Pasca reformasi angin-angin demokrasi semakin kuat dihembuskan oleh pemikir-pemikir demokrat. Atas nama kebebasan berpikir dan berpendapat, maka muncullah berbagai jenis partai dengan visi dan misi yang saya lihat tidak jauh berbeda.
Berpuluh-puluh juta lembar rupiah menjadi tumbal atas nama demokrasi seakan perpolitikan di Indonesia ibarat rumah judi atau sebuah industri kapitalis yang menjadikan modal sebagai kekuatan utama. Akibatnya pertarungan politik bukanlah pertarungan ideologi, blueprint, atau visi untuk Indonesia, melainkan modal dan kepentingan golongan tertentu saja. Lalu apa akibatnya jika sebuah partai yang percaya akan kekuatan uang mengalami resesi keuangan?
Ada beberapa langkah yang dapat ia lakukan. Pertama ia akan mencari sumber-sumber modal dan menukarnya dengan janji mengajak kepentingan pribadinya menjadi sebuah kebijakan partai. Kedua ia akan mengganti tonggak pucuk kepemimpinan kepada orang-orang yang bermodal besar. Langkah terakhir adalah jalan paling populer yang sering dilakukan oleh kebanyakan partai di Indonesia.
Si Penunggu Pohon
Masa hidupku seakan tak mampu menyambangi awal mula berdirinya partai ini, tetapi memori masa laluku selalu bercerita tentang kedigdayaan partai itu. Hingga pada akhirnya pohon itu harus ditumbangkan karena dahan-dahannya tidak mampu lagi menaungi kepentingan rakyat.
Beberapa hari yang lalu saya sempat membaca sebuah artikel yang dimuat media massa. Berita yang dimuat mengenai polemik pergantian pemimpin partai yang sangat pelik. Ada sederet nama-nama yang ditunjukkan kehadapan mata saya. Saya sempat terkaget keheranan ketika melihat beberapa nama yang diajukan.
Iklim apakah yang menerpa perpolitikan di Indonesia sehingga pohon sebesar itu rela berjudi demi memenangkan pemilihan pada periode berikutnya? Dasar apakah yang melandasi kebijakan partai tersebut?
Sebenarnya saya tidak terlalu heran ketika kekuatan politik didominasi oleh segelintir orang yang beruang saja. Namun saya sedikit kaget ketika nama-nama yang bermunculan keluar dengan beraneka stigma negatif yang melekat pada tubuhnya. Apakah mereka tidak sadar bahwa rakyat semakin melek politik? Atau mereka beranggapan bahwa uang mereka masih cukup untuk membungkam mulut-mulut rakyat?
Inilah demokrasi Indonesia yang katanya menduduki posisi tinggi di dunia karena presidennya dipilih oleh rakyat dan banyak partai lahir atas nama kebebasan berpendapat. Bagiku fenomena ini tidak lebih dari politik yang tidak bar-bar, yang menggorok pemikiran-pemikiran suci memajukan Indonesia demi modal yang dibutuhkan untuk kegiatan operasional partai.
Mataku tak akan berhenti berbinar ketika melihat realitas dan harapan Indonesia. hanya satu keyakinan yang menjadi penyemangat ketika lahirnya generasi-generasi muda yang bermunculan dengan hati nurani mereka. Untuk saat ini biarlah pohon itu dihuni oleh penunggu barunya, yang saya kira tidak jauh berbeda dengan penunggu-penunggu pohon lainnya yang suka menjahili orang-orang yang hidup dibawahnya.
No comments:
Post a Comment