk mengahadapi masalah tersebut.

  Masalah pangan sebenarnya telah diantisipasi oleh pemerintah melalui berbagai macam kebijakan. Sejarah telah menyebutkan pada awal kemerdekaan Indonesia pemerintahan Soekarno pernah mengeluarkan Progam Kesejahteraan Kasimo untuk mencapai swasembada beras. Pemerintahan Soekarno juga pernah mengeluarkan Progam Sentra padi untuk mencapai swasembada pangan. Namun akibat turbulensi politik dan disertai dengan pemberontakan maka pada masa itu terjadi krisis pangan yang cukup parah.

Setelah Soekarno turun dari kursi kepresidenan dan digantikan oleh Soeharto, Indonesia mengalami masa transisi antara tahun 1965 sampai 1967. Masa transisi tersebut merupakan awal dari cikal bakal dari Bulog. Pada tahun 1966 dibentuk Komando Logistik Nasional (KOLOGNAS), namun pada tahun 1967 KOLOGNAS dibubarkan dan diganti dengan Badan Urusan Logistik (BULOG).

Pada zaman Soeharto kondisi pangan cukup terpuruk akibat beban masalah masa lalu. Melihat hal tersebut maka pemerintahan Soeharto mengeluarkan Repelita (rencana Pembangunan Lima tahun) dengan senjata utama trilogi pembangunan. Pada 1969 pemerintah menambah peran dan fungsi Bulog yaitu sebagai manajemen stok penyangga pangan nasional dan penggunaan neraca pangan nasional sebegai standar ketahanan pangan nasional.  Pada tahun 1973 pemerintah Soeharto juga mempelopori berdirinya Serikat Petani Indonesia. Pada tahun 1974 pemerintah menerapkan revolusi hijau untuk mencapai swasembada beras. Peran Bulog menjadi semakin penting, karena pada tahun 1977 Bulog didaulat menjadi pengontrol impor kacang kedelai. Sehingga pada waktu itu tugas Bulog tidak hanya semata-mata mengurusi masalah beras saja.

Pada tahun 1978 pemerintah mengeluarkan Kepres 39/1978 yang mengembalikan tugas Bulog sebagai pengontrol harga gabah, beras, tepung, gandum, gula pasir dll. Tugas Bulog semakin dipersempit pada tahun 1997 yaitu hanya sebagai kontrol harga beras dan gula pasir saja. Pada tahun 1998 peran Bulog dipersempit lagi yaitu hanya sebagai pengontrol harga beras saja.

Pasca reformasi pemerintahan Megawati menambah peran Bulog sebagai manajemen logistik beras yang termasuk penyediaan, distribusi, dan kontrol harga beras. Pada masa ini juga, pemerintah memprivatisasi Bulog dan berusaha untuk mencapai swasembada beras. Orientasi produksi sebagaian besar ditujukan pada produksi beras sebanyak-banyaknya. Hasilnya pemerintah megawati berhasil mencapai swasembada beras.

Pada masa SBY, pemerintah mengeluarkan progam perencanaan revitalisasi pertanian yang mencoba menempatkan kembali sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual dengan meningkatkan pendapatan pertanian untuk GDP, pembangunan agribisnis yang mampu meyerap tenaga kerja dan swasembada beras, jagung dan palawija. Sampai tulisan ini dibuat baru satu target yang telah dicapai oleh pemrintah yaitu swasembada beras pada tahun 2008 yang lalu.

Dari sederetan kebijakan yang pernah dirumuskan oleh pemerintah hanya beberapa saja yang berhasil mendongkrak kondisi pangan Indonesia, itupun hanya secara parsial dan interim saja. Jika semua permasalahan pangan tersebut berasal dari kebijakan pemerintah, maka kita perlu mempertanyakan paradigma pangan yang selama ini dianut oleh pemerintah.

Merubah Perpektif Pangan Indonesia
Kebijakan yang diambil pemerintah merupakan hasil dari pemikiran para pejabat yang duduk di kursi pemerintahan. Dalam setiap pembuatan kebijakan mungkin mereka melihat kondisi rill pangan di indonesia saat ini, tetapi suatu sudut pandang atau perspektif atas suatu masalah yang dipakai sangat menentukan kebiajakan yang diambil. Ibarat sebuah mobil, perspektif adalah sebuah setir yang menetukan kemana arah kebijakan tersebut akan dibawa. Jadi perspektif pangan pemerintah akan menentukan tujuan dan arah yang ingin dicapai.

Melihat kondisi pangan saat ini, pemerintah harus menyadari bahwa orientasi produksi yang diyakini bukan merupakan salah satu cara yang terbaik dalam mencapai ketahanan pangan. Ketika pemerintah mencapai swasembada beras bukan berarti pemerintah telah memiliki ketahanan pangan yang kuat karena ada empat syarat yang harus dipenuhi. Pertama, kecukupan pangan yang dapat diartikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk hidup aktif dan sehat. Kedua akses pangan yang meliputi hak untuk berproduksi, membeli atau menukarkan dan menerima pangan. Ketiga adalah ketahanan yang meliputi keseimbangan antara kerentanan, resiko dan jaminan pengaman sosial. Keempat, fungsi waktu ketahanan pangan yang bersifat kronis, transisi, atau siklus. Jadi swasembada pangan hanyalah salah satu faktor dari ketahanan pangan. 

Jika saat ini kita melihat bahwa Indonesia belum memiliki empat poin diatas maka bisa kita simpulkan bahwa Indonesia masih jauh dari prestasi swasembada pangan. Orientasi produksi yang diarahkan pada satu jenis pangan (beras) saja juga bukan hal yang baik karena akan menyebabkan ketergantungan. Dampaknya, apabila terjadi kekurangan produksi maka pemerintah terpaksa harus melakukan impor. Saat ini kegiatan impor dianggap menjadi suatu hal yang lumrah, dan hal itu juga diamini oleh pasar global saat ini atas nama keunggulan komparatif.

Jika kita menilik stabilitas pemerintah ada tiga hal yang harus dipenuhi, yaitu stabilitas pangan, politik dan pertahanan. Ketiga hal itu mutlak harus diraih oleh suatu negara sehingga ia mampu mampu berdikari diatas tanahnya. Jika makan sehari-hari kita masih disokong oleh impor maka harapan swasembada pangan berkelanjutan masih jauh dari genggaman. Sayangnya hal itu kurang disadari oleh pemerintah, usaha untuk mereduksi impor bahan makanan pokok juga menuai kritik dari kalangan birokrat. Padahal manfaat yang akan diperoleh dari usaha tersebut akan jauh lebih besar. Misalnya, pemerintah akan lebih fokus memberdayakan petani Indonesia yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia sehingga tingkat kesejahteraan mereka akan meningkat.  

Indonesia adalah negara yang diberkahi dengan berbagai macam sumber daya alam. Namun sayangnya kekayaan itu kurang dimanfaatkan oleh Indonesia. Sungguh ironis, ditanah yang sangat kaya ini banyak rakyat yang harus merasakan kelaparan, bagaikan tikus mati di lumbung beras. Jika kita meyakini bahwa orientasi tunggal terhadap pangan bukanlah kebijakan yang baik, maka kita harus menggalakkan diversifikasi pangan. 

Sebenarnya diversifikasi pangan telah didengungkan dari tahun 2005. Tetapi sampai saat ini masyarakat masih tergantung pada beras sebagai makanan pokok sehari-hari. Ada banyak faktor yang menghambat progam tersebut, salah satunya adalah sosial budaya yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Padahal faktor tersebut sangat dominan bagi rakyat Indonesia. Pandangan konsumsi yang bukan saja mengonsumsi sumber daya saja tetapi adalah unsur budaya harus kita ubah mengingat kita dihadapkan dengan perang besar melawan berbagai masalah pangan.

Dekontruksi Budaya Pangan
Negara Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan jumlah petani yang menjadi mayoritas penduduk di Indonesia. Walaupun saat ini lahan pertanian semakin sempit namun ekses pekerja di bidang pertanian semakin banyak. Fenomena diatas bukan terjadi karena bidang pertanian adalah pelarian bagi para penganggur tetapi disebabkan oleh pandangan hidup mayoritas Indonesia. Kegiatan bertani yang dilakukan bukan semata mata pencaharian, tetapi sebagai kebudayaan.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Mubyarto ”Pertanian (agriculture) bukan hanya merupakan aktivitas ekonomi untuk menghasilkan pendapatan bagi petani saja. Lebih dari itu, pertanian/agrikultur adalah sebuah cara hidup (way of life atau livehood) bagi sebagian besar petani di Indonesia”.

Produksi pangan yang saat ini kita nikmati juga tidak terlepas dari kegiatan budaya masyarakat Indonesia. Pola makan yang dianut masyarakat Indonesia pun juga tercipta oleh kontruksi dari budaya Indonesia. Jika Indonesia ingin memerangi masalah pangan maka ia harus merubah livehood dari petani dan masyarakat Indonesia, bukan hanya melakukan modernisasi pertanian. 

Sebuah tantangan besar bagi pemerintah untuk merekontruksi pola hidup rakyatnya karena budaya timbul dari alam bawah sadar yang selama ini mengakar kuat. Tetapi bukan berarti hal itu mustahil untuk dilakukan. Kita bisa melihat bahwa realitas kehidupan kita saat ini telah dipengaruhi oleh budaya barat melalui media massa. Jadi belajar dari proses westernisasi, dekontruksi budaya dapat dilakukan dengan berbagai macam cara yaitu melalu media massa, seminar, jargon-jargon. Diharapkan dengan berubahnya pola kebudayaan masyarakat akan menjadi awal bagi peperangan melawan berbagai masalah pangan di indonesia. 

Membangkitkan Eksistensi Pers Mahasiswa


Perjalanan pemerintahan Indonesia tidak pernah lepas dari peran mahasiswa didalamnya. Sejarah menorehkan peran penting mahasiswa ketika lahirnya orde baru Indonesia dan gerakan reformasi tahun 1998. Di balik peristiwa-peristiwa tersebut terdapat sebuah proses yang melahirkan kekuatan yang mampu mengubah status quo. Salah satu proses tersebut tidak lepas dari peran pers mahasiswa sebagai sarana mahasiswa untuk menyuarakan aspirasinya dan menyatukan gerakan.

Pada zaman masa demokrasi terpimpin misalnya. Ketika media massa dikekang kuat oleh pemerintah, pers mahasiswa menjadi sebuah pers alternatif yang mampu menyuarakan opini secara obyektif. Mulai dari pers mahasiswa itulah kemudian muncul gerakan-gerakan bersama yang mampu menumbangkan rezim demokrasi terpimpin. Namun sayangnya pers mahasiswa juga tidak luput dibredel ketika memasuki zaman orde baru.

 Secercah harapan muncul dengan lahirnya majalah Balairung UGM sebagai simbol kebangkitan pers mahasiswa. Lahirnya Balairung UGM kemudian diikuti dengan lahirnya pers mahasiswa lainnya. Pemberitaan yang bernuansa idealis dan obyektif kembali mewarnai media massa Indonesia. Ketika media massa masih dikontrol kuat oleh pemerintah orde baru maka pers mahasiswalah yang berani menyuarakan kebenaran akan realitas yang terjadi. Dengan semakin kuatnya pers mahasiswa maka pergerakan mahasiswa pun semakin kuat karena pers mahasiswa menjadi sarana penyebaran informasi yang efektif sehingga mampu menyatukan gerakan mahasiswa.

Memasuki era reformasi, kekangan terhadap media massa semakin berkurang. Media massa secara umum mulai berani menyuarakan opini-opininya dengan tegas. Namun sayangnya dengan kebebasan pers tersebut, seakan-akan fungsi pers mahasiswa sebagai kontrol pemerintahan mulai tergantikan. Tema-tema kritis mengenai kebijakan pemerintah tidak lagi menjadi tema utama ataupun berita utama pers mahasiswa. Esensi dari pers mahasiswa pun cenderung terkungkung dalam ruang lingkup kehidupan mahasiswa saja.

Hal tersebut cukup memprihatinkan karena pers mahasiswa tidak mampu merepresentasikan fungsi dan peran mahasiswa dalam pemerintahan sebagai sosok intelek yang kritis dan berani. Melihat konteks kehidupan pemerintahan Indonesia yang masih didera dengan berbagai permasalahan yang terjadi. Sudah seharusnya pers mahasiswa membangkitkan gairahnya kembali untuk mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah. Melihat sejarah pers mahasiswa maka kita harus sepakat bahwa peran utama pers mahasiswa adalah sebagai kontrol bagi pemerintahan dan masyarakat. Apabila pers mahasiswa menjauh dari peran utamanya maka kita harus segera mengembalikannya.

Ada beberapa hal yang harus diperbaiki oleh pers mahasiswa. Namun, hal pertama yang harus dilakukan oleh pers mahasiswa adalah merubah mindset atau pola pikir pelaku-pelaku di dalamnya. Pers mahasiswa harus keluar dari pola pikir pragmatis atau populer yang melandasi kegiatan jurnalistik mereka. Pers mahasiswa harus menonjolkan sisi intelektual yang kritis dan idealis agar mampu menilai realitas secara obyektif sehingga mampu menjadi kontrol bagi pemerintahan.

Memang hal diatas cukup sulit untuk dilakukan karena mahasiswa juga harus membagi pikiran dan waktunya untuk kegiatan perkuliahan. Tetapi kemanakah bangsa ini harus menggantungkan kehidupannya kalau bukan dari sosok mahasiswa? Oleh karena itu mau tidak mau mahasiswa harus atau pers mahasiswa harus membangkitkan peran sosialnya bagi masyarakat dan pemerintahan.    

Mari Bersatu, Rakyat Malaysia!


Perseteruan Indonesia dengan Malaysia semakin memanas dengan permasalahan yang membara di koran-koran. Aksi saling serang menodai hubungan baik yang telah berusaha mereka jaga selama ini. Seolah tidak ada ujungnya, aksi klaim, hina menghina menjadi sajian rakyat kedua negara tersebut. Seolah tidak ada orang yang berpikir menangani solusi ketegangan Indonesia-Malaysia.

Negara ibarat sebuah agama bagi rakyatnya, jika negaranya dihina atau ditindas tentu saja rakyatnya akan bereaksi. Namun pemerintah sebagai lembaga tertinggi yang berada di suatu negara harus mengayomi rakyatnya. Permasalahan Indonesia dengan Malaysia pada awalnya bukan dipicu oleh tingkah laku rakyat kedua negara tersebut, tetapi oleh pemerintah keduanya. Rakyat hanya bereaksi atas tindakan pemerintah.

Selama ini penulis melihat tidak ada manfaat dari adanya adanya sengketa antara Indonesia dengan Malaysia. Walau permasalahan sampai dibawa ke Mahkamah Internasional, tetapi yang terjadi bukanlah tercipta suatu resolusi konflik yang menyelesaikan maslah, tetapi hanya manajemen konflik, yaitu bagaimana konflik itu ditata agar lebih rapi. Akibatnya jika tidak ada sebuah resolusi bersama, maka masalah-masalah yang hampir sama akan timbul lagi seperti yang terjadi sekarang ini.

Sebenarnya apa keuntungan kedua negara ini jika terus bermusuhan. Penuslis kira tidak ada manfaatnya. Yang ada justru kerugian di bidang sosial, politik, dan ekonomi. Di mata internasional hubungan Indonesia dengan Malaysia sangat memprihatinkan. Bagimana tidak, Indonesia dan Malaysia memiliki latar belakang yang sama dan memiliki kondisi yang hampir sama pula. Bukannya saling bantu membantu tetapi saling serang.

Kebangkitan dari Timur
Teringat sebuah ramalan bahwa kebangkitan akan dimulai dari timur. Mungkin ramalan itu bukan gurauan atau igauan semata. Jika kita menilik negara-negara timur seperti China, India, dan Korea Selatan. Negara-negara tersebut adalah contoh dari kebangkitan kekuatan timur, dan tidak perlu heran jika saat ini poros ekonomi yang dulunya bercokol kuat di barat sekarang condong ke timur.

Indonesia dan Malaysia saat ini adalah negara yang mencoba mendongkrak keadaannya dari cap negara berkembang yang terbelakang. Sudah seharusnya mereka lebih fokus untuk mengambangkan negaranya. Sungguh sayang jika mereka masih sibuk bertengkar, apalagi konflik yang terjadi terasa menggantung. Apalagi yang bereaksi adalah rakyatnya yang semakin menggila akibat tidak adanya kepastian mengenai konflik ini.

Wahai rakyat Indonesia dan Malaysia, kita memiliki latar belakang yang sama. Tentu saja kita bisa berpikir mengani konflik yang terjadi saat ini. Kita tidak harus mengamini apa yang telah dilakukan oleh negara kita. Sebagai rakyat, kita harus kritis dengan apa yang telah dilakukan negara kita terkait dengan permasalahan yang terjadi saat ini.

Konflik Indonesia-Malaysia dimulai oleh pemerintah-pemerintah kita. Apabila pemerintah kita tidak bisa menyelesaikan masalah ini, sudah saatnya kita turun tangan meyelesaikan masalah ini. Jangan sampai kita terbawa dengan kasus ini dan saling membenci, ada sebuah misi yang lebih esensial daripada selalu bertengkar tanpa akhir.

Marilah kita kritik negara kita masing-masing, mengenai ketidaktegasan negara kita. Ingatkan negara kita mengenai berbagi sehingga tidak terjebak pada sangkar keegoisan. Penulis kira kita masih bisa berpikir obyektif, bijak dan pintar. Tindakan emosional tidak akan membangun hubungan negara kita, yang ada hanya memperkeruh masalah.

Wahai rakyat Indonesia-Malaysia, mari bersatu, kita bangkitkan kekuatan timur. Kita ciptakan peradaban timur. Kita tunjukkan pada dunia bahwa kita sudah dewasa.  



Lahirnya Kota-Kota Agama


Beberapa tahun silam kita menyaksikan berdirinya daerah istimewa Aceh yang menerapkan Perda Syariat Islam. Secara historis Aceh memang memiliki kaitan yang erat dengan Islam dan kini keterkaitan tersebut diejawantahkan dengan tegaknya syariat Islam di tanah rencong tersebut.

Bak cendawan di musim hujan, tegaknya syariat Islam di Aceh menjadi katalisator bagi daerah lain untuk menegakkan keistimewaan masing-masing. Setidaknya ada dua daerah yang ingin meniru Aceh yaitu Kota Manokwari sebagai kota Injil dan Yogyakarta sebagai Serambi Madinah.

Dengan munculnya inisiatif dari kedua daerah tersebut muncul berbagai pertanyaan dari masyarakat. Hal itu wajar karena inisiatif tersebut muncul dari segelintir orang yang menduduki posisi strategis di pemerintah daerah dan belum disosialisasikan secara luas kepada masyarakat. Kebanyakan masyarakat belum mengetahui dasar dari inisiatif keistimewaan tersebut dan konsep seperti apa yang akan diimplementasikan menyusul dari diwacanakannya perda khusus di daerah tersebut.

Jangan sampai dengan munculnya wacana tersebut malah akan menciptakan perpecahan dalam tubuh masyarakat. Apalagi sampai saat ini masyarakat masih mempertanyakan kredibilitas pemerintah dalam mengelola keharmonisan dan kerukunan di dalam masyarakat yang plural.

Kota Manokwari, Kota Injil
Dahulu kota manokwari dikenal sebagai kota buah karena banyak beraneka buah tumbuh subur di kota ini. Namun saat ini kota tersebut diguncang isu panas sebagai kota yang akan menerapkan Perda khusus seperti di Aceh. Perbedaanyya kota ini akan menerapkan perda yang sesuai dengan nilai-nilai dalam Injil.

Dilihat dari sisi historis, Manokwari memang berkaitan erat dengan masuknya Injil di Papua. Injil masuk di tanah ini pada tanggal 5 Februari 1855 yang dibawa oleh Johann Gottlob Geissler dan Carl Wilhelm Ottow. Namun berdasarkan literatur yang penulis peroleh, wacana kota Injil tersebut lahir ketika terjadi sebuah aksi demo terhadap pembangunan masjid raya dengan islamic center. Mereka beralasan pembangunan masjid tersebut akan menggangu kerukunan antar umat beragama karena posisinya yang strategis dan lebih megah daripada geraja-gereja di manokwari.

Wacana mengenai Manokwari sebagai Kota Injil segera direspon dengan dibuatnya draft daerah keistimewaan tersebut. Bahkan draft tersebut secara luas telah meluas di kalangan masyarakat dan menimbulkan banyak protes dari kalangan umat beragama Islam  sebagai minoritas dan umat Kristen sendiri. Pasalnya ada beberapa isi dari draft tersebut yang bisa menimbulkan konflik antar umat beragama, misalnya pembatasan pemakaian jilbab dan pelarangan pengumandangan suara adzan.

Kota Yogyakarta, Serambi Madinah
Jika Kota Manokwari akan dibentuk sebagai Kota Injil maka beda lagi dengan Kota Yogyakarta. Kota ini direncanakan akan menjadi Kota Serambi Madinah, selain dikenal sebagai kota pelajar dan budaya. Wacana tersebut telah dideklarasikan oleh sepihak oleh MUI Yogyakarta beberapa hari sebelum memasuki Bulan Suci Ramadhan tahun yang lalu.

Wacana tersebut nampaknya juga telah disetujui oleh pihak Keraton Yogyakarta dengan megadakan sarasehan dan pembahasan mengenai konsep serambi madinah tersebut. Konsep tersebut diinspirasi dari konsep pengembangan pembangunan wilayah oleh Pangeran Mangkubumi I dengan konsep pesantren besar berbasis pada kekhalifahan. Namun ada yang mengatakan bahwa konsep tersebut Piagam Madinah pada masa Rasulullah sebagai bentuk perjanjian dan kesepakatan bersama bagi membangun masyarakat Madinah yang plural, adil, dan berkeadaban.

Berbeda dengan Aceh, konsep serambi madinah lebih ditekankan kepada produk budaya bukan produk agama. Menurut Ari Sujito, Sosiolog UGM, mengatakan bahwa konsep Ngayogyakarta Serambi Madinah adalah sebuah terobosan baru untuk mendukung keistimewaan DIY. Apalagi spirit dari konsep tersebut adalah menghargai pluralisme.

Konsep Kota Yogyakarta sebagai Serambi Madinah memang belum usai tetapi tujuan dari dibentuknya wacana tersebut adalah untuk menghargai dan menjaga keragaman yang terdapat di Kota Yogyakarta.


Buah Kritis Pemikiran, Bukan Konklusi
Ketika seorang muslim dihadapkan pada dua permasalahan tersebut apa yang harus ia lakukan? Atau seorang muslim lebih baik berdiam diri karena hal tersebut bukan tanggung jawab seorang muslim.

Pada kasus Manokwari tentu sebagai seorang muslim kita tidak menyukai hal tersebut. Tetapi dalam konteks negara Indonesia, kita tidak mampu membendung dijadikannya Manokwari sebagai kota Injil. Indonesia adalah negara plural sehingga walaupun kita menempuh jalur hukum atau politik kita tidak bisa membendung Kota Manokwari menjadi kota Injil. Alangkah lebih bijka pula jika umat muslim tidak mudah terpancing dengan masalah tersebut apalagi sampai melakukan tindakan represif. Hal tersebut malah akan merugikan muslim sendiri karena akan memberikan citra negatif pada Islam Indonesia. Tetapi apabila hak-hak muslim di Kota Manokwari terpangkas oleh disklarasikannya Kota Injil tersebut seorang muslim wajib membela saudaranya baik dengan jiwa maupun harta.

Lalu bagaimana dengan sikap seorang muslim ketika mendengar Kota Yogyakarta akan menjadi “Kota Serambi Madinah”. Terkesan hal tersebut sangat Islami dan akan membawa kemajuan bagi perkembangan Islam di Jogja. Tetapi kita harus kritis dengan konsep yang dibawa oleh Kota Serambi Madinah tersebut. Apabila tidak bertentangan dengan nilai Islam dan menjadi awal revitalisasi nilai-nilai Islam di Jogja kita harus mendukung konsep tersebut. Tetapi apabila mengarah pada pluralisme dalam agama, kita patut mewaspadainya.


Ketika Partai Tak Beruang



Pasca reformasi angin-angin demokrasi semakin kuat dihembuskan oleh pemikir-pemikir demokrat. Atas nama kebebasan berpikir dan berpendapat, maka muncullah berbagai jenis partai dengan visi dan misi yang saya lihat tidak jauh berbeda.

Berpuluh-puluh juta lembar rupiah menjadi tumbal atas nama demokrasi seakan perpolitikan di Indonesia ibarat rumah judi atau sebuah industri kapitalis yang menjadikan modal sebagai kekuatan utama. Akibatnya pertarungan politik bukanlah pertarungan ideologi, blueprint, atau visi untuk Indonesia, melainkan modal dan kepentingan golongan tertentu saja. Lalu apa akibatnya jika sebuah partai yang percaya akan kekuatan uang mengalami resesi keuangan?

Ada beberapa langkah yang dapat ia lakukan. Pertama ia akan mencari sumber-sumber modal dan menukarnya dengan janji mengajak kepentingan pribadinya menjadi sebuah kebijakan partai. Kedua ia akan mengganti tonggak pucuk kepemimpinan kepada orang-orang yang bermodal besar. Langkah terakhir adalah jalan paling populer yang sering dilakukan oleh kebanyakan partai di Indonesia.

Si Penunggu Pohon
Masa hidupku seakan tak mampu menyambangi awal mula berdirinya partai ini, tetapi memori masa laluku selalu bercerita tentang kedigdayaan partai itu. Hingga pada akhirnya pohon itu harus ditumbangkan karena dahan-dahannya tidak mampu lagi menaungi kepentingan rakyat.

Beberapa hari yang lalu saya sempat membaca sebuah artikel yang dimuat media massa. Berita yang dimuat mengenai polemik pergantian pemimpin partai yang sangat pelik. Ada sederet nama-nama yang ditunjukkan kehadapan mata saya. Saya sempat terkaget keheranan ketika melihat beberapa nama yang diajukan.

Iklim apakah yang menerpa perpolitikan di Indonesia sehingga pohon sebesar itu rela berjudi demi memenangkan pemilihan pada periode berikutnya? Dasar apakah yang melandasi kebijakan partai tersebut?

Sebenarnya saya tidak terlalu heran ketika kekuatan politik didominasi oleh segelintir orang yang beruang saja. Namun saya sedikit kaget ketika nama-nama yang bermunculan keluar dengan beraneka stigma negatif yang melekat pada tubuhnya. Apakah mereka tidak sadar bahwa rakyat semakin melek politik? Atau mereka beranggapan bahwa uang mereka masih cukup untuk membungkam mulut-mulut rakyat?

Inilah demokrasi Indonesia yang katanya menduduki posisi tinggi di dunia karena presidennya dipilih oleh rakyat dan banyak partai lahir atas nama kebebasan berpendapat. Bagiku fenomena ini tidak lebih dari politik yang tidak bar-bar, yang menggorok pemikiran-pemikiran suci memajukan Indonesia demi modal yang dibutuhkan untuk kegiatan operasional partai.

Mataku tak akan berhenti berbinar ketika melihat realitas dan harapan Indonesia. hanya satu keyakinan yang menjadi penyemangat ketika lahirnya generasi-generasi muda yang bermunculan dengan hati nurani mereka. Untuk saat ini biarlah pohon itu dihuni oleh penunggu barunya, yang saya kira tidak jauh berbeda dengan penunggu-penunggu pohon lainnya yang suka menjahili orang-orang yang hidup dibawahnya.
 


Berantas Kapitalisme Medik


Beberapa hari saya dikejutkan ketika membaca sebuah artikel dalam situs berita di internet yang menyebutkan bahwa seorang ibu dan anaknya terpaksa ditahan di rumah sakit karena tidak mampu membayar biaya rumah sakit. Sudah jatuh tertimpa tangga, ketika keluarga menghadapi masalah karena salah satu anggota keluarga mereka sakit, mereka juga harus terbebani dengan biaya rumah sakit yang mahal. Disisi lain Indonesia menduduki angka kematian ibu yang cukup tinggi yaitu 200:100.000.

Fenomena diatas adalah salah satu dari sekian catatan memilukan yang terjadi di Indonesia. Masih banyak cerita yang memenuhi catatan buruk dunia kesehatan di Indonesia. Padahal kesehatan, pendidikan, pangan merupakan hak setiap warga negara sehingga pemerintah wajib memenuhinya.

Namun jika kita melihat perkembangan dunia kesehatan di Indonesia, kita cukup optimis karena sistem yang ada mulai melirik kepada kepentingan rakyat kecil.  Dibawah Ibu Siti Fadilah, beban rakyat mulai berkurang dengan beberapa kebijakan seperti Jamkesmas.
Mungkin kejadian-kejadian yang memilukan diatas masih terjadi karena Indonesia masih berproses. Tetapi bukan berarti kita harus menunggu lama untuk menciptakan sistem kesehatan yang baik. Kita harus segera melakukan pembenahan terhadap sistem tersebut, karena hak mendapat pelayanan kesehatan tidak boleh tertunda.

Ada tiga hal yang harus dibenahi oleh Indonesia, yaitu sistem pembiayaan, sistem kesehatan dan etika dokter. Tiga hal tersebut merupakan interelasi sehingga pembenahan harus dilakukan secara komprehensif, bukan parsial.

Sistem pembiayaan masih harus dirapatkan karena masih memungkinkan terjadi korupsi dan peyimpangan. Bahkan di dalam dunia kesehatan tidak sistem ayng mengatakan terhadap standar baku biaya ke dokter. Tetapi kenyataannya ketika kita harus mengeluarkan biaya yang cukup mahal jika harus pergi ke dokter. Itupun tergantung ke dokter apa dan didaerah mana. Semua berbeda-beda.

Saat ini anggaran APBN untuk rumah sakit sekitar 3,6 T sedangkan puskesma 1,6 T. Dana tersebut tidak secara langsung diberikan kepada Rumah Sakit atau Puskesmas sehingga memungkinkan terjadi korupsi. Pada tahun lalu saja terdapat deficit sekitar 1 T untuk pembiayaan karena korupsi. Pernah ada usulan untuk menyalurkan langsung, tetapi ditolak mentah-mentah oleh DPR.

Kapitalisme Medik!
Dampak dari sistem pembiayaan yang kurang baik berakibat dari sistem kesehatan yang money oriented. Rumah sakit dituntut untuk memberikan fasilitas dan pelayanan yang baik. Apabila dana yang mereka dapat dari pemerintah sedikit maka pihak rumah sakit terpaksa membebankannya kepada pasien.
Indikasi yang paling mudah dilihat adalah mengenai pembagian kluster (ruang pasien) berdasarkan kemampuan finansial pasien. Di Belanda pembagian kluster bukan berdasar uang, tetapi tergantung dari penyakit yang diderita oleh pasien.

Saat ini kita juga melihat masih terjadi kekurangan fasilitas kesehatan, terutama di daerah pelosok. Selain itu akibat terbatasnya tenaga medic maka sistem pengasawan dan pelayanan terhadap pasien kurang maksimal.

Di sisi etika, seorang dokter harus dipertanyakan pengabdiannya terhadap masyarakat. Berdasarkan sumpah dokter, jelas bahwa profesi seorang dokter adalah abdi masyarakat bukan profesi yang benefit. Namun kenyataannya sosok seorang dokter lebih dikenal sebagai manusia kelas atas.

Ketika memasuki pendidikan SI dokter saja, mereka harus mengeluarkan banyak biaya banyak, itu belum biaya pendidikan spesialis. Hal tersbeut membuat banyak dokter yang bersikap pragmatis, orientasi mereka berubah karena harus mengembalikan modal yang telah dikeluarkan.

Tingkah dokter yang tidak beretika juga masih banyak kita temui, misalnya kerjasama dokter dengan bidan atau asistennya. Mereka seolah membentuk jaringan MLM, dimana bidan/asisten bertindak sebagai pencari pasien.

Kerjasama antara dokter dengan perusahaan farmasi juga perlu dicurigai. Banyak perusahaan farmasi yang menawarkan bonus bagi seorang dokter yang mampu memenuhi kouta penjualan obat. Dampaknya seorang dokter terpacu untuk menjual obat tersebut walaupun seorang pasien tidak membutuhkannya.

Masih banyak borok dunia kesehatan Indonesia yang harus diobati. Perubahan harus dilakukan melalui pembenahan sistem kesehatan yang meliputi 3 hal diatas. Jika sistem kesehatan Indonesia saat ini mengacu pada sistem kapitalis, seperti Singapura. Maka Indonesia harus keluar dan mencontoh sistem-sistem yang lebih manusiawi.


Karena Berpola Pikir Maka “Alien” Ada


Siapa yang ingin membicarakan korupsi, kasus pemenggalan TKW atau SMS dari Nazaruddin yang menghina presiden kita tercinta? Kita akan mendapati beragam opini mengenai kasus-kasus tersebut. Malah kasus-kasus diatas adalah repitisi dari kasus-kasus yang pernah terjadi sebelumnya, namun tanpa kejelasan penyelesaian kasus tersebut.

Ada hal yang menarik bagi penulis atas munculnya beragam opini tersebut dan hal tersebut yang ingin penulis tekankan dalam tulisan ini. Perbedaan banyak dikatakan sebagai keindahan, namun kenyataannya berbeda. Perbedaan itu kadang memunculkan hasrat untuk saling bunuh-membunuh. Nilai toleransi yang kita pelajari waktu kelas 4 di sekolah dasar seolah hanya teori normatif tanpa penghayatan saja. Ia mengalir begitu saja tanpa ada bekas tersisa di benak manusia.

Manusia adalah benda berpikir menurut Descrates dan hal itulah yang membuat ia memiliki keberadaan. Keberadaannya berpikir disadari berbeda-beda atas pola pikirnya. Secara dangkal hal tersebut merupakan keindahan, walau kenyataannya justru teror yang ada. Keindahan itu berubah teror ketika apriori menjadi kacamata awal seseorang sehingga menutup mata obyektivitas berpikir dan kemudian pemaksaan kehendak mengikuti. Pelanggaran kebebasan manusia lain pun tak bisa terelakkan.

Sudah banyak darah yang tertumpah atas perbedaan ini, apakah kita masih terus ingin melihatnya mengalir saja. Imam Hasan Al Banna pernah mengatakan bahwa “Bersatulah pada hal yang kita sepakati, dan saling menghormati atas perbedaan yang ada”. Sudah seharusnya kita sendiri merubah pola pikir kita atas pola pikir itu sendiri.

Manusia memang diberikan anugerah berupa klaim atas kebenaran yang kita pikirkan. Bahkan ada yang berpendapat bahwa masyarakat adalah kumpulan manusia dengan kebenarannya sendiri. Konflik terjadi karena perbedaan dan kepentingan kelompok (vested interest) yang saling berbenturan.

Berawal dari suatu masalah, kemudian mata analisa bekerja menelisik suatu permasalah. Penilaian (judgement) atas masalah kemudian lahir mengikuti atas dasar analisa kita. Ada beberapa kesalahan berpikir menurut penulis. Pertama, kadang kita kita berhenti berpikir pada penilaian saja dan meniadakan latar belakang masalahnya. Pemahaman imparsial ini menurut penulis berbahaya, karena kita melihat dari kulitnya saja (cover) bukan esensi masalah.

Kedua, kadang kita tidak mau berpikir dengan pola pikir orang lain. Memang cara ini sangat sulit dipahami karena kita harus berpikir menggunakan pola pikir orang lain. Tetapi menurut penulis cara inilah yang cukup komprehensif untuk menilai sesuatu. Penulis tidak berkata cara ini murni obyektif. Bagiamanapun juga kita tidak bisa menempatkan diri kita menjadi orang lain secara utuh. Memang ada berbagai pertimbangan yang yang kita pakai, tetapi tetap saja tidak utuh.

Sebagai contoh adalah kasus penganiyaan Warga Ahmadiyah. Pemunuhan terhadap mereka adalah salah besar bagi penulis. Tetapi bukan berarti pembunuh dipandang sebuah salah besar atas terjadinya masalah tersebut. Mungkin kita akan menilai perbuatan anti ahmadiyah adalah salah, mungkin saja kita melakukan pemikiran imparsial karena kita hanya memandang hasil pola pikir kita. Kita menganggap bahwa mereka memiliki hak untuk memeluk agama mereka sendiri.

Kita juga berpikir tanpa menempatkan diri kita pada posisi warga anti ahmadiyah. Kenapa mereka rela membunuh warga ahmadiyah tersebut. Selain itu kita harus memperhatikan latar belakang masalah kasus tersebut yang meliputi analisis historis kasus itu.

Tulisan ini tidak akan menilai suatu kasus tetapi sebagai koreksi dan diskusi atas pola pikir kita. Bukan berarti kita tidak boleh menilai, justru kita hrus menilai tetapi dengan pola pikir dan pertimbangan yang baik.

Terinspirasi dari debat romantik ditengah gelapnya rumah akibat matinya listrik, padahal kami sudah membayar tagihan listrik secara tepat waktu. Tapi tulisan ini tidak akan ;ahir jika taka da kejadian ini, tidak ada juga panggilan alien yang muncul atas diriku ketika perdebatan selesai. Memang penulis sadar, apa yang saya tulis ini sedikit nyleneh dan berdampak dicapnya anda sebagai “alien”. Tapi penulis berharap jangan sampai Anda teralienasi, cinta bisa mengalahkan perbedaan.

Coretan Ekonomi Indonesia


Baru-baru saja pemerintah mengeluarkan pernyataan bahwa perekonomian Indonesia berkembang sangat baik dilihat dari berbagai faktor. Statistik yang dipakai pemeirntah untuk membuat kesimpuan berasal dari data-data makro, seperti GDP, IHSG, nilai tukar rupiah,dll. Tetapi apakah tingkat pertumbuhan saja yang dibutuhkan oleh ekonomi Indonesia?

Saat ini Indonesia tidak hanya membutuhkan tingkat pertumbuhan ekonomi, tetapi juga tingkat kekompetitifan Indonesia dalam mengahadap eknomi dunia. Dibutuhkan suatu pondasi yang kuat untuk menyokong perekonomian Indonesia agar terus berkembang dan mampu bersaing dengan negara lain.

Di dalam perekonomian suatu negara dikenal berbagai macam pelaku. Terdapat dua pembagian  yaitu sektor formal dan informal. Sektor informal digambarkan sebagai sektor dimana industiy-industri besar bekerja sedangkan sektor informal adalah pekerja mandiri dimana terdapat industri-industri kecil.

Di negara-negara barat, perekonomiannya disokong oleh sektor formal karena terdapat banyak industry besar disana. Sebagian masyarakat juga mendapat penghasilan dari industri tersebut. Pertumbuhan ekonomi di negara barat dikatakan lemah apabila tingkat produksi industri semakin sedikit. Kebijakan ekonomi difokuskan untuk menyelesaikan permasalahan industri besar di negara tersebut. Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Mimpi menjadi negara maju masih menghantui Indonesia. Mata para ekonom masih tertuju pada negara-negara maju di barat. Bahkan kita masih mengadopsi beberapa kebijakan ekonomi yang diterapkan di negara-negara barat. Tetapi, apakah pola pikir Indoensia tersebut cocok diterapkan di Indonesia?
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah menganai kondisi negara Indonesia dengan negara maju. Terdapat perbedaan mencolok yang dapat kita lihat dari sektor yang menyokong perekonomiannya. Pada tahun 2009 saja, kontribusi UMKM bagi GDP sebesar 53%, dan pada tahun ini diprediksikan akan meningkat menjadi 60% hingga 65%.

Dapat kita lihat bahwa Indonesia disokong oleh sektor informal yang terdiri dari industri-industri kecil. Namun pelaku di sektor informal belum begitu diperhatikan oleh pemerintah Indonesia. Padahal jika kita menengok kontribusi sektor informal bagi Indonesia, seharusnya pemerintah mulai mengarah pada sektor ini.
Kontribusi besar sektor informal dalam memulihkan perekonomian Indonesia ketika krisis tahun 1998 perlu menjadi pertimbangan. Apalagi mayoritas penduduk Indonesia bekerja di sektor ini. Kondisi industri kecil yang rentan terhadap masalah juga harus diperhatikan oleh pemerintah.

Apalagi jika kita ingin mengatasi masalah pengangguran, pengembangan sektor kecil merupakan jalan yang tercepat dan mudah sebagaimana yang dikatakan oleh Muhammad Yunus, pakar ekonomi dari Bangladesh, “Most important step to end poverty is to crate employment and income opportunity for the poor. Self-imployment is the quickest and easiest way to create employment for the poor”.

Perekonomian Indonesia, saat ini memang dinilai berdasarkan data-data makro dimana sektor formal berada. Padahal sektor informal menyumbang kontribusi besar bagi ekonomi Indonesia. Apabila Indonesia ingin mengukuhkan tingat kompetisi dengan negara lain, maka industri kecil adalah jawabannya.




Alangkah Uniknya Anggaran Negeri ini!


Siapa yang tidak mengenal kata “anggaran” dewasa ini. Kata-kata seperti APBN dan APBD sudah tidak asing bagi kehidupan sehari-hari kita. Pengertian dari Anggaran adalah perkiraan mengenai pendapatan dan belanja.  Tetapi jika kita melihat Anggaran Pendapatan Belanja Negara kita tidak hanay akan melihat perkiraan pendapatn dan belanja, tetapi juga data-data menganai pendapatan dan belanja yang telah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.Berarti dalam APBN tersebut kita akan melihat dua kolom, kolom pertama mengani rencana pendapatan dan belanja, sedangkan kolom yang kedua adalah data-data mengenai data pendapatan dan belanja negara.

Jika berbicara APBN negara ini secara keilmuwan memang terkesan agak kompleks dan rumit. Melihat kolom-kolom sempit nan penuh angka tentu sangat membosankan, tetapi mau tidak mau kita harus mengetahui seluk beluk APBN ini. Karena efek dari APBN sangat dekat dengan kehidupan kita, bahkan sangat berpengaruh dengan kehidupan kita.
Sebuah guyon dari dosenku sore ini “Misalnya kita mengendari sepeda motor, kemudia kita jatuh gara-gara ada lubang di tengah jalan, maka salah siapakah ini?” Ada tiga pilihan dalam menjawab pertanyan tersebut, pertama karena kita tidak hati-hati, kedua karena kita bernasib sial, dan ketiga karena kegagalan APBN atau APBD kita.

Manakah penyebab utama kita terjatuh dari sepeda? Ketidakhati-hatian dan nasib kita saya kira tidak akan terjadi ketika tidak ada lubang ditengah jalan. Jadi kita tentu bisa menyimpulkan bahwa anggaran lah yang bertanggungjawab atas musibah ini. Anggaran yang tidak tepat meninggalkan lubang ditengah jalan yang sangat berbahaya bagi pengendara. Ternyata! Anggaran sangat dekat dan berpengaruh kepada kehidupan kita jika kita memikirkannya lebih dalam-dalam.pernah baca

Melihat Sejenak Anggaran di Indonesia
 Kita adalah warga negara Indonesia, sebagian besar peyumbang pendapatan negara adalah tangan-tangan kita. Jadi silakan simak beberapa keunikan negara anggaran republik ini. Total pendapatan Indonesia saat ini sekitar 1000 triliyun, sekitar 30% digunakan untuk subsidi rakyat, 25% untuk pendidikan, sekitar 20% untuk membayar cicilan dan bunga hutang, 20% untuk belanja modal termasuk membayar gaji pegawai negeri, dan hanya sekitar 5% untuk investasi pengembangan ilmu pengetahuan.

Ternyata sampai saat ini Indonesia masih dililit dengan hutang besar jika melihat APBN kita yang menganggarkan 20% untuk membayar cicilan dan bunga. Sungguh malang nasib kita, dana hutang tidak kita nikmati secara signifikan tetapi kita harus membayar hutang-hutang tersebut. Investasi teknologi pun sangat minim, dan wjarlah jika kita selalu gaptek jika dibandingkan dengan negara lain.

Sistem anggaran yang dipakai oleh negara kita juga masih tradisional yang ditandai dengan pertimbangan neraca tahun sebelumnya. Jadi negara kita susah maju karena masih terpaku dengan masa lalunya yang kelam, bukan berdasar pada kinerja yang harus dilakukan untuk merangkak naik ke arah perbaikan.
Tetapi bukan berarti sistem yang dipakai salah, masih ada banyak pertimbangan untuk memutuskan metode apa yang dipakai. Fakta yang tak kalah seru adalah mengenai siklus APBN. Penyusunan APBN dilakukan selama bulan Februari-Juli, sedangkan pembahasan dan pengesahan dilakukan selama 5 bulan yaitu Agustus-Desember.

Pelaksanaan APBN selama 1 tahun yaitu bulan Januari hingga Desember, kemudian pertanggungjawaban bulan Januari-Maret. Total adalah 26 bulan. Jika kita lihat-lihat anggaran kita ini minim aspirasi, karena hanya membutuhkan waktu sekitar 5 tahun saja, padahal di luar negeri mencapai 1 tahun karena pada tahun sebelumnya sudah dibuat. Apalagi bulan penyusunan dekat dengan bulan puasa dan idul fitri sehingga pambahasan tidak akan terlalu matang dengan kondisi DPR seperti itu.

Bukan berburuk sangka, tetapi lihat saja apa yang pola tingkah laku mereka ketika rapat. Di hari-hari biasa saja banyak yang tidur atau malah bermain dengan blackberry dari uang rakyat itu. Apalagi jika pembahasan dilakukan sewaktu bulan puasa, tentu kita bisa membayangkan sendiri.

Sebagai penutup, hal yang terpenting sebagai warga negara adalah kita harus selalu mengawasi negara kita. Hal yang sangat mudah untuk dilakukan adalah dengan melihat anggaran negara kita. Marilah menjadi public watchdog agar pemerintah kita berjalan sebagaimana mestinya!

Perlawanan ala Good Governance


Walaupun sering disingggahi oleh berbagai masalah dan bencana, perjalanan hidup Indonesia ternyata selalu bergerak kedepan. Berbagai permasalahan yang terjadi bisa saja terjadi karena efek dari proses yang selama ini berjalan. Menurut Huntington, seorang penyokong gagasan Demokrasi Scumptarian, menyebutkan bahwa untuk menilai bahwa demokrasi telah berjalan dengan baik diperlukan tes dua kali penyerahan kekuasaan yang dilakukan secara damai. Indonesia telah membuktikannya melalui dua kali penyerahan demokratis dari rezim Gus Dur hingga SBY. Padahal jika kita melirik negara adidaya seperti Amerika Serikat, mereka baru mampu mengimplementasikan nilai-nilai demokratis dalam kehidupan politiknya pada tahun 1840.

Saat ini Indonesia masih berada pada masa transisi, yaitu perpindahan dari masa otoriterian ke demokrasi. Berdasarkan pemikiran Huntington, ketika sebuah negara memasuki masa transisi maka akan terjadi berbagai permasalahan terkait dengan proses transisi tersebut. Huntington menggolongkan masalah tersebut menjadi masalah sistemik dan masalah kontekstual. Masalah sistemik adalah masalah yang timbul dari sistem demokrasi yang diterapkan oleh suatu negara. Masalah tersebut dapat berupa ketidakmampuan menciptakan sebuah solusi atas suatu permasalahan, mudah terpengaruh oleh demagogi, dan dominasi politik oleh golongan elite.

Masalah kontekstual terkait dengan budaya, perekonomian dan sejarah. Masalah-masalah itu dapat terwujud dalam pemberontakan, konflik komunal, kemiskinan, ketimpangan sosial, inflasi, hutang luar negeri, laju pertumbuhan yang rendah dan korupsi. Permasalahan tersebut bersifat endemik, berakar kuat dalam kehidupan pemerintahan. Tengok saja kasus korupsi yang tidak pernah henti-hentinya memenuhi kolom-kolom dalam surat kabar. Permasalahan tersebut merupakan penyakit akut bagi Indonesia dan telah bertransformasi sebagai metode bekerja dari sistem politik. Merupakan hal yang sangat menjijikkan karena tanpa korupsi maka eksplorasi tambang, revisi undang-undang, dan pembangunan lainnya akan terhambat oleh sistem birokrasi yang rumit.

Tetapi buat apa pembangunan yang menciptakan menara-menara megah serta lampu-lampu gemerlap jika hal tersebut diperoleh dari perbuatan yang hina. Bagaimanapun sebuah kemajuan atau perbaikan tidak akan bisa dilakukan dengan memberikan racun pada tubuh negara ini.

Menurut Transparancy International korupsi adalah ”perilaku pejabat publik, baik politis maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepadanya .

Konseptualisasi dari korupsi adalah menguatnya monopoli dan diskresi dalam pemerintahan yang disertai dengan menurunnya akuntabilitas. Monopoli dan diskresi yang merajalela akan menyebabkan tingkat partisipasi kompetitif menghilang. Misalnya penentuan tender yang diserahkan pada pejabat tertentu. Sistem tersebut akan memberikan peluang bagi pejabat untuk memenangkan tender bagi pihak tertentu dengan imbalan komisi yang akan diterimanya. Diskresi minus akuntabilitas akan menyebabkan kesewenang-wenangan. Misalnya adalah jual beli kebijakan.

Salah satu faktor yang melatarbelakangi terjadinya korupsi adalah rendahnya moralitas politisi. Dalam menjalankan pemerintahan mereka sering terlibat dalam kepentingan pribadi maupun kelompoknya sehingga mengurangi tingkat obyektivitas. Hal itu menyebabkan terjadinya disintegrasi dalam pemerintahan sehingga visi dan misi menjadi tumbal karena mereka lebih mengutamakan kepentingan mereka. Pembangunan pun mengalami disorientasi karena tidak ada kesamaan arah.

Sistem demokrasi yang dimotori oleh modal menjadi alasan mereka untuk menumpuk kekayaan baik pribadi maupun partai. Biaya politik yang sangat besar terkait dengan kampanye atau pemilu menjadi faktor pemicu. Hal itu ditambah dengan terbatasnya suatu partai untuk memperoleh dana karena sumber keuangan hanya berasal dari pemerintah dan donatur saja. Sementara biaya untuk melakukan kampanye sangat tinggi sehingga memaksa para politikus untuk melakukan korupsi. Pemerintahan yang kotor atau korup harus segera diberantas karena sangat merugikan negara baik dari segi finansial maupun sosial.

Akibat pemerintahan yang korup maka subsidi untuk rakyat miskin menjadi berkurang, pembangunan yang dilakukan tidak maksimal karena dana pembagunan ditilep. Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat tidak akan tercapai selama korupsi masih mengakar kuat di Indonesia. Menurut Ketua Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Arie Soelendro, kerugian negara akibat tindak pidana korupsi selama tahun 2004 hingga April 2005 saja mencapai Rp 3,551 triliun dan US$ 74,6 juta atau Rp 716,2 miliar (dengan kurs Rp 9.600 per US$ 1) . Sebuah angka fantastis yang ditengah jeritan rakyat yang mengalami kesusahan untuk menghidupi kehidupannya.

Perumusan solusi atas permasalahan korupsi di indonesia tidaklah semudah membalikkan tangan. Diperlukan usaha preventif dan represif atas pemyimpangan tersebut. Tetapi selama ini upaya pemerintah untuk mengatasi korupsi hanya terfokus pada tindakan represif atau penindakan terhadap kasus korupsi. Akibatnya korupsi seakan-akan selalu muncul. Apalagi ditambah dengan sistem penindakan dan sistem sangsi yang belum optimal, maka kasus korupsi akan sulit unutk diberantas. Oleh karena itu tindakan preventif juga harus dilakukan. Salah satu solusi dan tahapan pertama yang harus dilakukan untuk memberantas korupsi adalah dengan menciptakan "good governance" dalam pemerintahan Indonesia.

 "Good Governance", Pijakan Utama
Menurut Ibnu Khaldun, kekuatan atau kelemahan suatu negara bergantung kepada para pemimpin politik atau pemerintahnya. Seharusnya, pemerintah atau penguasa politik (G) mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya (N) dengan menyediakan lingkungan yang sesuai untuk aktualisasi pembangunan (g) dan keadilan (j) melalui implementasi keadilan pada tataran pelaksanaan (S) dengan pembangunan dan pemerataan distribusi kekayaan (W).

G=f (S,N,W, g dan j)

Persamaan diatas mencerminkan karakter interdisipliner dengan memperhatikan variabel penting yang dirumuskan. Pada persamaan tersebut G dianggap sebagai variabel terikat (dependent variable) karena salah satu tujuan utamanya adalah menjelaskan kejayaan dan keruntuhan suatu negara (Chapra, 2001:155) .

Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat ditentukan oleh peran dominan pemerintah, walau ada beberapa faktor lainnya yaitu swasta dan masyarakat. Pemerintah sebagai regulator pembuat kebijakan adalah penentu orientasi pembangunan sehingga akan menentukan tingkat kesejahteraan rakyat. Melihat kasus korupsi yang terjadi maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan rekontruksi pemerintah agar good governance dapat tercipta.

Menurut LAN dan BPKP definisi dari Good Governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat (society).

Dengan merujuk pada pengalaman pembangunan di negara‐negara Afrika Sub‐Sahara, argumen‐argumen tersebut dibangun pada asumsi bahwa negara (pemerintah) menjadi sumber masalah dan sumber kegagalan pembangunan. Resep yang ditawarkan adalah dengan membangun tata pemerintahan yang baik (good governance) yang pada prinsipnya mengurangi intervensi dan peran pemerintah. Dalam pandangan ini, pemerintahan yang besar (big government) seringkali menjadi sumber bagi berkembangnya kepemerintahan yang buruk (bad governance), yang menjadi sarang bagi berbagai sumber kegagalan pembangunan. Dalam mengatasi kegagalan pembangunan ini, menurut Bank Dunia, pemerintah adalah dimensi pertama yang harus direformasi .

Prinsip dasar yang menandai good governance adalah “kepastian hukum, transparansi, partisipasi, profesionalitas, dan pertanggung jawaban (akuntabilitas)”; yang dalam konteks nasional perlu ditambahkan dengan nilai dan prinsip “daya guna, hasil guna, bersih (clean government), desentralisasi, kebijakan yang serasi dan tepat, serta daya saing”.

Untuk mewujudkan nilai dan prinsip diatas maka diperlukan reformasi birokrasi yang terfokus pada pihak eksekutif dan administrasi negara yang merupakan salah satu jalur strategis bagi tercapainya good governance. Reformasi birokrasi tersebut meliputi unsur-unsur organisasi, manajemen dan sumber daya manusia (SDM).

Ketiga unsur tersebut merupakan unsur-unsur pemerintah yang harus segera dibenahi. Tetapi jika kita berbicara mengenai prioritas maka perbaikan sumber daya manusia adalah hal yang paling utama. Manusia adalah pembuat sistem sekaligus yang akan menjalankannya. Apabila kualitas SDM rendah, maka output sistem juga memiliki kualitas yang rendah.

Memang reformasi yang harus dilakukan tidak boleh dilakukan secara parsial. Namun dalam merencanakan sebuah reformasi prioritas merupakan hal yang penting karena diharapkan pemerintah akan mengetahui tingkat urgensinya. Melihat sejarah bangsa ini kita juga bisa mengamati bahwa perbaikan SDM harus menjadi prioritas utama. Berbagi modifikasi kebijakan yang saat ini pernah dilakukan belum mampu mencapai hasil yang maksimal dikarenakan kualitas dan keahlian SDM di pemerintah yang kurang kompeten.

Emosi, Yang Terlupakan
Pemerintah Indonesia ibarat sebuah organisasi besar yang terdiri atas berbagai macam fungsi-fungsi yang saling berkoordinasi untuk mencapai suatu tujuan. Sebagai sebuah organisasi, pemerintah juga tidak luput dari berbagai macam permasalahan yang diakibatkan dari faktor internal maupun eksternal. Permasalahan akut yang dihadapi oleh Indonesia saat ini muncul dari dalam internal pemerintahan sendiri.

Hal tersebut dapat terjadi karena manusia-manusia yang mengisi pemerintahan saat ini belum memiliki kualifikasi layak menjadi seorang representator rakyat yang menjalankan fungsinya untuk menyejahterakan rakyat. Akibatnya permasalahan seperti konflik kepentingan, material oriented, dan yang paling parah “korupsi” masih memenuhi daftar koreksi pemerintah saat ini.

Berbagai kebijakan atau program-program telah ditelurkan untuk memecahkan masalah tersebut, khususnya korupsi. Tetapi faktanya korupsi tetap terjadi dan menjadi hal yang lumrah di Indonesia. Walaupun ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun keberadaannya yang lebih fokus sebagai lembaga penyelidik tidak akan mampu mengurangi korupsi secara signifikan karena sangsi yang diberikan pada para koruptor sangatlah ringan jika dibandingkan negara lain seperti China yang berani menjatuhkan hukuman mati bagi koruptor. Sistem sangsi yang ringan tidak akan mampu memberikan efek jera sehingga seseorang tidak takut untuk melakukan pelanggaran tersebut.

Selama ini pemerintah terlalu fokus dengan usaha represi dan kurang memperhatikan upaya preventif, akibatnya masalah tersebut selalu muncul. Oleh karena itu pemerintah harus merubah paradigma penyelesaian masalah korupsi. Salah satu usaha preventif dapat dilakukan dengan menciptakan good governance.  Sebenarnya pemerintah telah mengenalkan sistem ini sudah cukup lama, namun belum secara optimal dilaksanakan.

“There is nothing more difficult to take in hand, more perilous to conduct, or more uncertain in the success, than to take the lead in the introduction of a new order of things” (Machiavelli). Good Governance adalah sebuah tatanan baru bagi pemerintah sehingga wajar jika sulit untuk diterapkan. Namun pemerintah juga harus mengoreksi pendekatan implementasi yang digunakan, karena sistem tersebut sudah cukup lama didengungkan.

Selama ini kajian-kajian tentang perubahan dalam organisasi lebih banyak berada pada tataran rasional. Pandangan bahwa individu akan mudah menerima perubahan apabila ada penjelasan rasional merupakan pandangan umum dalam perubahan organisasi sehingga strategi perubahan organisasi mengikuti pola rasional (Bennis & Chin, 1997).

Manusia adalah faktor penting dalam perubahan suatu organisasi. Pendekatan rasional yang dilakukan saat ini bukan merupakan pendekatan yang terbaik karena belum memandang manusia secara untuh. Manusia bukan hanya sosok rasional tetapi juga sosok emosional yang melekat dalam dirinya dan mempengaruhi pola tingkah lakunya.

Implementasi tatanan baru yang tidak memandang manusia secara utuh akan mengakibatkan resistensi dalam tubuh organisasi. Resistensi yang tidak dikelola maka akan mengakibatkan kegagalan dalam implementasi tatanan baru, bahkan kegagalan organisasi. Jika melihat resistensi yang dilakukan maka kita juga akan mendapati bahwa resistensi juga melibatkan emosi, sehingga pendekatan juga harus mempertimbangkan faktor emosi.

Emosi adalah adalah istilah yang digunakan untuk keadaan mental dan fisiologis yang berhubungan dengan beragam perasaan, pikiran, dan perilaku. Emosi adalah pengalaman yang bersifat subjektif, atau dialami berdasarkan sudut pandang individu. Emosi berhubungan dengan konsep psikologi lain seperti suasana hati, temperamen, kepribadian, dan disposisi .

Untuk dapat memahami emosi sebagai bagian integral dalam perubahan organisasi, maka beberapa hal mengenai peran emosi dalam organisasi perlu diperjelas. Emosi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pemaknaan dalam proses keorganisasian, termasuk perubahan organisasi. Ketika terjadi perubahan dalam organisasi, maka akan terjadi hal-hal diluar kebiasaan organisasi, sehingga para anggota organisasi merasa terkejut /surprise, shock, bahkan merasa terancam. Emosi merupakan reaksi yang wajar secara psikologis terhadap kejadian-kejadian tersebut, dan individu akan berusaha memberikan makna terhadap kejadian tersebut, yang diluar kebiasaan. Pemaknaan ini tidak meliputi proses kognitif saja, tapi juga melibatkan emosi individu, dan kedua proses ini saling terjalin.

Emosi merupakan bagian integral dari proses adaptasi dan motivasi. Dalam kajian psikologi, emosi terutama dilihat sebagai fungsi adaptif ketika terjadi sesuatu yang mengancam individu, yang membantu penyesuaian individu terhadap situasi tertentu (flight or fight reaction). Sebagian ahli mengatakan emosi merupakan komponen penting dari motivasi individu, karena emosi akan mendorong individu untuk berperilaku tertentu (Frijda, 1993; Fineman, 2001) .

Emosi merupakan faktor yang penting dalam sebuah organisasi. Sifat emosi dapat bersifat positif dan negatif tergantung bagaimana manajemen mengelolanya, dalam hal ini pemerintah. Oleh karena itu untuk menerapkan suatu tatanan baru pemerintah dapat melakukan rekontruksi pada level organisasi.

Pada level organisasi pengelolaan emosi dapat dilakukan dengan memberikan ruang bagi seseorang untuk mengekspresikan emosi yang terkait dengan perubahan, menerima emosi sebagai bagian integral dari perubahan, menghargai individu yang mengalami dampak perubahan, dan memberikan penjelasan bahwa manajemen bukanlah pihak yang eksploitator atau semata-mata ditujukan bagi kepentingan kelompok tertentu.

Keberhasilan menerapkan suatu tatanan baru, dalam hal ini terkait dengan penerapan sistem good governance, terletak pada upaya pengelolaan resistensi yang timbul akibat perubahan yang terjadi. Sistem good governance sebagai solusi atas kasus korupsi yang menjangkiti kinerja pemerintahan tidak hanya akan berakhir dalam sebuah dongeng-dongeng euforia bagi rakyat Indonesia. Semoga dengan pengelolaan emosi maka pemerintah mampu mewujudkan good governance.

Ketika Good Governance Melawan Korupsi
Seperti yang dijelaskan diatas, dampak korupsi bagi negara dan rakyat sangat merugikan baik dari segi material maupun non material. Korupsi dapat terjadi karena dua hal. Yang pertama karena niat jahat dari pelaku untuk korupsi. Sedangkan yang kedua karena sistem pemerintahan yang memberikan celah bagi pelaku untuk melakukan korupsi.

Tetapi jika dicermati, masalah utama yang menyebabkan terjadinya korupsi disebabkan karena ada celah dari sistem pemerintahan untuk melakukan korupsi. Keinginan jahat dari pelaku tidak akan menjadi sebuah kasus korupsi jika suatu sistem tidak memberikan celah untuk melakukan korupsi. Good Governance adalah sebuah sistem yang dapat menjadi suatu upaya preventif terhadap korupsi di Indonesia.

Berdasarkan prinsip Good Governance model UNDP, Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur I Lembaga Administrasi Negara (PKP2A I LAN) telah mengonsep pengukuran Good Governance untuk Pemerintahan yang meliputi 8 dimensi dan 16 indikator, yaitu:

Asas Good Governance
Indikator
Taat Hukum
Kualitas pelaksanaan penegakan hukum.
Ketersediaan dasar hukum.
Partisipasi
Intensitas dan kualitas keterlibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan.
Keterlibatan masyarakat dalam memonitor penyelenggaraan pemerintahan.
Daya Tanggap
Ketersediaan dan kejelasan mekanisme dan prosedur pengaduan
Kecepatan dan ketepatan Pemda dalam menanggapai pengaduan.
Transparansi
Keterdediaan mekanisme bagi publik untuk mengakses informasi publik.
Kecepatan dan kemudahan mendapatkan informasi
Akuntabilitas
Akuntabel pengelolaan anggaran yang dikeluarkan.
Pertanggungjawaban kinerja.
Kesetaraan
Ketersediaan jaminan semua orang untuk mendapatkan pelayanan, perlindungan dan pemberdayaan. 
Kualitas pelayanan, perlindungan dan pemberdayaan yang tidak diskriminatif.
Efktivitas dan Efisiensi
Tingkat ketepatan pemberian pelayanan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat.
Tingkat efisiensi jalannya pemerintahan.
Visi strategik
Kejelasan arah pembangunan daerah yang direncanakan.
Konsistensi kebijakan untuk mewujudkan visi dan misi.


Apabila Indonesia telah mampu menciptakan good governance di dalam pemerintahan maka tingkat kebocoran anggaran dari kasus korupsi dapat dikurangi secara signifikan. Hal itu berdampak dengan meningkatkannya tingkat kesejahteraan rakyat karena proses pembangunan dapat dilakukan dengan optimal tanpa adanya korupsi. Tidak ada lagi dana pembangunan yang bocor atau diselewengkan yang akan membuat proses pembangunan tidak optimal.

Menurut Wakil Ketua KPK, Haryono Umar, KPK sebagai salah satu lembaga yang memfokuskan diri pada upaya penindakan atau represif saja mampu menyelamatkan aset negara mencapai 4 Triliyun. Apalagi jika hal itu disertai dengan upaya preventif terhadap kasus korupsi. Saya kira kelak korupsi hanya akan menjadi dongeng bagi anak cucu kita.

Dana kesejahteraan rakyat yang masih kalah dari dana pemilihan umum dapat ditingkatkan atau digunakan secara optimal karena sudah seharusnya kebijakan pemerintah selalu mengedepankan kepentingan rakyat banyak. Jadi inilah perlawanan ala Good Governance yang menjadi sebuah upaya preventif dan bagi kasus korupsi di Indonesia. Semoga pijakan uatam inilah yang akan menghapuskan korupsi di Indonesia sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.  

Referensi:
M. Fajrul Falaakh, Strategi Menuju Clean and Good Government. 15 Desember 2003
http://www.skripsi-tesis.com/07/05/good-governance-pada-pemerintah-provinsi-diy-pdf-doc.htm/feed
Saiful Arif dan Paring W. Utomo. Good Governance Dalam Perspektif Otonomi Daerah.
Pontas R Siahaan. Pengelolaan SDM Dalam Rangka Penerapan Good Corporate Governance.
C.D.Ino Yuwono dan M.G.Bagus Ani Putra. Faktor Emosi dalam Perubahan Organisasi.  INSAN Vol. 7 No. 3, Desember 2005
Pratikno (2007), ’Governance dan Krisis Teori Organisasi’ Jurnal Administrasi Kebijakan Publik, November 2007, Vol. 12, No. 2, Yogyakarta: MAP UGM.
Bahrin. Dampak Korupsi Terhadap Kehancuran Negara dan Upaya Penanggulangannya. 31 Mei 2004
Prof  Dr Mustopadidjaja AR. Reformasi Birokrasi, Perwujudan Good Governance, dan Pembangunan Masyarakat Madani. Disampaikan Pada Silaknas ICMI 2001
Riza Nizarli. Pemberantasan Korupsi Melalui Good Governence. Disampaikan pada Seminar Perkembangan Tindak Pidana Korupsi sebagai Tindak Pidana Khusus, Kerjasama Fakultas Hukum Unsyiah dengan Forum HEDS, Banda Aceh, 7 Oktober 2006