Aku sudah lupa bercermin, aku
juga lupa akan cermin yang menggambarkan diriku. Sebuah cermin usang terpajang
di tembok putih polos dengan noktah-noktah jamur kecoklatan yang timbul karena
udara ruangan yang lembab. Entah kapan terakhir kalinya aku berdiri di depannya
dan membaca seluk-seluk tubuhku yang mulai menggemuk karena akumulasi kehidupan
tanpa arti. Atau mungkin mungkin juga karena kenyamanan yang mematikan
progresitas.
Teko di atas kompor berdesit
mengeluarkan uap warna putih dari lubang kecil di ujung teko. Kusegera
mematikan api dan menuangkan air panas ke gelas-gelas yang telah kuisi kopi
hitam. Kubawa gelas-gelas itu ke teras belakang rumah dimana dia sedang di
kursi. Ia mendekap keduatangannya dalam selimut jas wool warna coklat dengan
erat.
Kusodorkan segelas kopi panas
untuknya. Digenggam erat-erat kopi panas itu dengan telapak tangannya. Dia
menyebul permukaan kopi dan meminumnya pelan-pelan karena panas. Kulihat bekas
luka cukup lebar di kepalanya yang botak. Luka yang aku kira berbekas tak hanya
permukaan kulitnya, tetapi juga di dalam benaknya yang hidup menggelayut bebas bak air di parit-parit hutan.
Lihatlah matanya yang menyala,
hitam berbinar indah. Aku membayangkan apa yang telah kau lihat jauh di luar
sana.
Aku menggeser kursiku kearahnya.
Gesekan antara kursi dan lantai mengalihkan perhatiannya pada secangkir kopi.
Kini, kami tidak lebih dari sedepa. Kudengar desahan nafasnya yang berat karena
udara malam yang dingin. Kau seret cangkir kopimu ke arahku dan kuhentikan
dengan sebelah tanganku. Bukannya tidak mau, aku hanya berpikir itu untukmu
saja. Seperti dunia yang pernah kau tawarkan kepadaku sebelumnya. Kau tahu
sendiri, duniamu itu seperti kopi dan aku snagat menyukainya. Tetapi untuk saat
ini, semua itu untukmu saja dulu.
Kau kembali menggeser cangkir
kopimu dan menggenggam cangkir itu dengan kedua tanganmu. Tidak lama kemudian
kau relungkan telapak tanganku di bibir leherku. Aku terkaget dengan maksudmu,
namun aku membiarkan saja dirimu. Kulihat semburat senyum dari wajahmu, kenapa
kau tersenyum tanyaku dalam hati.
“Warm?” Tanyanya.
Aku hanya mengangguk dan mencoba
sisa-sisa kehangatan dari telapak tanganmu. Kulihat kini matamu berkaca-kaca.
Air matamu keluar tertahan di kelopak matamu. Aku genggam kedua tanganmu yang
masih tergantung di leherku. Aku memiringkan kepalaku, menyiratkan tanda tanya
kepadanya. Kulihat gigi-gigi mu tersembul dibalik bibir tipismu. Aku kira kau
hendak tertawa, tetapi kemana suara lepas itu pergi. Sekarang bukan hanya air
mata yang kau tahan, tetapi juga suara dalam kerongkonganmu.
Perlahan dia melepaskan kedua
tangannya dari leherku, begitu juga dengan tanganku yang menggenggamnya.
Dia mencondongkan badannya ke
arahku. Mukanya dan mukaku, yang saling berhadapan. Dua ekspresi berbeda.
Dirimu kulihat ekspresi kebebasan dan ketakutan, sedangkan mukaku sendiri
adalah ekspresi tanda tanya dan kebingungan.
“I wanna say good bye.” Katamu
pelan.
Tidak perlu sebuah alasan yang
panjang dan masuk akal ,aku sudah mengerti maksudmu. Tidak perlu bertanya
karena dirimu pun tidak tahu jawabnya saat ini. Aku tahu itu dan aku tahu tidak
bisa menghambatmu.
Kau beranjak dari tempat dudukmu,
berdiri di depanku. Menunduk kepadaku dengan tatapan penuh keyakinan sementara
aku hanya diam menatap lurus ke arah perutmu yang kurus. Kau mengelus rambutku
dengan tangan kananmu. Seolah merestui atau mengamini diriku dengan kehidupan
supaya selamat.
Aku masih diam terduduk kaku
sementara kau mulai melangkah menuju pintu. Katamu pintu itu adalah pintu
menuju kehidupan yang tak pernah kita lihat sebelumnya. Dalam sistem atau
diluar sistem adalah pilihan. Katamu mungkin kehidupan adalah sebuah sistem yang
dikonstruksi, tetapi kita bisa memilih untuk hidup diluar sistem yang ada.
Kudengar decitan pintu yang kau
buka dengan keyakinanmu. Kini kau pergi, sementara aku disini. Di rumahku.
No comments:
Post a Comment