Mereka berbaris rapi dalam saf
menghadap ke barat. Deretan muka khusyuk yang meratap kepada sang pencipta. Dibalik
teralis jeruji aku mencoba mencari sosok seorang kawan yang katanya ditahan.
Sudah seminggu lamanya, tetapi kabar itu baru aku dengar semalam. Setelah
berusaha mencari kanan-kiri akhirnya aku menemukan sosok kecil mungil yang
telah cukup lama aku kenal. Dia adalah Riki, pengamen jalanan yang pendiam.
Bada sholat jumat aku dan kawan
Ikhsan sepakat untuk pergi ke Badran setelah kami mendengar kabar penangkapan
Riki dan kawannya bernama Pleto. Aku kaget bukan main atas penangkapan Riki.
Beribu tanya tiba-tiba menghujam dan tidak ada cara lain selain mengulik tanya
itu kedalam pencarian jawab. Rumah Bu Waginah di Badran menjadi sasaran pertama
kami.
Setiba di Badran kami menemui Bu
Waginah yang nampaknya sedang beristirahat. Tersirat kelelahan dari raut mukaya
yang termakan oleh usia. Sepertinya Bu Waginah sudah menebak tujuan kedatangan
kami, tanpa panjang lebar kami segera menanyakan kronologi kejadian dan hal-hal
yang terkait.
Beliau bertutur bahwa Riki
ditangkap pada tanggal 29 November atau seminggu yang lalu di Daerah Tegalrejo.
Dia ditangkap ketika kawannya sedang melakukan pencurian sebuah sepeda onthel.
Dia tak mampu melarikan diri ketika warga memergoki aksi yang dilakukan
kawannya.
Cerita singkat yang membuatku
semakin paham dengan kasus ini. Diakhir cerita Bu Waginah memberikan surat
penangkapan Riki. Hatiku teriris membaca bait demi bait kalimat surat
penangkapan itu. Anak sekecil itu telah mengalami hal traumatik dalam dirinya.
Jika saja ada orang tua yang membantunya. Sayang, dia hanya sendiri.
Dari Badran kami bertolak menuju
Kapolsek Tegalrejo. Aku pergi bersama adek Riki lalu menyusul Beki yang datang
terlambat. Sayang, setibanya di Kapolsek kami tidak bisa menemui Riki karena dia
telah dipindahkan ke Kapolresta di Daerah Ngupasan, Malioboro. Segera kami
meluncur ke Kapolresta mengingat hari sudah cukup sore. Berharap kami tidak
dipersulit untuk menemui kawan kami.
Suasana Kapolresta cukup ramai.
Dari kejauhan aku melihat kerumunan di ruang pendaftaran pembesuk tahanan.
Sepertinya kami harus menunggu cukup lama untuk menemui Riki. Sekitar satu jam
kami harus menunggu giliran untuk mengunjungi kawan kami. Tetapi kami cukup
bersyukur karena datang di saat yang tepat. Hari kunjungan hanya dibuka pada
Hari Selasa dan Jumat saja.
Setelah mendapat kartu berkunjung
kami segera masuk ke dalam area tahanan. Dari kejauhan kami melihat senyum
Pleto yang melihat kehadiran kami. Kami bersyukur telah menemukan anak ini,
tetapi dimana si Riki?
Dalam barisan sholat aku melihat
sosok mungilnya yang kalah dengan postur tahanan dewasa yang berbadan besar.
Anak sekecil itu terpaksa ditahan bersama tahanan dewasa. Lagi-lagi kami harus
mengantri untuk bertemu dengan anak ini.
Akhirnya dia keluar juga dari
balik teralis. Rompi bercorak batik dikenakan sebagai pembeda pembesuk dan
tahanan. Wajah penyesalan terbaca jelas dari raut mukanya. Ah, aku jadi melow
melihatnya. Aku tidak banyak bertanya, mungkin hatiku sudah lega melihatnya
sehat walau sekarang rambutnya botak plonthos dicukur oleh polisi. Berbincang
sebentar dengan anak ini terkait kasus yang dihadapinya dan kondisi yang
dialaminya. Katanya sih dia baik-baik saja (semoga). Ketika polisi melakukan
penyidikan awalnya mereka didampingi oleh ahli hukum (entah pengacara, entah
advokat, atau hanya orang yang pura-pura ahli masalah hukum). Tetapi katanya
mereka (Riki dan Pletho) sepakat untuk tidak menggunakan bantuan hukum karena
masalah hukum. Ah, beribu nama binatang ingin keluar dari mulut benar-benar.
Biaya? Untuk anak kecil dan terpinggirkan seperti mereka?
Tidak perlu kaget memang. Itu
kenapa kami datang ke tempat ini. Kami sudah bertekad untuk mengawal kasus
mereka. Tidak muluk-muluk menjadi seorang pahlawan yang membebaskan mereka.
Kami hanya ingin mengawal kasus ini supaya penegakan hukumnya tidak
diskriminatif dan sesuai karena kawan kami adalah anak-anak.
Jam besuk ternyata tidak selama
waktu yang dibutuhkan untuk mengantri. Setelah pak polisi mengusir kami. Kami
segera bertolak menuju markas PKBI di Tamsis. Ini adalah kasus pertama yang
kami hadapi dan kami belum memiliki bayangan sedikit pun untuk menghadapinya.
Langkah yang terbaik menurut kami adalah pergi meminta bantuan dan saran dan
PKBI adalah kawan dekat kami yang bisa kami harapkan.
Di PKBI kami bertemu dengan Gara,
kawan yang mengorganisir kawan-kawan anjal dan anak marjinal. Dia pernah mengurusi
kasus yang serupa jadi kami belajar banyak darinya. Dia juga memberikan
beberapa saran rujukan bantuan hukum kepada kami karena untuk masalah ini kami
membutuhkan ahli hukum sebagai representasi kami apalagi kasusnya cukup unik,
yaitu anak-anak.
Ada dua posi yang ditawarkan
yaitu pergi ke LBH Yogyakarta dan menghubungi tim advokasi dinas sosial.
Melihat jam yang sudah cukup sore yaitu kami langsung pami dan pergi menuju LBH
Yogyakarta yang katanya buka sampai jam 5 sore.
Letaknya tidak terlalu jauh dari
Jalan Taman Siswa yaitu di daerah Kota Gede. Sampai disana kami disambut oleh
front office. Segera kami mengutarakan maksud kami. Tetapi sayang seribu
sayang, dia hanya front office yang mengurusi masalah pendaftaraan saja
sementara para advokat dan ahli hukum sudah pulang. Mau tidak mau kami harus
menunggu sampai Hari Senin. Ada kesan kurang ramah dan tidak responsif ketika
beliau menyambut kami. Semoga itu hanya perasaan kami saja.
Walau belum ada hasil yang
signifikan pada hari ini. Kami sepakat untuk tetap semangat. Semoga yang
terbaik untuk kawan kami, Riki dan Pletho.
No comments:
Post a Comment