Sebelum
memulai ocehan ini aku ingin mengatakan,”Siapa pula yang ingin
menjadi laki-laki?”. Perdebatan gender dalam perpektif esensialis
dan non-esensialis belum usai atau bahkan memang tidak pernah akan
usai. Namun secara praktik, kebanyakan orang masih melihat gender
dalam bingkai dualisme laki-laki dan perempuan, bahkan ketika melihat
komunitas LGBTIQ. Ocehan ini adalah pengalaman subyektif penulis
sehingga konteks pemikiran ini secara nyata berdasarkan kehidupan si
penulis. Bisa jadi pengalaman subyektif ini bisa menjadi representasi
sebuah fakta umum, bisa jadi tidak.
Sore
ini aku mendapatkan sebuah screenshot dari status seorang aktivis
queer. Intinya dia bilang bahwa dia sebel dengan aktivis-aktivis
(termasuk lesbian dan gay) yang sok-sokan tahu tentang transpuan
feminin, bagaimana orang-orang ini bisa tahu wong mereka bukan
transpuan? Yang paling tahu soal transpuan adalah transpuan sendiri.
Perkataan
diatas terdengar sangat benar. Siapa yang bisa menyangkal bahwa
pengalaman transpuan-lah yang paling bisa menggambarkan situasi
mereka sendiri. Namun di dalam konteks gerakan lebih besar, gerakan
queer, dimana transpuan tidak berdiri sendiri. Pernyataan tersebut
mematikan daya kritis kawan-kawan lain. Menempatkan pengalaman
subyektif identitas tertentu juga bisa menyebabkan sesat pikir karena
seorang transpuan bisa saja tidak mampu memahami akar masalah karena
keterbatasan pengetahuan, informasi dll. Lantas apakah kita masih mau
selalu menurut atas pengalaman subyektif seseorang sebagai suatu
kebenaran umum? Lalu kenapa harus merasa paling benar jika ruang
dialektika selalu terbuka untuk siapapun?
Beranjak
dari pengalaman penulis ketika diundang di dalam pertemuan nasional
gerakan queer di Jakarta. Dalam diskusi kecil penulis duduk bersama
Komnas Perempuan, aktivis lesbian, aktivis dan HIV-AIDS. Waktu itu
kami sedang membicarakan rencana program nasional. Kami berangkat
dari melihat penindasan yang terjadi di komunitas LGBTIQ. Semua
serempak bahwa lesbian, transpuan dan transmen adalah kelompok yang
paling tertindas. Penulis bukan bermaksud untuk menyangkal kenyataan
tersebut, penulis mencoba untuk menambahkan pandangan bahwa juga
terjadi penindasan yang terjadi di komunitas gay atau laki-laki
heteroseksual. Penulis mengatakan bahwa saat ini belum ada data yang
menggambarkan penindasan yang terjadi di dalam komunitas gay dan
laki-laki heteroseksual. Hal itu terjadi karena semua laki-laki
dianggap memiliki privelege. Data-data kekerasan didominasi data
perempuan yang menggunung saja.
Gay
dan laki-laki sangat mungkin mendapatkan kekerasan karena mereka
harus mengikuti pola-pola heteronormatif. Apabila laki-laki tidak
mampu untuk memenuhi pola tersebut, maka mereka akan dianggap sebagai
laki-laki yang gagal. Beberapa laki-laki gay juga akhirnya terpaksa
menikah karena tuntutan sosial. Bagi penulis semua itu adalah
kekerasan. Namun ternyata usulan penulis tidak mendapatkan tanggapan
bahkan diacuhkan. Program yang ditulis memang berbasis gender, tetapi
targetnya tentu saja diutamakan untuk perempuan saja.
Penulis
merasa bahwa gerakan feminis masih berorientasi pada keperempuanan.
Setelah beberapa gelombang gerakan feminis lahir seharusnya muncul
pemikiran yang lebih radikal dalam melihat akar masalah. Tidak semua
laki-laki memiliki privelese, diantaranya justru menanggung beban
sosial yang lebih berat untuk menjadi laki-laki sejati dalam
kontruksi masyarakat. Feminis seharusnya mampu melihat bahwa
heteronormatif, patriarkhi adalah penindasan senyata-nyatanya dan
siapa saja bisa menjadi korban.
Izin promo ya Admin^^
ReplyDeleteBosan gak tau mau ngapain, ayo buruan gabung dengan kami
minimal deposit dan withdraw nya hanya 15 ribu rupiah ya :D
Kami Juga Menerima Deposit Via Pulsa & E-Money
- Telkomsel
- XL axiata
- OVO
- DANA
segera DAFTAR di WWW.AJOKARTU.CC ....:)
--------------------------------------------------------------------