Minggu 8 Desember 2013
Sabtu malam Reza mengirimkan sms
kepadaku, katanya data-data mengenai kasus Riki-Pleto bisa kita peroleh dari
Kapolsek Tegalrejo tanpa harus didampingi oleh ahli hukum. Keharusan polisi
untuk bersikap transparan menjadi dasarnya.
Minggu pagi aku dan kawanku, Eko,
pergi ke Kapolsek Tegalrejo untuk meminta data-data yang kami butuhkan. Kami
langsung dihubungkan ke bagian reserse untuk mendapatkan data tersebut. Sayang
sekali ketika kami berbicara dengan salah satu anggota reserse, dia menolak
untuk memberikan keterangan mengenai kronologi kasus. Dia meminta kami untuk
bertemu dengan kepala reserse pada Hari Senin pagi karena dia libur di akhir
pekan.
Sebelum kami meninggalkan kantor
reserse kami melongok ke layar whiteboard yang berisi coretan-coretan dan
gambar denah. Pelan-pelan aku amati ternyata itu adalaah detail perkara Kasus
Riki-Pletho. Dari sana kami tahu bahwa tkp nya berada di Pondok Pesantren Al
Barokah tak jauh dari Kapolsek Tegalrejo. Kami segera menuju tempat itu.
Dalam perjalanan aku berpikir,
untuk apa kami harus kesana? Apakah hanya ingin survey dan melihat tkp saja
atau ada hal yang lain? Setelah berpikir cukup dalam, akhirnya aku memutuskan
untuk mencoba bertemu dengan korban pencurian itu di pondok pesantren untuk
meminta maaf. Lucu? Intuisi menjadi pedoman kami, entah kemana dia akan membawa
kami.
Sampai di Pondok Pesantren Al
Barokah kami disambut dengan rahmat oleh pengurus disana. Disana kami menemui
Mas Wakhid, Rakhmat dan mbak-mbak (pemilik sepeda). Kami memulai dengan
memintakan maaf atas nama Riki-Pleto atas perbuatan mereka kepada mbak-mbak.
Sampai hari ini sepeda mereka masih berada di Kapolsek Tegalrejo padahal sepeda
itu dipakai oleh mereka untuk pergi ke sekolah sehari-harinya. Hatiku tiba-tiba
teriris.
Hatiku lebih teriris lagi ketika
Mas X yang berada dalam diskusi mengatakan bahwa sebenarnya Riki-Pletho sering
mengamen di daerah ini dan warga cukup ramah dengan mereka. Bahkan warga pernah
mengundang mereka untuk menyanyikan lagu dan memberikan balas jasa yang cukup.
Eh, kok dua minggu setelahnya mereka mencuri katanya kesal.
Dengan kebaikan hati mereka mau
memaafkan perbuatan Riki-Pletho. Aku sangat bersyukur sekali. Kelak aku akan
menyampaikan hal ini dan semoga Riki menjadi lebih lega dan dia sadar akan
perbuatannya.
Permintaan maaf telah kami
sampaikan dan mereka sudah memaafkan, lalu selanjutnya? Aku mencoba mengajukan
penyelesaian kasus ini secara kekeluargaan. Ada beberapa pertimbangan yang aku
ajukan kepada mereka.
Pertama, sudah cukup lama Save
Street Child Jogja berproses dengan Riki dan kami memandang bahwa Riki adalah
anak yang baik. Belum pernah kami mendengar cela atas dirinya apalagi memiliki
masalah dengannya. Kedua, Riki memiliki seorang adek yang tentu saja masih
membutuhkan keberadaannya. Ketiga, Hukuman penjara mungkin akan memberikan efek
jera kepada Riki, tetapi apakah hal itu akan membawanya lepas dari kehidupan
jalanan? Tidak ada yang menjamin.
Ada pertimbangan lain yang sempat
saya utarakan seperti kehidupan jalanan yang membentuk karakter anak jalanan
sehingga pembandingan menjadi tidak adil. Nihilnya peran orang tua juga kami
utarakan dan memang saat ini Riki bisa dikatakan berjuang sendiri untuk
kehidupannya. Peran pemerintah? Pertanyaan retoris!
Diskusi kami dengan pihak
pesantren cukup terbuka dan responsif. Saya melihat mereka cukup dalam dalam
memutuskan. Kemungkinan mereka akan menjenguk Riki di Kapolresta Ngupasan,
Yogyakarta. Atau mereka akan datang berkunjung ke Badran untuk menemui Bu
Ginah, Ibu yang sehari-hari bertemu dengan Riki.
Jika melihat respon mereka,
sepertinya kasus Riki-Pletho bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Selanjutnya
adalah pencabutan BAP jika mereka bersedia. Tiba-tiba terbesit masalah berapa
biaya pencabutan BAP ini. Untuk membayar biaya administrasi di LBH saja kami
harus berpikir dan mencoba bernegosiasi agar bisa digratiskan. Tetapi biarlah
penyelesaian kasus ini dilakukan secara bertahap. Sekarang inilah yang kami
hadapi, penyelesaian secara kekeluargaan.
Hari senin pagi saya akan tetap
ke LBH Yogyakarta sembari menunggu respon dari Pihak Pondok Pesantran Al
Barokah. Upaya ini kami lakukan sebagai solusi alternatif jika Riki-Pletho harus
maju ke sidang. Kami meyakini bahwa Riki-Pletho membutuhkan seorang ahli hukum
untuk mendampingi mereka. Maju sidang tanpa pendamping adalah bukti kepasrahan menerima
segala keputusan tanpa sikap kritis.
Apalagi kami, Save Street Child Jogja, tidak mampu mengawasi jalannya
sidang karena sifat sidang anak-anak adalah tertutup.
Segala upaya akan kami lakukan
dan semoga tindakan kami ini adalah gerakan menuju Tuhan (kebenaran)!
No comments:
Post a Comment