Dunia seakan tidak pernah berhenti berperang, berakhirnya Perang Dunia ke II bukan merupakan simbol berakhirnya umat manusia. Kini manusia dilanda perang yang lebih besar karena musuh mereka adalah pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk menjadi permasalahan ketika sumber daya pangan tidak mampu mencukupi kebutuhan manusia. Genderang perang pun ditabuh, dan kini manusia bersiap-siap untuk mengahadapi masalah tersebut.
Masalah pangan sebenarnya telah diantisipasi oleh pemerintah melalui berbagai macam kebijakan. Sejarah telah menyebutkan pada awal kemerdekaan Indonesia pemerintahan Soekarno pernah mengeluarkan Progam Kesejahteraan Kasimo untuk mencapai swasembada beras. Pemerintahan Soekarno juga pernah mengeluarkan Progam Sentra padi untuk mencapai swasembada pangan. Namun akibat turbulensi politik dan disertai dengan pemberontakan maka pada masa itu terjadi krisis pangan yang cukup parah.
Setelah Soekarno turun dari kursi kepresidenan dan digantikan oleh Soeharto, Indonesia mengalami masa transisi antara tahun 1965 sampai 1967. Masa transisi tersebut merupakan awal dari cikal bakal dari Bulog. Pada tahun 1966 dibentuk Komando Logistik Nasional (KOLOGNAS), namun pada tahun 1967 KOLOGNAS dibubarkan dan diganti dengan Badan Urusan Logistik (BULOG).
Pada zaman Soeharto kondisi pangan cukup terpuruk akibat beban masalah masa lalu. Melihat hal tersebut maka pemerintahan Soeharto mengeluarkan Repelita (rencana Pembangunan Lima tahun) dengan senjata utama trilogi pembangunan. Pada 1969 pemerintah menambah peran dan fungsi Bulog yaitu sebagai manajemen stok penyangga pangan nasional dan penggunaan neraca pangan nasional sebegai standar ketahanan pangan nasional. Pada tahun 1973 pemerintah Soeharto juga mempelopori berdirinya Serikat Petani Indonesia. Pada tahun 1974 pemerintah menerapkan revolusi hijau untuk mencapai swasembada beras. Peran Bulog menjadi semakin penting, karena pada tahun 1977 Bulog didaulat menjadi pengontrol impor kacang kedelai. Sehingga pada waktu itu tugas Bulog tidak hanya semata-mata mengurusi masalah beras saja.
Pada tahun 1978 pemerintah mengeluarkan Kepres 39/1978 yang mengembalikan tugas Bulog sebagai pengontrol harga gabah, beras, tepung, gandum, gula pasir dll. Tugas Bulog semakin dipersempit pada tahun 1997 yaitu hanya sebagai kontrol harga beras dan gula pasir saja. Pada tahun 1998 peran Bulog dipersempit lagi yaitu hanya sebagai pengontrol harga beras saja.
Pasca reformasi pemerintahan Megawati menambah peran Bulog sebagai manajemen logistik beras yang termasuk penyediaan, distribusi, dan kontrol harga beras. Pada masa ini juga, pemerintah memprivatisasi Bulog dan berusaha untuk mencapai swasembada beras. Orientasi produksi sebagaian besar ditujukan pada produksi beras sebanyak-banyaknya. Hasilnya pemerintah megawati berhasil mencapai swasembada beras.
Pada masa SBY, pemerintah mengeluarkan progam perencanaan revitalisasi pertanian yang mencoba menempatkan kembali sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual dengan meningkatkan pendapatan pertanian untuk GDP, pembangunan agribisnis yang mampu meyerap tenaga kerja dan swasembada beras, jagung dan palawija. Sampai tulisan ini dibuat baru satu target yang telah dicapai oleh pemrintah yaitu swasembada beras pada tahun 2008 yang lalu.
Dari sederetan kebijakan yang pernah dirumuskan oleh pemerintah hanya beberapa saja yang berhasil mendongkrak kondisi pangan Indonesia, itupun hanya secara parsial dan interim saja. Jika semua permasalahan pangan tersebut berasal dari kebijakan pemerintah, maka kita perlu mempertanyakan paradigma pangan yang selama ini dianut oleh pemerintah.
Merubah Perpektif Pangan Indonesia
Kebijakan yang diambil pemerintah merupakan hasil dari pemikiran para pejabat yang duduk di kursi pemerintahan. Dalam setiap pembuatan kebijakan mungkin mereka melihat kondisi rill pangan di indonesia saat ini, tetapi suatu sudut pandang atau perspektif atas suatu masalah yang dipakai sangat menentukan kebiajakan yang diambil. Ibarat sebuah mobil, perspektif adalah sebuah setir yang menetukan kemana arah kebijakan tersebut akan dibawa. Jadi perspektif pangan pemerintah akan menentukan tujuan dan arah yang ingin dicapai.
Melihat kondisi pangan saat ini, pemerintah harus menyadari bahwa orientasi produksi yang diyakini bukan merupakan salah satu cara yang terbaik dalam mencapai ketahanan pangan. Ketika pemerintah mencapai swasembada beras bukan berarti pemerintah telah memiliki ketahanan pangan yang kuat karena ada empat syarat yang harus dipenuhi. Pertama, kecukupan pangan yang dapat diartikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk hidup aktif dan sehat. Kedua akses pangan yang meliputi hak untuk berproduksi, membeli atau menukarkan dan menerima pangan. Ketiga adalah ketahanan yang meliputi keseimbangan antara kerentanan, resiko dan jaminan pengaman sosial. Keempat, fungsi waktu ketahanan pangan yang bersifat kronis, transisi, atau siklus. Jadi swasembada pangan hanyalah salah satu faktor dari ketahanan pangan.
Jika saat ini kita melihat bahwa Indonesia belum memiliki empat poin diatas maka bisa kita simpulkan bahwa Indonesia masih jauh dari prestasi swasembada pangan. Orientasi produksi yang diarahkan pada satu jenis pangan (beras) saja juga bukan hal yang baik karena akan menyebabkan ketergantungan. Dampaknya, apabila terjadi kekurangan produksi maka pemerintah terpaksa harus melakukan impor. Saat ini kegiatan impor dianggap menjadi suatu hal yang lumrah, dan hal itu juga diamini oleh pasar global saat ini atas nama keunggulan komparatif.
Jika kita menilik stabilitas pemerintah ada tiga hal yang harus dipenuhi, yaitu stabilitas pangan, politik dan pertahanan. Ketiga hal itu mutlak harus diraih oleh suatu negara sehingga ia mampu mampu berdikari diatas tanahnya. Jika makan sehari-hari kita masih disokong oleh impor maka harapan swasembada pangan berkelanjutan masih jauh dari genggaman. Sayangnya hal itu kurang disadari oleh pemerintah, usaha untuk mereduksi impor bahan makanan pokok juga menuai kritik dari kalangan birokrat. Padahal manfaat yang akan diperoleh dari usaha tersebut akan jauh lebih besar. Misalnya, pemerintah akan lebih fokus memberdayakan petani Indonesia yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia sehingga tingkat kesejahteraan mereka akan meningkat.
Indonesia adalah negara yang diberkahi dengan berbagai macam sumber daya alam. Namun sayangnya kekayaan itu kurang dimanfaatkan oleh Indonesia. Sungguh ironis, ditanah yang sangat kaya ini banyak rakyat yang harus merasakan kelaparan, bagaikan tikus mati di lumbung beras. Jika kita meyakini bahwa orientasi tunggal terhadap pangan bukanlah kebijakan yang baik, maka kita harus menggalakkan diversifikasi pangan.
Sebenarnya diversifikasi pangan telah didengungkan dari tahun 2005. Tetapi sampai saat ini masyarakat masih tergantung pada beras sebagai makanan pokok sehari-hari. Ada banyak faktor yang menghambat progam tersebut, salah satunya adalah sosial budaya yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Padahal faktor tersebut sangat dominan bagi rakyat Indonesia. Pandangan konsumsi yang bukan saja mengonsumsi sumber daya saja tetapi adalah unsur budaya harus kita ubah mengingat kita dihadapkan dengan perang besar melawan berbagai masalah pangan.
Dekontruksi Budaya Pangan
Negara Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan jumlah petani yang menjadi mayoritas penduduk di Indonesia. Walaupun saat ini lahan pertanian semakin sempit namun ekses pekerja di bidang pertanian semakin banyak. Fenomena diatas bukan terjadi karena bidang pertanian adalah pelarian bagi para penganggur tetapi disebabkan oleh pandangan hidup mayoritas Indonesia. Kegiatan bertani yang dilakukan bukan semata mata pencaharian, tetapi sebagai kebudayaan.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Mubyarto ”Pertanian (agriculture) bukan hanya merupakan aktivitas ekonomi untuk menghasilkan pendapatan bagi petani saja. Lebih dari itu, pertanian/agrikultur adalah sebuah cara hidup (way of life atau livehood) bagi sebagian besar petani di Indonesia”.
Produksi pangan yang saat ini kita nikmati juga tidak terlepas dari kegiatan budaya masyarakat Indonesia. Pola makan yang dianut masyarakat Indonesia pun juga tercipta oleh kontruksi dari budaya Indonesia. Jika Indonesia ingin memerangi masalah pangan maka ia harus merubah livehood dari petani dan masyarakat Indonesia, bukan hanya melakukan modernisasi pertanian.
Sebuah tantangan besar bagi pemerintah untuk merekontruksi pola hidup rakyatnya karena budaya timbul dari alam bawah sadar yang selama ini mengakar kuat. Tetapi bukan berarti hal itu mustahil untuk dilakukan. Kita bisa melihat bahwa realitas kehidupan kita saat ini telah dipengaruhi oleh budaya barat melalui media massa. Jadi belajar dari proses westernisasi, dekontruksi budaya dapat dilakukan dengan berbagai macam cara yaitu melalu media massa, seminar, jargon-jargon. Diharapkan dengan berubahnya pola kebudayaan masyarakat akan menjadi awal bagi peperangan melawan berbagai masalah pangan di indonesia.
No comments:
Post a Comment