Monday, 23 April 2012

23 April 2012

Malam tadi sempat mengucapkan salam perpisahan hingga esok menggusur. Gila, aku benar-benar belum mengantuk. Atau lebih tepatnya tak mau tidur sebagai protes atas hariku yang terenggut oleh suatu kebersamaan semu. Atas nama apapun itu, tapi aku sedikit jengkel walau aku tahu aku ada salahnya juga. Tak begitu tegas dengan ini dan itu.

Mungkin tulisanku juga tak jelas, bukannya ragu tapi. Memang kata dan kalimat aku samarkan demi sisi artistik dan rahasia yang dimuat oleh jiwa-jiwa manusia yang kadang munafik dan naif. Well, setiap manusia punya alasan dan itu adalah alasanku semata wayang. Sederhana bukan? Sesederhana kebahagiaan yang ingin aku renggut bersama anakku kelak.

Entah kenapa, aku selalu terbayang mengenai seorang anak, bukan pendamping hidup. Tapi itu bukan itu permasalahan dan hakikat dari hidup. Manusia yang disebut pendamping hidup memang menjadi pelengkap kebahagiaan. Tetapi bukan pembunuh idealisme, aku janji untuk diriku sendiri.

Kemarin aku memutar lagu-lagu deftones. Gelora membara berontak menyalak-nyalak ketika aku mendengerkannya. Emosi benar-benar terbawa hinggia terngiang dari detik ke menit walau musik sudah berakhir.

Tadi malam aku sempat ke tempat eko untuk membicarakan perihal naik Gunung Ungaran. Aku datang pukul 10 malam lalu kita pergi ke susu kambing di ring road utara, tepatnya di jalur lambat di Jalan Gejayan. Menu yang dijajakan cukup sederhana dengan menu spesial susu kambing dan jagung bakar.

Sembari mimik susu kita sedikit mengobrol mengenai wakil menteri ESDM yang meninggal karena naik gunung beberapa hari yang lalu. Kejadian tersebut jadi mengingatkanku pada sosok Soe Hok Gie, lelaki tulen cerdas yang hobi naik gunung atau lebih tepatnya menikmati keindahan alam.

Aku dan eko sudah memutuskan, kita akan mendaki pada tanggal 27 April 2012 melalui jalur Gedong Songo yang akan membutuhkan waktu sekitar 5 jam. Kita akan berangkat dari Jogja sekitar pukul 7 pagi dan berkumpul terlebih dahulu di kediaman kapitalis biru putih di Jalan Kaliurang km 7.

Tadi aku sempat membuat daftar list yang akan dibawa ketika mendaki gunung dan beberapa rencana untuk menyikapi berbagai kemungkinan. Sejauh ini baru empat orang yang akan ikut, yaitu Eko, Didin, Andre dan Dias. Rencananya kita akan briefing pertama dan mulai persiapan hari Selasa siang. Sejauh ini tak ada kendala kareba aku tak mau membuat sebuah kendala. Jadi tinggal dijalani dan disepekatai bersama saja.

Perbincangan kami usai sekitar pukul 12 malam lalu aku antar eko ke kos-nya. Aku bertolak cepat ke jalan kaliurang. Suasana cukup tenang tak banyak kendaraan lalu lalang. Aku benar menikmati suasana malam itu. Gundah dan gusar bisa aku jinakkan benar-benar.

Melewati jalan kaliurang km 6 aku melihat Kakek penjual kursi bambu sedang duduk bersarung lusuh di emperan toko. Ia sandarkan kursi bambu panjang bersama sepedanya di tembok toko sedang ia duduk diam berbalut sarung. Ia memandang sayu jalanan yang mulai sepi, mungkin ia merasa kesepian.

Ia tak terlihat menunggu apapun kecuali pagi yang memberikan waktu baginya untuk berkeliling dan menawarkan barang satu-satunya. Entah apakah dia bisa melihat pagi kembali mengingat umur dan hidupnya yang keras, tapi aku harap ia tetap bertahan. Dunia kadang tidak adil rasanya, Tuhan tentu saja adil hanya manusia saja yang membuat segalanya menjadi timpang.

Ah, Siang, Malam berlalu saja biasa saja. Kata Mas Uki, sepertinya memang dia yang menulis balasan di status FB ku. Tulis saja biar berarti, dan memang aku sadari hidupku lebih berarti ketika tangan-tangan ini menari diatas papan keyboard.

Selamat pagi hari Senin, beberapa hal harus diselesaikan hari ini. Jika ada sisa yang belum tergarap, itu masih masalah yang sama. Selamat-selamat hari Senin, jemput aku.

No comments:

Post a Comment