Terik matahari begitu
menyengat, sepanas dialektika menanggapi rencana pemerintah untuk menaikkan
harga BBM. Sudah kesekian kali pemerintahan dibawah SBY menaikkan harga BBM dan
sudah kesekian kali rakyat berteriak-teriak melawan kebijakan ini. Aksi
demonstrasi pun semarak terjadi di berbagai kota, baik aksi yang bersifat damai
dan vandal. Mahasiswa sebagai bagian dari pengunjuk rasa pun dianggap sebagai
biang kerok terjadinya kerusuhan.
Dipicu kenaikan harga minyak mentah dunia, pemerintah
berencana menaikkan harga BBM untuk menyelamatkan APBN Negara. Sampai saat ini
ketika penulis menulis artikel ini DPR masih mengulur-ulur keputusan kenaikan
harga BBM. Diluar gedung terhormat, banyak terjadi demonstrasi dari berbagai kalangan.
Di Yogyakarta sendiri demonstrasi terfokus di beberapa
titik kota seperti di pertigaan UIN Yogyakarta, kawasan nol kilometer, Kawan
Tugu Yogyakarta dan beberapa kawasan lainnya. Seperti yang dikatakan oleh
detik.com seolah-olah Yogyakarta dikepung oleh massa demonstran. Kawasan
Malioboro dan halaman DPRD DIY 'dikuasai' massa Forum Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) DIY, Gerakan Rakyat Anti Kenaikan BBM dan Gerakan Pemuda Progresif, massa
PMII DIY dan GMNI DIY[1].Pertamina
Yogyakarta Regional Yogyakarta tidak luput menjadi sasaran para demonstran[2].
Adanya Pro dan Kontra Kenaikan harga BBM di tubuh
masyarakat perbedaan dalam menilai aksi-aksi yang dilakukan oleh mahasiswa.
Sering penulis mendengar celoteh tetangga atau dari akun twitter mengenai
keluhan mereka atas dampak negatif dari demonstrasi.
Sebagai contoh aksi demonstrasi tanggal 29 Maret 2012 di
pertigaan UIN Yogyakarta membuat Jalan Solo harus ditutup sehingga para
pengendara harus memutar arah. Jelas hal itu membuat jengkel para pengendara yang
mencoba melintasi jalan tersebut.
Demonstrasi yang terjadi di kawasan UIN Sunan Kalijaga
juga berakhir ricuh atas aksi lempar batu oleh mahasiswa dan water canon oleh
polisi[3].
Suatu hal yang disayangkan terjadi mengingat Negara kita adalah Negara demokratis.
Mahasiswa yang berusaha menyampaikan maksudnya harus terlebih dahulu dihadang
oleh berbagai senjata dan kendaraan militer.
Pandangan Mereka Untuk Mahasiswa
Petikan kejadian diatas adalah bagian kecil dari
perjalanan pergerakan mahasiswa. Tetapi kejadian diatas mengeneralisasi penilaian
masyarakat terhadap gerakan mahasiswa. Mahasiswa diidentikkan dengan biang
keladi atas kerusuhan yang terjadi. Mahasiswa adalah kelompok anarkhis, vandal,
yang tidak bisa berpikir dewasa.
Penulis mencoba memahami kenapa masyarakat memberikan
penilaian tersebut. Niat mahasiswa yang ingin berjuang untuk kehidupan rakyat
Indonesia berbuah penilaian buruk karena aksi-aksi yang merugikan masyarakat. Pemblokiran
jalan raya, coret-coret tembok, atau perusakan fasilitas publik justru akan
memberikan nilai negatif bagi aksi-aksi mahasiswa.
Hal itu disebabkan mahasiswa kurang begitu memahami
dampak yang terjadi atas aksi-aksi mereka. Jika mahasiswa beralasan aksi kadang
tidak terkontrol karena situasi yang dinamis di lapangan, menurut saya hal itu
hanya dalih saja. Mahasiswa sebagai golongan intelektual seharusnya mampu
mengedepankan sisi-sisi intelektualnya, bukan sisi emosi yang justru lebih akan
merugikan mereka sendiri.
Tidak Semua Mahasiswa
Sebagai kawan mahasiswa dan sebagai mahasiswa, saya berpendapat
bahwa tidak semua mahasiswa bersikap vandal dalam melakukan aksinya. Generalisasi
pandangan masyarakat untuk pergerakan mahasiswa tidak tepat untuk dilakukan.
Diantara kesekian gerakan masih ada pergerakan mahasiswa yang mengedepankan
sisi intelektualitasnya.
Bagi saya manusia yang paling idealis adalah mahasiswa. Pemuda-pemuda
ini memiliki sosok yang obyektif, tanpa tendensi, dan jujur dalam bertindak.
Mereka bisa menempatkan diri dalam semua lapisan masyarakat dan kompleksitas
masalah yang ada.
Kadang saya menyayangkan sikap orang tua saya yang
mencegah anak-anaknya untuk mengikuti pergerakan mahasiswa dengan alasan
keamanan atau aksi-aksi brutal dan vandal yang sering disorot oleh media.
Dimanakah mahasiswa memperoleh nilai-nilai kejujuran,
prinsip-prinsip hidup, jiwa sosial selain di dlaam tubuh pergerakan mahasiswa
atau organisasi mahasiswa? Saya kira ruang-ruang kelas belum cukup untuk
menanamkan nilai-nilai tersebut.
Mahasiswa adalah bagian dari rakyat, mereka berjuang
untuk rakyat Indonesia. Sebagai golongan intelektual mereka adalah roda
perubahan. Tidak pantas kita menyematkan sosok brutal dan vandal pada diri
mereka karena masih banyak mahasiswa yang berjuang dengan sisi-sisi moral dan
inteltualitasnya.
Yang terjadi adalah bung,mereka berteriak, melakukan perusakan sarana umuum, mengotori jalan, tapi setelah itu mereka pergi begitu saja tanpa sedikitpun beban.... padahal banyak pendemo itu yang katanya MAPALA, atau aktivis lingkungan.... yang menurut saya nonsense dengan slogan2 yang slama ini mereka gemborkan...
ReplyDeletedan jangan salah juga bung, bahkan di Jogja sudah ada EO (event organizer) yang khusus menyediakan massa untuk demonstrasi dengan bayaran yang yah berkisar 50-200 ribu perorang...
hehehe, minta data atau Cp EO itu dunksss, aku juga mau loh kalau seandainya dibayar, hehe. oh ya kira-kira di titik mana aja yang masanya dibayar? aku biasanya suka berbicara dengan menggunakan data, malas kalau cuma megklaim, muachhh.
ReplyDeleteoh ya untuk eruvierda jangan lupa baca yang ini ya
http://richianyan.blogspot.com/2012/04/kaum-apatis-akut.html