Wednesday, 8 February 2012

Dilema Perusahaan #1 Eutopian Socialism as Thought


Seorang bijak berkata bahwa lebih baik membuat lapangan pekerjaan daripada mencari sebuah pekerjaan untuk diri sendiri. Si bijak ada benarnya melihat saat ini banyak orang Indonesia berpangku tangan tak berdaya ditengah persaingan sengit pencarian pekerjaan. Tetapi pepatah sebatas keindahan merangkai kata, nyatanya memang susah untuk dilakukan.
                Dengan tidak mengesampingkan batas masa studiku yang semakin berkurang, aku memberanikan diri untuk keluar dari jalur umum seorang mahasiswa dan bersama seorang kawan merintis sebuah perusahaan di bidang desain grafis. Sampai saat ini perusahaan sudah mencapai umur 4 bulan, satu pijakan menatap masa depan yang benar-benar tidak pasti.
                Selama empat bulan ini aku memajang keoptimisan tinggi akan sukses dimasa depan. Aku bekerja sekeras mungkin untuk meraih target-target yang telah aku canangkan. Tetapi semakin jauh aku melangkah, lama-kelamaan aku semakin menyadari bahwa langkahku semakin menjauhkanku dari sisi kemanusiaan, aku pun sering tidak bahagia.

Sebuah Imajinasi dan Pembacaan “Robert Owen”
                Dari sekian paham sosialisme yang pernah pahami. Aku terpikat dengan seorang wirausaha bernama Robert Owen. Dia adalah pemilik sebuah pabrik penggilingan di daerah Glasgow, Skotlandia. Dia adalah seorang manajer berkepala dingin yang mampu menyeimbangkan sisi kepentingan perusahaan dan kontribusi perusahaan terhadap masyarakat sekitar.
                Selain dikenal sebagai pebisnis Owen ia dikenal sebagai seorang filosof. Ia mendasarkan prinsip berpikirnya pada tiga hal:
  1. No one was responsible for his will and his own actions because his whole character is formed independently of himself. People are products of their heredity and environment.
  2. All religions are based on the same ridiculous imagination.
  3. support for the putting out system instead of the factory system
Latar belakang dirinya yang memangku jabatan manager sebagai manajer yang berposisi diantara deretan stakeholder memberikan garis tegas lahirnya pemikirannya. Aku cukup sepakat dengan pemikiran yang ia lahirkan.
                Sebuah tindakan individu dalam konteks sosial masyarakat mungkin saja berkaitan dengan faktor-faktor diluar individu sehingga tindakannya adalah tanggung jawab sosial, bukan hanya tanggung jawab dirinya sendiri.  
                Sebagian besar pekerja pabriknya adalah orang-orang miskin atau terlantar yang kurang berpendidikan rendah. Orang-orang yang termajinalkan tak berdaya seperti mereka bukanlah manusia yang harus dibuang. Justru mereka harus diberdayakan karena mereka berada di dalam lingkungan yang sama dengan perusahaan dan lingkungan Owen hidup. Dia percaya bahwa perusahaan mempunyai kewajiban untuk meningkatkan kualitas sumber daya pekerja, sehingga ia memberikan memiliki sebuah divisi pengembangan sumberdaya manusia di dalam perusahannya. Owen tidak hanya peduli dengan nasib pekerjanya untuk “present need” tetapi juga masa depan pekerjanya.
                Owen juga dikenal sebagai orang yang ramah dengan pekerjanya. Sebuah hubungan manusiawi antar sesame manusia, bukan sebuah hubungan palsu antara manager dengan bawahan yang sangat mekanik dan kaku.
                Perusahaan yang berada dibawah manajemen Owen bisa dikatakan adalah usaha untuk memakmurkan seluruh stakeholder perusahaan, bukan hanya pemilik modal saja. Hal itulah yang membuatku terkagum-kagum dengan dia.
               
Batas Realitas
                Membaca sejarah manusia besar sangatlah indah dan menarik bagiku. Hal sama terjadi ketika aku membaca sejarah Robert Owen yang dikenal sebagai penemu ide “koperasi”. Ia selalu memotivasiku dan menyadarkanku akan posisiku sebagai manusia sosial.
                Kini, sudah empat bulan lebih aku duduk dikursi manager. Sedikit demi sedikit aku menemukan serpihan kenyataan yang ternyata sangat kontradiktif dengan teori-teori yang aku pelajari. Sebuah pemikiran ternyata memiliki batas yang tegas dengan realitas.
                Empat bulan adalah masa-masa yang sulit bagi perusahaan karena harus membenahi diri terlebih dahulu. Perusahaan juga harus “survive” dengan batasan dan keadaan yang ada. Dalam keadaan ini sisi profitibilitas menjadi sangat penting. Perusahaan harus membuka seleber-lebarnya penjualan dan menekan biaya yang ada, bahkan biaya yang terkait dengan pekerja seperti gaji, tunjangan dll.
                Mungkin pekerja hanya menerima apa yang mereka dapat walau kadang mereka sedikit mengeluh. Tetapi bagaimana dengan seorang manajer yang bermimpi untuk meneruskan perjuangan Robert Owen? Ia harus rela mendengarkan keluhan dan kendala pekerjanya. Ia juga harus segera membuat tindakan sebagai respon atas masalah yang timbul. Walau Seorang manajer memiliki kekuatan hukum, kadang sisi manusianya keluar dan berkata lain. Dilema pun tidak bisa dihindari akan peran seorang manajer sebagai manusia dan pemimpin perusahaan.
                Kadang saya diam untuk menunggu sebuah reaksi, tetapi lama kelamaan malah berujung dalam sikap yang apatis bagiku dan karyawan. Ide memang luar biasa, sangat indah, mewujudkan sebuah ide ternyata adalah hal yang lebih besar lagi.  

No comments:

Post a Comment