Tuesday, 25 September 2012

Sophee : Relasi Tak Semuanya Indah

Sejak malam itu aku banyak menghabiskan waktu bersama Eka. Setelah kuliah usai, Eka sering menjemputku. Rumah Eka menjadi tempat kami menghabiskan waktu bersama. Eka tinggal mandiri di rumah yang ia kontrak. Ia mengatur segala keperluannya sendiri.

Ketika akhir pekan tiba kami sering piknik ke daerah Kaliurang atau pantai-pantai di selatan Yogyakarta. Kadang teman-teman datang bergabung.

Kami suka berhayal ketika tidur-tiduran di pantai sambil menikmati semilir angin dan deburan ombak yang menyambut mesra. Kami sering berhayal masa depan kami berdua.

“Sayang, kapan mau pindah kerumahku?” Tanya Eka kepadaku
“Belum tahu bang, aku masih ingin focus kuliah dulu. Aku juga harus Tanya orang tua dulu kalau mau pindah. Kan mereka juga yang nyariin kos dulu” paparku.
“Hmm..asal orang tua ga tahu kan ga apa-apa”
“Iya sih, tetapi kan repot” jawabku mangut
“Ya sudah sih, tapi kalo kamu serius ma hubungan kita pikirin ya” pintanya
 
Ajakan Eka untuk tinggal bersama memberikanku keyakinan untuk menyusun masa depan bersamanya. Aku semakin yakin untuk tidak menikah dengan laki-laki walau hambatan besar menanti. Orang tuaku akan selalu bertanya “Kapan aku menikah” atau “Siapakah pacarku”.

Tak terasa aku sudah memasuki semester 5, kesibukan semakin bertambah. Tugas kuliah praktik semakin banyak dan aku harus mempersiapkan KKN yang akan aku tempuh di semester pendek antara semester 6 dan 7.

Eka juga demikian, pasar desain grafis yang semakin besar membuatnya semakin sibuk dengan pekerjaannya. Kami jarang bertemu dan lebih banyak berkomunikasi melalui BBM saja.
***
 
 Siang itu aku pergi ke Perpustakaan Kota di belakang Gramedia. Akhir-akhir ini aku banyak menghabiskan waktu disana untuk mengerjakan tugas. Aku duduk di meja bundar di luar ruang perpustakaan. Aku menunggu Eka yang mau menjemputku, sudah lama kami tak bertemu.

Eka berjanji akan menjemputku pukul 3.30 sore, namun hingga pukul 4 sore dia belum muncul juga. Pegawai perpustakaan mulai menutup jendela dan membereskan buku yang berserakan di meja baca. Suasana semakin sepi ketika pegawai perpustakaan berangsur pulang.
“Nunggu jemputan mbak” Tanya salah seorang staf perpustakaan
“Iya mas, bentar lagi mau datang” jawabku singkat
 
Aku sudah mengirim BBM dan SMS kepada Eka tetapi belum dibalas juga. Aku memutuskan untuk menelpon dia, ternyata HP nya mati. Akhirnya aku putuskan untuk pulang sendiri, naik Transjogja yang terminal transitnya terletak tak jauh dari Gramedia.
 
Ketika aku dalam perjalanan bis ke kos, aku menerima BBM dari Eka. Aku kaget mendapat BBM darinya
“Km dimn kok ga ad?”
“Ak dh d transjogja, otw kos” jawabku singkat
“lha kok gt, ak capek-capek belain jemput lu!”
“Maf, td ak tngg g dtng2, aku hub jg ga bls” aku berdalih
“Gw kan sbuk, sbr donk! Bsk g ush jmpt2 sgla!”
 
Aku diam tidak membalas BBM terakhirnya. Baru kali ini Eka berkata sekasar itu, biasanya ia lemah lembut denganku. Mungkin dia sedang kecapekan pikirku. Hingga malam hari kami tak saling memberi kabar.
 
Beberapa hari kami tidak saling komunikasi. Ketika aku menghubungi melalui BBM dia juga tidak membalas. Kami bertemu secara tidak sengaja ketika aku berkunjung ke rumah Icha. Pintu kamar Icha terbuka, disana sudah ada Lita dan Rahma yang sedang asyik becanda. Eka yang sedang tiduran disana.
 
“Hai semua” aku mengucapkan salam
“Hi Sof, dari mana lu?” Icha bertanya
“Iya nih, baru aja slese ngerjain tugas” jawabku mangut
Tiba-tiba Eka beranjak dari tempat tidur. Ia pergi tanpa mengucap sepatah kata padaku. Hanya pamitan saja kepada teman-temanku. Teman-teman bertanya ada apa dengan kami, aku pun tak tahu secara pasti. Tetapi aku merasa hubungan kami sudah tidak sehat lagi.
Malam hari aku pulang ke kos. Terkaget melihat Eka berdiri di depan kosku.
“Aku ingin bicara ma kamu!” katanya tegas
“Mau bicara apa bang, masuk dulu deh” aku membuka pintu kos yang terkunci, sedikit gugup mendengar nada Eka yang tinggi.
“Kamu sombong ya sekarang!”  bentaknya
“Sombong gimana bang?” tanyaku lirih
“Ga pernah nyapa, ga respect ma aku lagi” Eka semakin menjadi. 
 
Aku diam saja tak membantah, ada rasa takut kepadanya. Aku bisa saja berdalih, tetapi alasan-aslaan itu membatu ketika bertatap muka dengannya.
Malam itu, setelah pertengkaran usai, Eka menginap di kosku. Kami mencoba untuk menganggap bahwa semua baik-baik saja. Kami mulai mencintai kembali dan menganggap semua itu sebagai angin lalu.

Sejak saat itu aku lebih suka menurut karena dengan begitu hubungan kami menjadi baik-baik saja. Aku yakin masih bisa menggapai masa depan kami berdua. Tinggal berdua bersamanya membentuk keluarga sederhana yang bahagia seperti yang orang tuaku miliki.


--------------------------------------------bersambung---------------------------------------------

No comments:

Post a Comment