Monday, 9 December 2013

Untuk Rikinaldo #3 Pesantren Al Barokah

Minggu 8 Desember 2013 
 
Sabtu malam Reza mengirimkan sms kepadaku, katanya data-data mengenai kasus Riki-Pleto bisa kita peroleh dari Kapolsek Tegalrejo tanpa harus didampingi oleh ahli hukum. Keharusan polisi untuk bersikap transparan menjadi dasarnya. 

Minggu pagi aku dan kawanku, Eko, pergi ke Kapolsek Tegalrejo untuk meminta data-data yang kami butuhkan. Kami langsung dihubungkan ke bagian reserse untuk mendapatkan data tersebut. Sayang sekali ketika kami berbicara dengan salah satu anggota reserse, dia menolak untuk memberikan keterangan mengenai kronologi kasus. Dia meminta kami untuk bertemu dengan kepala reserse pada Hari Senin pagi karena dia libur di akhir pekan.

Sebelum kami meninggalkan kantor reserse kami melongok ke layar whiteboard yang berisi coretan-coretan dan gambar denah. Pelan-pelan aku amati ternyata itu adalaah detail perkara Kasus Riki-Pletho. Dari sana kami tahu bahwa tkp nya berada di Pondok Pesantren Al Barokah tak jauh dari Kapolsek Tegalrejo. Kami segera menuju tempat itu.

Dalam perjalanan aku berpikir, untuk apa kami harus kesana? Apakah hanya ingin survey dan melihat tkp saja atau ada hal yang lain? Setelah berpikir cukup dalam, akhirnya aku memutuskan untuk mencoba bertemu dengan korban pencurian itu di pondok pesantren untuk meminta maaf. Lucu? Intuisi menjadi pedoman kami, entah kemana dia akan membawa kami.

Sampai di Pondok Pesantren Al Barokah kami disambut dengan rahmat oleh pengurus disana. Disana kami menemui Mas Wakhid, Rakhmat dan mbak-mbak (pemilik sepeda). Kami memulai dengan memintakan maaf atas nama Riki-Pleto atas perbuatan mereka kepada mbak-mbak. Sampai hari ini sepeda mereka masih berada di Kapolsek Tegalrejo padahal sepeda itu dipakai oleh mereka untuk pergi ke sekolah sehari-harinya. Hatiku tiba-tiba teriris.

Hatiku lebih teriris lagi ketika Mas X yang berada dalam diskusi mengatakan bahwa sebenarnya Riki-Pletho sering mengamen di daerah ini dan warga cukup ramah dengan mereka. Bahkan warga pernah mengundang mereka untuk menyanyikan lagu dan memberikan balas jasa yang cukup. Eh, kok dua minggu setelahnya mereka mencuri katanya kesal.

Dengan kebaikan hati mereka mau memaafkan perbuatan Riki-Pletho. Aku sangat bersyukur sekali. Kelak aku akan menyampaikan hal ini dan semoga Riki menjadi lebih lega dan dia sadar akan perbuatannya.
Permintaan maaf telah kami sampaikan dan mereka sudah memaafkan, lalu selanjutnya? Aku mencoba mengajukan penyelesaian kasus ini secara kekeluargaan. Ada beberapa pertimbangan yang aku ajukan kepada mereka. 

Pertama, sudah cukup lama Save Street Child Jogja berproses dengan Riki dan kami memandang bahwa Riki adalah anak yang baik. Belum pernah kami mendengar cela atas dirinya apalagi memiliki masalah dengannya. Kedua, Riki memiliki seorang adek yang tentu saja masih membutuhkan keberadaannya. Ketiga, Hukuman penjara mungkin akan memberikan efek jera kepada Riki, tetapi apakah hal itu akan membawanya lepas dari kehidupan jalanan? Tidak ada yang menjamin. 

Ada pertimbangan lain yang sempat saya utarakan seperti kehidupan jalanan yang membentuk karakter anak jalanan sehingga pembandingan menjadi tidak adil. Nihilnya peran orang tua juga kami utarakan dan memang saat ini Riki bisa dikatakan berjuang sendiri untuk kehidupannya. Peran pemerintah? Pertanyaan retoris!

Diskusi kami dengan pihak pesantren cukup terbuka dan responsif. Saya melihat mereka cukup dalam dalam memutuskan. Kemungkinan mereka akan menjenguk Riki di Kapolresta Ngupasan, Yogyakarta. Atau mereka akan datang berkunjung ke Badran untuk menemui Bu Ginah, Ibu yang sehari-hari bertemu dengan Riki.

Jika melihat respon mereka, sepertinya kasus Riki-Pletho bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Selanjutnya adalah pencabutan BAP jika mereka bersedia. Tiba-tiba terbesit masalah berapa biaya pencabutan BAP ini. Untuk membayar biaya administrasi di LBH saja kami harus berpikir dan mencoba bernegosiasi agar bisa digratiskan. Tetapi biarlah penyelesaian kasus ini dilakukan secara bertahap. Sekarang inilah yang kami hadapi, penyelesaian secara kekeluargaan.

Hari senin pagi saya akan tetap ke LBH Yogyakarta sembari menunggu respon dari Pihak Pondok Pesantran Al Barokah. Upaya ini kami lakukan sebagai solusi alternatif jika Riki-Pletho harus maju ke sidang. Kami meyakini bahwa Riki-Pletho membutuhkan seorang ahli hukum untuk mendampingi mereka. Maju sidang tanpa pendamping adalah bukti kepasrahan menerima segala keputusan tanpa sikap kritis.  Apalagi kami, Save Street Child Jogja, tidak mampu mengawasi jalannya sidang karena sifat sidang anak-anak adalah tertutup.

Segala upaya akan kami lakukan dan semoga tindakan kami ini adalah gerakan menuju Tuhan (kebenaran)!

No comments:

Post a Comment