Monday, 30 July 2012

SBY Bayar Rp 2.000 Masuk UGM

Alkisah seorang kepala negara yang terhormat dihadapan pada permasalahan pelik yang melanda negaranya. Sebuah krisis ekonomi akan segera menghantam negeri ini akibat keterbatasan sumber daya pangan. Sang kepala negara memanggil seluruh jajaran menterinya untuk mendiskusikan masalah tersebut. Tetapi hal itu sia-sia saja, jajaran menteri tidak memiliki ide sepeserpun untuk mencegah terjadinya krisis. Maklum, ijazah yang mereka miliki bisa dikatakan hanya formalitas saja.

SBY sadar bahwa dirinya tidak bisa menggantungkan solusi ini terhadap menteri kesayangannya. Ia pun meminta nasehat dari juru bicaranya yang sangat pandai menangani setiap maslaah menyangkut nama baiknya.

Di istana kepresidenan, SBY memanggil juru bicaranya di sela-sela waktu istirahatnya. Ia mengemukakan masalahnya mengenai krisis yang akan dihadapi oleh bangsanya. Setelah berpanjang lebar mengemukakan pendapat dan pertimbangan, celoteh singkat keluar dari jubir. Ia  mengatakan, “Pergi saja ke UGM, disana tempatnya orang pintar”.

SBY pun tersentak, ia sadar bahwa ia tidak harus pusing tujuh keliling untuk memikirkan nasib bangsa sendiri. Ia memiliki para ahli yang belajar tekun di universitas untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh bangsanya.

Ia pun bergegas memerintahkan pengawalnya untuk menyiapkan semua transportasi dan akomodasi kepergiaannya ke Universitas Gadjah Mada (UGM) yang berada di Yogyakarta. Pesawat kepresidenan segera didaratkan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta untuk menerbangkan SBY ke UGM.

Satu jam dilalui SBY di udara untuk mengantarkannya ke Yogyakarta. Setelah mendarat di Bandara Adi Sutjipto ia bergegas menuju UGM dengan mobil tahan peluru yang dibelinya seharga 1 milyar itu. Polisi dikerahkan untuk memblokade jalan raya agar SBY sampai ke UGM dengan cepat walau harus membuat jalan raya macet.

Gerbang Boulevard UGM sudah terlihat, tetapi lesatan laju mobil kepresidenan beserta polisi pengawal dihentikan oleh sosok berseragam biru. Sosok biru itu adalah Satuan Keamanan Kampus (SKK) UGM. Ia meminta SBY untuk menunjukkan Kartu Identitas Kendaraan (KIK) untuk memasuki UGM. Tak ayal, SBY bingung dengan kartu identitas macam itu. SBY mengatakan bahwa ia tidak memiliki KIK dan membujuk SKK agar mengijinkannya masuk ke UGM untuk memecahkan persoalan bangsa.

SKK pun mengerti keadaan presiden dan ia memberikan alternatif lain, yaitu membayar Rp 2.000 untuk mobil kepresidenan yang akan memasuki kawasan UGM. Nasib buruk masih menaungi SBY, karena ternyata ia tidak membawa uang sepeser pun. Akhirnya SBY menyerah, Ia berpikir kalau saja ia tahu ada KIK di UGM, ia akan menyipakan uang Rp 2.000 terlebih dahulu sebelum pergi ke UGM.


Kepergianku


Kita tak menanam apa-apa, kita tak akan kehilangan apa-apa. Detik jarum jam berdentang beriringan dengan denyut jantungku yang terbakar amarah. Rumah biru dan putih begitu hening siang ini setelah pertengkaran besar yang terjadi. Pembantuku buru-buru pulang dengan kekhawatiran membuncah diwajahnya karena ia tak tahu apa yang terjadi. Kawan serumahku juga masih menutup rapat kamarnya rapat-rapat seolah tak mau mengetahui. Aku tak mau peduli lagi dan terus mengemasi barang-barang yang tersisa di kamar atas.

Baru sekitar 2 bulan aku dan patnerku menempati rumah baru ini tetapi hari ini aku harus pergi begitu saja padahal rumah biru dan putih ini adalah cita-cita panjang kami. Memang semua yang dibangun bias saja runtuh tiba-tiba oleh ledakan dan ledakan besar benar-benar terjadi.

Kupandangi foto-foto yang terpajang rapi di rak, senyum lebar aku lihat diwajahku sementara wajahnya datar-datar saja, katanya ia tak bisa tersenyum karena postur wajahnya “inverse smiley”. Melihat foto itu membuatku menyelam ke masa-masa bahagia yang pernah kami lalui bersama. “Biarlah” gumamku lirih dan aku terus mengepaki buku-buku kedalam kardus coklat. Sepertinya aku akan meninggalkan foto-foto itu dirumah ini. 

Tak ada yang akan aku bawa kecuali masa depanku yang terus bergulir. Aku angkat kardus-kardus ke beranda rumah agar lebih cepat pergi dari rumah ini. Segera aku menelpon mobil pick up yang telah aku pesan tadi pagi. Kata si supir tunggu 10 menit, lalu aku duduk di beranda. 

Langit cukup gelap aku khawatir kalo-kalo hujan turun, aku tak mau lebih lama tinggal di tempat ini. Langkah tegas dan kecil ku dengar mengarah ke ruang kerja. Dia duduk di ruang kerja, sambil melihat layar computer seolah tak peduli. 

Jika dirasa waktu menunggu supir adalah waktu terlama yang pernah aku alami sepanjang hidupku walau hanya 10 menit. 

Pick up datang dari timur rumah, segera aku beranjak dari dan membuka gerbang agar mobil bias masuk. Aku dan supir segera mengangkut barang-barangku yang tak banyak itu. 

“Pak nanti tolong dikirim ke alamat ini ya, itu di belakang apartemen merah” pintaku.
“Nanti mas ikut juga ga?”
“Aku nanti nyusul pak, pokoknya diantar aja, sudah ada kawanku disana yang menunggu”
“Oke mas, saya langsung aja” sopir pick up bergegas pergi.

Aku mengeluarkan sepeda motorku dari garasi. Lega rasanya semua telah berakhir, tak ada lagi rahasia yang membuatku risau. Tak ada lagi kebohongan yang bersisa hanya aku si elang yang ingin terbang bebas.

Aku tutup gerbang depan pintu rumah dan aku melihat ia menghampiri kepergianku. Tiba-tiba ia menyalak entah kenapa.

“ You know that I am not make mistake, it is your foolish and you ruin our future, and you know where to apologize”
Aku menyela singkat “I know”

Tak lama aku pandangi wajahnya, dan dia bertolak pergi begitu saja beigtu juga denganku. Aku kira aku harus pergi sekarang sebelum berubah pikiran. Kepergian apa yang lebih indah daripada teguh akan kebenaran.

Aku segera menaiki motor dan melaju pelan, menikmati suasana dan bayang-bayang lama. Seperti elang yang terbebas.  


Friday, 27 July 2012

Cukup Sudah Untuk Sementara


Ketika malam tiba bayangannya terbesit saja tanpa kehendakku “Apa yang sedang kau lakukan malam ini?” Paginya berulang saja ketika sadar kau tak lagi disisiku. 

Yogyakarta begitu dingin pagi ini sedingin perasaanku terhadapmu dulu. Baru aku menyadari disaat-saat seperti ini aku ingin memelukmu sangat erat. Aku beranjak dari tempat tidurku menuju beranda, waktu itu pukul 5.30 pagi. Selongsong rumah sepi membisu bersamaku pagi ini, tenang menghanyutkanku kembali pada lamunan lama, hal-hal klise yang merobohkan kelopak mataku dalam tetesan tangis kecil. Bukankah diriku sudah cukup bahagia ditempat ini dengan kesendirianku. Semua yang aku inginkan sudah aku miliki. 

Aku ambil Ipad yang tergeletak di meja samping. Aku buka sisa-sisa album tentang dia yang tersisa dari amarahku waktu aku ingin melupakan kepergiannya. Ingin rasanya aku menghentikan waktu dan membalikkan kemasa itu. Ke sebuah masa menyenangkan walau ego kita masih sama-sama besar.

Bukankah aku sudah cukup bahagia saat ini. Semua hal sudah aku miliki, aku juga tak lagi merasa sepi kerena pekerjaan melarutkan rasa itu. Lalu kenapa saja aku masih berhayal menginginkan yang telah berlalu.
Aku meninggalkan beranda menuju dapur. Kuambil gelas dari rak lalu kuisi air putih. Kutengok belakang rumah dimana anjing-anjing bergulat mesra. Kuteguk air dingin perlahan sambil memantapkan diri. Untuk sementara aku teduhkan rinduku dan menikmati lara yang ada, tak apa.

Aku tuangkan gembali gelas yang telah kosong lalu aku pergi menuju ruang kerjaku. Aku buka situs dating yang cukup popular di Indonesia, manjam. Aku lihat inbox ku yang terisi oleh 4 pesan. Ada rasa enggan membukanya dengan perasaan seperti ini. Aku buka profilku dengan gambarku memakai sunglasses. 

Tertulis di atas dengan jelas “Looking somebody for casual hookups”, kata-kata multi tafsir dan aku cukup sadar bahwa aku sangat licik memakai kata itu. “Munafik”, kataku lirih sambil tersenyum tipis.  

Friday, 6 July 2012

Leadership; Where Are We Today?


gambar dari google.com

             Waktu bergerak kedepan bersama dentangan jam dindingku. Sebuah pembabakan baru telah lahir bernama postmodern. Posmodern telah melewati zaman modern pada abad ke 16 yang ditandai dengan ditandai dengan runtuhnya Kekaisaran Romawi Timur, penemuan Amerika oleh Christopher Columbus, dimulainya Zeitgeist dan reformasi gereja oleh Martin Luther.

             Ada yang mengatakan bahwa zaman modern dimulai dengan lahirnya revolusi industry di Ingris dimana peran mesin semakin mendominasi kehidupan manusia. Setiap pembabakan baru memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri. Berbeda dengan zaman modern yang memeliki karakteristik teratur dan rasional, zaman postmodern menghadirkan karakteristik tersendiri yaitu sifatnya yang menolak keteraturan karena semua hal bersifat saling silang dan tanpa batas.

            Jika kita mengaitkan kepemimpinan dalam setiap pembabakan zaman kita akan melihat karakteristik pemimpin yang berbeda-beda.  
Pada seluruh babakan sejarah dunia, kita akan menemukan manusia besar sebagai juru selamat yang niscaya di zamannya. Sebagai sambaran kilat yang tanpa itu bahan bakar tidak akan terbakar. Sejarah alam, sejarah apa yang telah dilakukan manusia di dunia ini, pada dasarnya adalah sejarah manusia besar yang telah bekerja disini.” (Thomas Carlyle)

            Pemimpin dalam setiap zaman merupakan keniscayaan. Mereka menjadi simbol zaman dengan karakteristiknya masing-masing. Bisa dikatakan mereka adalah manusia besar yang berpengaruh besar atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di zamannya.

            Di zaman modern kita melihat sosok pemimpin yang sangat hierarkhis. Mereka menjadi pemimpin karena memiliki jabatan strategis di dalam sebuah sistem. Sebut saja Martin Lutrher, Napolen Bonaparte, Imam Bonjol, R.A Kartini yang memiliki status tinggi dalam struktur masyarakat yang kemudian menjadi seorang pemimpin karena pemikirannya.

            Bisa disimpulkan bahwa karakteristik kepemimpinan di zaman modern lebih hierarkhis, memiliki otoritas, dan beberapa pemimpin berada dalam keturunan orang besar. Jika diatas zaman modern berbeda dengan zaman postmodern, bagaimanakah karakteristik pemimpin di zaman postmodern?

        Seperti yang disebuatkan diatas postmodern  yang serba teratur ditolak karena dianggap menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan yang penuh dengan perasaan. Zaman ini menolak otoritas dan bahkan cenderung untuk melawan otoritas karena dipercaya membelenggu manusia untuk bebas.

            Beberapa pemimpin yang lahir di era psomodern adalah Ahmadinejad, Barack Obama, Che Guevara, Hugo Chaves, Evo Moralez. Mereka adalah tokoh dunia dengan karakteristik yang berbeda-beda. Walaupun dengan gaya kepemimpinan mereka yang berbeda ada beberapa persamaan yang menjadi ciri pemimpin di era postmodern.

            Post Modern menolak otoritas dan posisi otoritas dalam hubungan. Mereka tidak menyukai hirarki, dan cenderung melawan otoritas, mereka lebih cenderung berjuang bersama rakyatnya daripada menjadi simbol yang memiliki kelas tinggi diantara rakyatnya.

            Kita bisa menyimak contoh dari pemimpin-pemimpin posmo yang dilahirkan atas perjuangan bersama dengan rakyatnya. Kebanyakan dari mereka menjadi simbol perlawanan atas sebuah otoritas kekuasaan yang menindas. Ketika mereka memimpin mereka lebih menyukai duduk bersama rakyatnya daripada menjadi simbol kekuasaan.

             Walau secara formal memang ada hierarki, mereka mengakui bahwa hirarki adalah berkah dari ilusi efesiensi struktural, tetapi mereka paham bahwa hal itu adalah hasil dari model korporasi dan dunia teknologi. 

            Perjuangan mereka sebelum menjadi seorang pemimpin dan setelah menjadi seorang pemimpin tidak berubah. Mereka tetap bersanding dengan kawan-kawan perjuangannya dan membaur dengan golongan minoritas.


Posmodern, Kepemimpinan dan Perubahan Zaman
            Timbul pertanyaan kenapa kita harus mempelajari karakteristik pembabakan zaman. Apa kaitannya dengan kepemimpinan di setiap zamannya? Zaman berubah seperti apa yang dicita-citakan oleh manusia-manusia besar dizamannya. Manusia yang tinggal di zamannya tentu saja harus belajar dari sejarah kemanusiaannya agar tidak tergilas oleh zamannya.

            Karakteristik setiap zaman harus kita pelajari agar kita tidak menjadi obyek sejarah tetapi menjadi subyek sejarah yang turut serta dalam lahirnya peristiwa-peristiwa besar.
Senjata Feodalisme dan Kapitalisme terutama Peluru dan Pedang. Senjata Proletar Industri ialah Agitasi, Mogok dan Demonstrasi. Sebulan Massa-Aksi di Indonesia sekarang lebih berguna dari 4 tahun Dipo NegoroIsme. Zaman Baru membawa Senjata Baru!”(Tan Malaka; Tokyo 1926)

            Seperti yang dikatakan Tan Malaka kita membutuhkan senjata baru untuk menghadapi zaman baru ini. Senjata itu kita perlukan agar mampu bertahan hidup dari dinamika zaman bergerak sangat cepat dengan intrik dan tipu dayanya.

            Seorang pemimpin di zaman postmodern juga harus memahami kondisi zamannya agar ia bisa menjadi manusia besar yang mengubah zamannya kearah yang lebih baik, bukan menjadi korban keganasan zamannya.

            Saat ini kita hidup di zaman postmodern dengan berbagai karakteristiknya. Manusia besar yang saat ini kita kenal berjuang diatas prinsip dan cita-citanya bukanlah lahir secara natural. Mereka menjadi manusia besar karena memahami karakteristik zamannya dan menyesuaikan diri dengan zamannya.

Thursday, 5 July 2012

Pantai Nguyahan, Berkah Alam dan Cinta


            Dinginnya pagi membangunkan tidurku, bermalam di tepian pantai pada minggu pertama bulan kemarau tahun ini cukup membuatku terkaget akan dinginnya. Langit pagi masih pekat gelap, bersama dinginnya pagi aku mengurungkan niatku untuk menunggu sunrise di puncak bukit. Aku berpikir lebih baik menyeduh kopi terlebih dahulu sebelum menikmati sunrise di pantai tak bernama ini.

            Aku menemukan pantai ini secara tidak sengaja. Pantai Sepanjang yang menjadi tujuan awal, aku kesampingkan karena ternyata sudah terlalu ramai. Aku kemudian menyusuri jalan bebatuan kearah barat yang dikelilingi oleh pohon pandan duri. Tiba-tiba aku menemukan bangunan semi jadi. Asal usul, itu adalah rumah seorang bule yang sedang dibangun. Kalau dilihat rumahnya akan besar, berada di atas bukit dengan pemandangan luar biasa. Jika kita berdiri disana, kita akan melihat bentangan lautan biru atau Pantai Kukup bersama hiruk pikuknya dari kejauhan. Hal diluar rencana kadang berbuah indah dan inilah salah satu keajaiban dari seorang petualang.

            Seduhan kopi menjadi teman yang menyenangkan untuk menunggu kedatangan pagi. Sembari meneguk kopi, aku siapkan sarapan pagi. Perjalanan berikut segera menanti, tidak ada arah yang jelas, aku hanya ingin ke arah barat ke pantai yang belum pernah aku kunjungi.

            Tak jauh dari lokasi camping, ada sebuah sumur payau. Disana aku sempatkan mencicipi kesegaran air sumur payau untuk meluluhkan semua keluh perjalanan kemarin. Saat itu aku bertemu dengan seorang petani sekitar, aku menanyakan beberapa hal mengenai pantai di sepanjang pesisir gunung kidul. Aku tertarik dengan sebuah Pantai bernama Ngobaran. Itulah tujuanku berikutnya.

            Tenda segera aku bongkar dan rapikan, motor aku pacu lagi kearah barat. Pantai Ngobaran terletak disebelah barat Pantai baron. Dari Pantai Sepanjang kira-kira membutuhkan waktu satu jam. Jalan yang dilalui cukup menarik, disekitar ada bukit-bukit. Jalan menuju pantai ini masih dalam proses pembangunan, jadi kita harus siap dengan track off road yang cukup menantang. Di jalan menuju Pantai Ngobaran kita akan bertemu beberapa Pura, hal yang unik karena disekitar pesisir ternyata pemeluk Agama Hindu cukup banyak.

            Akhirnya aku sampai di Pantai Ngobaran, sebelah barat pantai Ngrenehan. Dari kejauhan aku melihat sebuah pura diatas bukit yang konon sering digunakan untuk semedi orang-orang sakti di Jawa. Pantai Ngobaran seolah mirip dengan pantai-pantai di Bali beserta Puranya. Waktu saya kesana, pantai ini sedikit ramai, jadi saya meneruskan perjalaanan ke pantai dis ebelah barat.

            Aku harus melewati jalan menanjang yang terjalpenuh bebatuan untuk mencapai pantai bagian barat. Kesan pertama adalah susah, tetapi ketika aku berada di puncak jalan menanjak. Wow! Pemandangan luar biasa, pantainya putih berish memanjang dengan beberapa rumah dipesisirnya.

            Pantai disebelah barat yang bernama Nguyahan ini sangat sepi, taka da pengunjung waktu itu. Seolah ini adalah pantai pribadiku. Disana aku bertemu dengan petani pesisir dan berbicara sedikit mengenai kehidupannya. Bapak itu sangat ramah, sembari minum kelapa pantai yang super besar aku berbicara sedikit mengenai kehidupannya.

            Beliau hidup dari ladang yang berada di belakang rumah, sebuah ladang yang sederhana yang ditanami palawija. Beliau memiliki dua putra yang tidak bersekolah, wajar jarak sekolah dengan rumah sangat jauh dan beliau tidak sanggup membiaya biaya sekolah putranya. Jika kita menggunakan indikator ekonomi mereka tergolong keluarga miskin. Rumah petak lima kali 6 meter dengan ubin tanah tanpa listrik cukup membuktikan kemiskinan mereka. Tetapi aku melihat kebahagian dalam kesederhanaan mereka.

            Diluar sana banyak orang yang bertarung untuk kesejahteraan mereka, tetapi di pesisir ini satu keluarga hidup bergantung dengan alam namun mereka bahagia, seolah tidak ada keserakahan dihati mereka. Keluarga ini adalah penduduk asli pesisir ini, sudah turun temurun berada di pesisir ini. Walau sadar akan kecanggihan dunia luar sana, namun keluarga ini tidak bergeming dan memilih hidup sederhana di pesisir.

            Aku melihat kedua bersaudara ini bermain dengan riang dengan mainan buatan sendiri. Rumah sederhana, keluarga, berkah dari alam, apa yang lebih berharga dari itu semua? Saya kira itu adalah akar dari kebahagiaan.

            Obrolan terpaksa aku akhiri, aku ingin mendaki bukit untuk memasuki Pura diatas bukit yang dikatakan cukup sakral itu. Pendakian tidaklah susah karena sudah ada tangga dari semen. Aku sedikit kecewa karena jalan masuk pura ditutup. Pura itu cukup kecil, namun aku percaya cukup sakral dengan aura yang aku rasakan ketika melihat dari pintu masuknya.
Walau sedikit kecewa, namun pemandangan diatas bukit sangatlah indah. Adrenalinku benar-benar memuncak. Deburan suara ombak dan angin yang cukup kenjang memaju jantungku ketika aku berjalan ditepian tebing bukit. Seolah nyawaku ini tak berharga sama sekali jika dibandingkan dengan keingintahuanku untuk melihat pemandangan pantai ini dari atas bukit. Debaran jantung semakin kuat, kali ini bukan ketakutan, tapi aku takjub melihat birunya lautan lepas nan jauh keselatan sana. Berkah alam yang tak bisa dinilai dengan uang. Aku terdiam terpaku, membiarkan waktu berlalu. Kali ini aku sangat menikmati petualanganku menyusuri pantai selatan di Gunung Kidul.

Tuesday, 3 July 2012

Dukung Polda DIY?


Pagi hari tadi aku pergi ke Polda DIY, disana kawan-kawan sudah berkumpul dengan baju serba hitam. Aku melihat beberapa polisi dengan seragam beda-beda melirik tanya, satu orang polisi menghampiri kami dan bertanya kenapa kami berkumpul di Polda DIY.

Kami berkumpul disana pagi ini untuk mendukung kepolisian mengusut kekerasan yang terjadi di Lkis waktu diskusi Irsyad Manji. Dibalik isu kontroversial yang ada, aku menyayangkan terjadinya tindak kekerasan, apalagi beberapa korban adalah perempuan. MMI selaku pihak yang melakukan penyerangan mengaku tidak menyakiti perempuan yang hadir disana tetapi ternyata hal itu tidar benar. Aku mencium bau-bau politik tahi anjing dari pernyataan tersebut.

Agenda yang diusung kawan-kawan pagi itu adalah mengadakan orasi di depan Polda DIY dan mengusulkan penambahan saksi 3 orang. Langkah konkret yang dilakukan menanggapi respon Polda yang cukup lambat dalam menyelesaikan kasus, sudah menunggu 50 hari sejak kasus kekerasan tersebut terjadi.
Tetapi aku cukup pesimis dengan agenda yang kawan-kawan lakukan. Dari aksi kekerasan yang melibatkan MMI atau FPI, polisi sama sekali tidak bisa menindak secara tegas. Entah apakah ada konspirasi besar dibelakangnya.

Jika kita berpikir lebih kritis, FPI dan MMI mencoba mengusung syariah kedalam ranah Indonesia. Mereka secara tegas dan keras melawan nilai-nilai yang bertentangan dengan Syariah. Tetapi apakah mereka pernah bertindak keras masalah terbesar di Indonesia, yaitu korupsi? Saya kira usaha mereka dalam memerangi korupsi di negeri ini nol besar.

Itu belum lagi jika kita mengaitkan masalah lain seperti kemiskinan. Kedua masalah diatas adalah masalah besar yang menyangkut moral dan harus dituntaskan terlebih dahulu sebelum mereka berkoar-koar mengenai syariah. Bagaimana kami atau rakyat Indonesia bisa percaya dengan mereka (yang akan menerapkan syariah) jika yang kami tahu mereka adalah sosok preman bersorban.

Konflik yang melibatkan FPI dan MMI juga selalu konflik horizontal, tak pernah secara nyata menantang pemerintah (konflik vertikal). Dan kadang kemunculan mereka berada di saat pemerintah status quo sedang bermasalah dan media-media yang fokus dalam memberitakan masalah pemerintah tiba-tiba beralih ke masalah kelompok garis keras tersebut.

Jadi aku sedikit pesimis dengan agenda kawan-kawan melalui birokrasi hari ini. Aku sedikit sepakat dengan cara-cara HTI yang berjuang diluar sistem (anarchy). Memang kita berada di Negara hukum dengan sebuah sistem yang berjalan dan harus ditaati. Tetapi jika sistem itu hanyalah kamuflase pelanggengan kekuasaan pemerintah tanpa pedulu rakyat. Sudah saatnya kita berjuang melalui jalan lain.

Dan pertanyaan itulah yang harus kita jawab dan kerjakan bersama-sama. Agenda kemerdekaan 1945 dan Reformasi 1998 belumlah usai.