Rastra melemparkan tasnya ke atas
meja, seketika dia menyita perhatian kawan-kawan yang sedang terautis oleh
kotak ajaib 14 inchi.
“Asu….Bajingan!” Rastra kesal, raut
wajahnya terbaca sangat jelas kalau dia sedang sangat marah.
“Loe kenapa bung?” Tanya Didin.
“Sialan deh para Islam kolot nan
konservatif itu. Mereka idiot, nggak bisa lihat apa zaman sudah berubah!”.
“Wait…wait. Maksud kamu apa?”
Tanya Ahmad menyambung.
“Project yang udah guwe rencanain
panjang lebar, mereka tolak mentah-mentah tanpa pikir panjang. Katanya ajang
kampanye perzinahan kek, program titipan iberal lah. Ah tahi semua itu!” Rastra
meluap-luap.
“Maksud loe kampanye kondom?
Program LSM mu yang nyebarin kondom ke kampus-kampus itu ya?” Tanya Didin.
“Exactly…!” Rastra mengafirmasi.
Rastra melengos, diambilnya
segelas air putih di dapur untuk menenangkan dirinya. Siang ini cukup panas
menyengat. Benaknya masih terus memikirkan project yang dihentikan secara
sepihak oleh pemerintah. Padahal awalnya pemerintah mendukung penuh project
itu, namun karena desakan ormas-ormas Islam maka project itu dihentikan di
tengah jalan. Rastra yang menjadi ketua project itu jelas tidak terima. Apalagi
hal itu menunjukkan betapa lemahnya pemerintah dalam mempertahankan kebijakannya.
Dengan segelas air digenggaman
tangannya dia kembali menuju ruang tengah dimana kawan-kawannya berada. Tanpa
permisi dia merengsek duduk di tengah kawan-kawannya yang sedang duduk santai
di sofa hijau.
“Apaan sih loe.” Didin protes.
Sembari memberikan ruang bagi Rastra untuk duduk.
“Ah, solider dikit ma kawan
kenapa.” Kata Rastra.
Mereka kemudian terlarut ke dalam
program teve yang hanya membicarakan mengenai euforia dan kepalsuan belaka.
Jengah dengan acara tidak bermutu itu, Rastra mengajak kawannya berbicara.
“Eh guwe masih kesel deh ama
kejadian tadi siang. Guwe nggak habis pikir deh. Program yang telah disusun
rapi dan matang. Bubar ditengah jalan.” Rastra memulai pembicaraan.
“Tapi menurut aku ya, Ras.
Project loe itu nggak tepat. Bayaingin deh, bagi-bagi kondom ke anak-anak muda.
Sebenarnya kalian mikir moral hazzard[1]
yang akan timbul dari project kalian nggak sih?” Ahmad Berargumen.
“Gini, ketika kita membuat
project kan selalu ada latar belakangnya. Loe tahu nggak kalo jumlah ODHA[2]
semakin meningkat dari tahun ke tahun? Loe juga bayangin nggak berapa jumlah
kehamilan diluar nikah yang terjadi karena kurangnya informasi akan kesehatan
reproduksi di kalangan remaja? Banyak masalah lain yang bisa kita temukan jika
kita bisa pikirkan dalam-dalam. Kampanye kondom adalah salah satu solusi untuk
menyelesaikan masalah itu?” Balas Rastra.
“Masuk akal, tapi sekali lagi aku
bicara mengenai moral hazzard-nya. Bisa
nggak kita berpikir lebih sinis dengan program kamu. Kampanye kondom
menstimulasi free sex dikalangan
remaja. Hal itu bertentangan dengan moral dan nilai-nilai ke-Indonesiaan kita
bung!” Kata Ahmad.
“Eh loe diem aja sih Din, ikutan
ngomong dong.” Ajak Rastra. Disenggollah bahu Didin. Raut muka Didin yang
awalnya santai berubah menjadi lebih serius.
“Guwe bingung mau mulai darimana.”
Kata Didin.
Rastra dan Ahmad menyimak dengan
tenang, menunggu kata-kata yang akan keluar dari mulut seorang Didin.
“Guwe sepakat bahwa Indonesia
memiliki nilai dan moral dan hal itulah yang membentuk karakter ke Indonesiaan
bangsa ini. Free sex dan sejenisnya jelas bertentangan dengan moral apalagi
agama yang diakui di Indonesia. Kampanye kondom memang bisa-bisa saja memiliki
moral hazzard tetapi belum ada kan yang meneliti hal itu? Jumlah ODHA meningkat
itu jelas, tetapi usaha preventif yang hanya mengandalkan kampanye kondom ke
remaja adalah parsial. Kenapa sih pemerintah tidak menggalakkan program
pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah-sekolah. Pendidikan dini. Aku kira
manfaatnya banyak kok. Apalagi pendidikan kesehatan reproduksi kan nggak bicara
hal-hal yang porno dan asusila. Hal itu kan ilmiah ada penelitiannya.” Papar
Didin panjang.
“Aku sepakat dengan pendapat
Didin. Kenapa kamu nggak membuat project pendidikan kesehatan reproduksi ke
sekolah-sekolah. Hal itu lebih bermanfaat dan edukatif dan jangan lupa iringi
dengan pendidikan moral kepada siswa-siswanya biar mereka tidak sesat.” Kata
Ahmad.
“Seebentar dulu bung Ahmad. Berbicara
mengenai moral, terutama bagi manusia-manusia homo seperti saya. Nilai moral
yang menjadi mainstream kan jelas-jelas mendiskriminasi kawan-kawan LGBT.
Padahal berbicara mengenai HAM internasional, kita tidak boleh
mendiskriminasikan LGBT. Tentu pengubahan materi moral di Indonesia akan
mendapat batu sandungan.” Didin menyela.
“Ah masalahnya jadi semakin
pelik. Kita nggak boleh berpikir secara heteronormatif bung Ahmad. Oke, guwe
tahu agama kamu melarang keras LGBT, tetapi bukankah ketika kita tinggal di
negara plural seperti Indonesia kita harus saling menghargai. Ingat, ada agama
Hindu dan Budha yang tidak melarang adanya LGBT. Hanya agama-agama samawi saja
yang melarang, itupun sekarang masih menjadi perdebatan.” Rastra menambahkan.
“Jadi bagaimana dengan kampanye
kondom?” Tanya Ahmad, pertanyaannya mengembalikan pikiran mereka ke pembahasan
awal.
Pertanyaan terakhir Ahmad
menciptakan helaan nafas panjang. Diskusi itu berakhir dengan kebisuan dan
akhirnya mereka larut kembali kepada televisi yang indah. Entah mereka jengah
dengan berbagai permasalahan pelik dan horor atau mereka akhrinya apatis dengan
semuanya.
Semuanya diam. Bukan diam yang
tenang dan damai. Wajah mereka berbeda, wajah mereka diam seolah sedang
mengunyah kondom.
No comments:
Post a Comment