Jones (Jomblo Ngenes), yak! Sejak
Minggu kemarin secara resmi aku diakui sebagai bagian dari mereka. Sebenarnya
aku sempat curiga, jangan-jangan Jones ini adalah salah satu penyakit menular.
Gimana tidak? Sebelum aku intens main-main sama mereka, aku adalah lelaki yang
bahagia, bahkan dengan patner dimana-mana. Sekarang? Sendiri tiap hari malam minggu,
ditambah selow-nya tiada tara.
Menurut statistik yang aku lihat
di kawan-kawan dekatku sekarang. Sembilan dari sepuluh orang adalah laki-laki
terkutuk yang belum pernah menjamah wanita. Nah, satunya kebetulan homo yang
sialnya juga tidak laku dipasaran lelaki. So, kita adalah kumpulan orang-orang
terbuang dan selow yang berusaha menyaman nasib, perasaan dan visi.
Kembali ke Hari Minggu kemarin,
percaya tidak percaya yang asalnya cuma guyon belaka ternyata Jones berubah
menjadi kelompok serius yang pengen melampiaskan waktu selownya untuk
berpetualang menemukan tempat baru yang disana tidak ada sepasang sejoli yang
sedang mengumbar nafsu setan alias bermesraan.
Pukul sepuluh pagi kami (Aku,
Endry dan Fikri) telah melakukan konspirasi dan minggat dari rumah. Kemana?
Kata si Endry dia mau pergi ke Curug Watu Jonggol. Waktu aku nanya ke anak itu,
dia sama sekali nggak tahu mana itu Curug Watu Jonggol. Berbekal waktu yang
selow dan gosip-gosip kawan sekitar kita lantas pergi ke arah barat. Rute yang
kami lalui adalah dari Balangan ke barat. Nah, kalau belum tahu dimana itu
Balangan. Kamu cukup tahu Perempatan Seyegan, ikuti aja jalan lurus ke barat.
Perjalanan ke arah barat (Kulon
Progo) sungguh menyenangkan, di sepanjang perjalanan kita menemukan obyek
pemandangan yang tidak lazim atau dalam bahasa estetikanya dikenal dengan
sebutan indah.
Ditengah jalan |
Tidak hanya pemandangan alamnya
saja yang sangat bagus, tetapi kami juga menemukan suasana pedesaan yang masih
asri dan lokal. Aku merasa benar-benar terbawa ke dimensi lain beberapa belas
tahun silam.
Warga membawa karung |
Jalanan yang berkelok-kelok dan
tanaman padi yang hijau seolah tak penrah jenuh untuk dipandang. Memasuki
kawasan Pagerharjo, kami menemukan sebuah pasar kecil. Dari pertigaan pasar
tersebut kami ambil jalur kanan. Jalanan cukup menanjak, dari pemandangan yang
kami lihat. Kami berada cukup tinggi permukaan laut.
Diatas sana |
Akhirnya kami sampai di Dusun
Nglinggo, Nah waktu kita sampai di Dusun tersebut kita terkaget karena ada
keramaian yang tidak biasa. Setelah kita bertanya-tanya ternyata sedang ada
hajatan besar di Desa Wisata itu. Organ tunggal sengaja mereka ramaiakan untuk
menarik perhatian sekitar. Dua biduan penyanyi dangdut yang berkali-kali
didoraki “bukak sithik joss!” berdendang tak malu-malu dengan pakaian mereka
yang gemerlap dan ketat tipis. Sayang mereka bukan tipe saya!
Organ Tunggal |
Kami melanjutkan perjalanan
menuruni jalan setapak yang hanya bisa dilewati oleh sepeda motor, sepeda atau
jalan kaki saja. Di akhir jalan setapak itu kami disambut oleh rumah tua yang
sangat unik. Terpasang plang “parkir” sebagai tanda bahwa kami harus parkir di
depan rumah itu. Ketika kami memarkirkan motor, nenek tua yang tinggal di rumah
itu keluar dari rumah demi menyambut kami.
Nenek Menyambut kami |
Kami dipersilahkan masuk dan kami
dengan sangat terbuka dan senang bisa diterima oleh nenek itu. Dihidangkannya
tiga gelas dan air panas. Aku terharu sejadi-jadinya gara-gara keramahan nenek
itu. Bagaimana tidak, biasanya ada kekasih yang luar biasa yang menghidangkan
minuman, eh sekarang nenek-nenek renta yang menghidangkan. Jadi teringat masa
kelam dulu deh.
Nenek menghidangkan minuman |
Nenek itu menyuguhkan gula aren,
katanya ini buatan dia sendiri. Aku terkagum-kagum pada nenek itu. Dia tinggal
keluarga kecilnya tanpa listrik dan embel-embel lainnya. Tetapi bisa mandiri
sekali dengan mengambil kebutuhan sehari-harinya dari alam. Tidak hanya gula,
bahkan di samping rumah nenek ini ada berbagai tanaman sayuran seperti
tomat,cabe, bayam dsb. Dibelakang rumah ada ternak kambing dan ayam sebagai
bahan protein hewani.
Tanaman Sayuran |
Satu hal yang membuat aku takjub,
nenek ini bisa mengolah coklat dan kopi sendiri. Pake dikeringkan sendiri lah,
pake digiling, semuanya sendiri. Keren abis!
Gila banget, aku jadi merasa
sangat bodoh! Baru-baru ini aku belajar mengenai Permakultur, dan aku sok
pandai dan sok jadi pelopor di kalangan kawan-kawanku. Eh, nan jauh disini,
nenek ini sepanjang hayatnya telah mengimplementasikan permakultur
sehari-harinya.
Setelah merasa cukup berbincang
dengan nenek, kami berpamitan dan pergi menuju Curug Legendaris itu. Sejauh
yang kami lihat tidak ada yang namanya loket karcis. Jalanan yang kami lewati
sudah terbangun dengan rapi. Tanah yang kebanyakan padas sudah dipangkas dan
dibuat tangga-tangga kecil untuk memudahkan pengunjung.
Setelah berjalan sekitar sepuluh
menit akhirnya kami menemukan curug legendaris itu. Aku menoleh ke kanan dan ke
kiri. Visi kita tercapai! Kita nggak menemukan sepasang sejoli pun yang sedang
mengumbar kemesraan disini. Gila men! Curug ini secara resmi jadi milik kita
para Jones.
Eh sebentar, waktu menuju curug
kita dipaksa untuk memompa jantung lebih cepat alias deg-degan. Untuk pergi
menuju curug. Cuma ada satu jalan bambu dan itu tanpa pagar samping.
Jembatan |
Eh sayang seribu sayang, kita
datang disaat yang tidak tepat (baca: musim kemarau). Kita terlalu bodoh untuk
sadar bahwa musim kemarau itu adalah musim yang langka air di daerah sini. Ya
sudah akhirnya kita cuma bisa lihat bongkahan batu-batu yang menjulang tinggi
sembari berimajinasi bagaimana kalau ada air turun deras di curug ini.
Tawa Lepas kawan kami yang bahagia setellah mengetahui nggak ada satupun sejoli disini |
Kami yang selow, akhirnya nyantai
dan kongkow-kongkow di pinggir kali sambil makan bekal yang telah kita bawa.
Curug Watu Jonggol waktu musim hujan |
mountain river cave junggle i will be eat this !
ReplyDelete