Saturday, 7 December 2013

Mengunyah Kondom




Gubrak…!

Rastra melemparkan tasnya ke atas meja, seketika dia menyita perhatian kawan-kawan yang sedang terautis oleh kotak ajaib 14 inchi. 

“Asu….Bajingan!” Rastra kesal, raut wajahnya terbaca sangat jelas kalau dia sedang sangat marah.
“Loe kenapa bung?” Tanya Didin.

“Sialan deh para Islam kolot nan konservatif itu. Mereka idiot, nggak bisa lihat apa zaman sudah berubah!”.

“Wait…wait. Maksud kamu apa?” Tanya Ahmad menyambung.

“Project yang udah guwe rencanain panjang lebar, mereka tolak mentah-mentah tanpa pikir panjang. Katanya ajang kampanye perzinahan kek, program titipan iberal lah. Ah tahi semua itu!” Rastra meluap-luap.

“Maksud loe kampanye kondom? Program LSM mu yang nyebarin kondom ke kampus-kampus itu ya?” Tanya Didin.

“Exactly…!” Rastra mengafirmasi.

Rastra melengos, diambilnya segelas air putih di dapur untuk menenangkan dirinya. Siang ini cukup panas menyengat. Benaknya masih terus memikirkan project yang dihentikan secara sepihak oleh pemerintah. Padahal awalnya pemerintah mendukung penuh project itu, namun karena desakan ormas-ormas Islam maka project itu dihentikan di tengah jalan. Rastra yang menjadi ketua project itu jelas tidak terima. Apalagi hal itu menunjukkan betapa lemahnya pemerintah dalam mempertahankan kebijakannya.

Dengan segelas air digenggaman tangannya dia kembali menuju ruang tengah dimana kawan-kawannya berada. Tanpa permisi dia merengsek duduk di tengah kawan-kawannya yang sedang duduk santai di sofa hijau.

“Apaan sih loe.” Didin protes. Sembari memberikan ruang bagi Rastra untuk duduk.

“Ah, solider dikit ma kawan kenapa.” Kata Rastra.

Mereka kemudian terlarut ke dalam program teve yang hanya membicarakan mengenai euforia dan kepalsuan belaka. Jengah dengan acara tidak bermutu itu, Rastra mengajak kawannya berbicara.

“Eh guwe masih kesel deh ama kejadian tadi siang. Guwe nggak habis pikir deh. Program yang telah disusun rapi dan matang. Bubar ditengah jalan.” Rastra memulai pembicaraan.

“Tapi menurut aku ya, Ras. Project loe itu nggak tepat. Bayaingin deh, bagi-bagi kondom ke anak-anak muda. Sebenarnya kalian mikir moral hazzard[1] yang akan timbul dari project kalian nggak sih?” Ahmad Berargumen.

“Gini, ketika kita membuat project kan selalu ada latar belakangnya. Loe tahu nggak kalo jumlah ODHA[2] semakin meningkat dari tahun ke tahun? Loe juga bayangin nggak berapa jumlah kehamilan diluar nikah yang terjadi karena kurangnya informasi akan kesehatan reproduksi di kalangan remaja? Banyak masalah lain yang bisa kita temukan jika kita bisa pikirkan dalam-dalam. Kampanye kondom adalah salah satu solusi untuk menyelesaikan masalah itu?” Balas Rastra.

“Masuk akal, tapi sekali lagi aku bicara mengenai moral hazzard-nya. Bisa nggak kita berpikir lebih sinis dengan program kamu. Kampanye kondom menstimulasi free sex dikalangan remaja. Hal itu bertentangan dengan moral dan nilai-nilai ke-Indonesiaan kita bung!” Kata Ahmad.

“Eh loe diem aja sih Din, ikutan ngomong dong.” Ajak Rastra. Disenggollah bahu Didin. Raut muka Didin yang awalnya santai berubah menjadi lebih serius.

“Guwe bingung mau mulai darimana.” Kata Didin.
Rastra dan Ahmad menyimak dengan tenang, menunggu kata-kata yang akan keluar dari mulut seorang Didin.

“Guwe sepakat bahwa Indonesia memiliki nilai dan moral dan hal itulah yang membentuk karakter ke Indonesiaan bangsa ini. Free sex dan sejenisnya jelas bertentangan dengan moral apalagi agama yang diakui di Indonesia. Kampanye kondom memang bisa-bisa saja memiliki moral hazzard tetapi belum ada kan yang meneliti hal itu? Jumlah ODHA meningkat itu jelas, tetapi usaha preventif yang hanya mengandalkan kampanye kondom ke remaja adalah parsial. Kenapa sih pemerintah tidak menggalakkan program pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah-sekolah. Pendidikan dini. Aku kira manfaatnya banyak kok. Apalagi pendidikan kesehatan reproduksi kan nggak bicara hal-hal yang porno dan asusila. Hal itu kan ilmiah ada penelitiannya.” Papar Didin panjang.

“Aku sepakat dengan pendapat Didin. Kenapa kamu nggak membuat project pendidikan kesehatan reproduksi ke sekolah-sekolah. Hal itu lebih bermanfaat dan edukatif dan jangan lupa iringi dengan pendidikan moral kepada siswa-siswanya biar mereka tidak sesat.” Kata Ahmad.

“Seebentar dulu bung Ahmad. Berbicara mengenai moral, terutama bagi manusia-manusia homo seperti saya. Nilai moral yang menjadi mainstream kan jelas-jelas mendiskriminasi kawan-kawan LGBT. Padahal berbicara mengenai HAM internasional, kita tidak boleh mendiskriminasikan LGBT. Tentu pengubahan materi moral di Indonesia akan mendapat batu sandungan.” Didin menyela.

“Ah masalahnya jadi semakin pelik. Kita nggak boleh berpikir secara heteronormatif bung Ahmad. Oke, guwe tahu agama kamu melarang keras LGBT, tetapi bukankah ketika kita tinggal di negara plural seperti Indonesia kita harus saling menghargai. Ingat, ada agama Hindu dan Budha yang tidak melarang adanya LGBT. Hanya agama-agama samawi saja yang melarang, itupun sekarang masih menjadi perdebatan.” Rastra menambahkan.

“Jadi bagaimana dengan kampanye kondom?” Tanya Ahmad, pertanyaannya mengembalikan pikiran mereka ke pembahasan awal.

Pertanyaan terakhir Ahmad menciptakan helaan nafas panjang. Diskusi itu berakhir dengan kebisuan dan akhirnya mereka larut kembali kepada televisi yang indah. Entah mereka jengah dengan berbagai permasalahan pelik dan horor atau mereka akhrinya apatis dengan semuanya.

Semuanya diam. Bukan diam yang tenang dan damai. Wajah mereka berbeda, wajah mereka diam seolah sedang mengunyah kondom.







[1] Moral Hazzard adalah keadaan yang berkaitan dengan sifat, pembawaan dari karakter manusia yang dapat menambah besarnya resiko kerugian dibandingkan resiko rata-rata.
[2] ODHA (Orang Dengan HIV AIDS)

No comments:

Post a Comment