Friday, 6 December 2013

Untuk Rikinaldo #1



Mereka berbaris rapi dalam saf menghadap ke barat. Deretan muka khusyuk yang meratap kepada sang pencipta. Dibalik teralis jeruji aku mencoba mencari sosok seorang kawan yang katanya ditahan. Sudah seminggu lamanya, tetapi kabar itu baru aku dengar semalam. Setelah berusaha mencari kanan-kiri akhirnya aku menemukan sosok kecil mungil yang telah cukup lama aku kenal. Dia adalah Riki, pengamen jalanan yang pendiam.

Bada sholat jumat aku dan kawan Ikhsan sepakat untuk pergi ke Badran setelah kami mendengar kabar penangkapan Riki dan kawannya bernama Pleto. Aku kaget bukan main atas penangkapan Riki. Beribu tanya tiba-tiba menghujam dan tidak ada cara lain selain mengulik tanya itu kedalam pencarian jawab. Rumah Bu Waginah di Badran menjadi sasaran pertama kami.

Setiba di Badran kami menemui Bu Waginah yang nampaknya sedang beristirahat. Tersirat kelelahan dari raut mukaya yang termakan oleh usia. Sepertinya Bu Waginah sudah menebak tujuan kedatangan kami, tanpa panjang lebar kami segera menanyakan kronologi kejadian dan hal-hal yang terkait. 

Beliau bertutur bahwa Riki ditangkap pada tanggal 29 November atau seminggu yang lalu di Daerah Tegalrejo. Dia ditangkap ketika kawannya sedang melakukan pencurian sebuah sepeda onthel. Dia tak mampu melarikan diri ketika warga memergoki aksi yang dilakukan kawannya. 

Cerita singkat yang membuatku semakin paham dengan kasus ini. Diakhir cerita Bu Waginah memberikan surat penangkapan Riki. Hatiku teriris membaca bait demi bait kalimat surat penangkapan itu. Anak sekecil itu telah mengalami hal traumatik dalam dirinya. Jika saja ada orang tua yang membantunya. Sayang, dia hanya sendiri.

Dari Badran kami bertolak menuju Kapolsek Tegalrejo. Aku pergi bersama adek Riki lalu menyusul Beki yang datang terlambat. Sayang, setibanya di Kapolsek kami tidak bisa menemui Riki karena dia telah dipindahkan ke Kapolresta di Daerah Ngupasan, Malioboro. Segera kami meluncur ke Kapolresta mengingat hari sudah cukup sore. Berharap kami tidak dipersulit untuk menemui kawan kami.

Suasana Kapolresta cukup ramai. Dari kejauhan aku melihat kerumunan di ruang pendaftaran pembesuk tahanan. Sepertinya kami harus menunggu cukup lama untuk menemui Riki. Sekitar satu jam kami harus menunggu giliran untuk mengunjungi kawan kami. Tetapi kami cukup bersyukur karena datang di saat yang tepat. Hari kunjungan hanya dibuka pada Hari Selasa dan Jumat saja.

Setelah mendapat kartu berkunjung kami segera masuk ke dalam area tahanan. Dari kejauhan kami melihat senyum Pleto yang melihat kehadiran kami. Kami bersyukur telah menemukan anak ini, tetapi dimana si Riki?
Dalam barisan sholat aku melihat sosok mungilnya yang kalah dengan postur tahanan dewasa yang berbadan besar. Anak sekecil itu terpaksa ditahan bersama tahanan dewasa. Lagi-lagi kami harus mengantri untuk bertemu dengan anak ini. 

Akhirnya dia keluar juga dari balik teralis. Rompi bercorak batik dikenakan sebagai pembeda pembesuk dan tahanan. Wajah penyesalan terbaca jelas dari raut mukanya. Ah, aku jadi melow melihatnya. Aku tidak banyak bertanya, mungkin hatiku sudah lega melihatnya sehat walau sekarang rambutnya botak plonthos dicukur oleh polisi. Berbincang sebentar dengan anak ini terkait kasus yang dihadapinya dan kondisi yang dialaminya. Katanya sih dia baik-baik saja (semoga). Ketika polisi melakukan penyidikan awalnya mereka didampingi oleh ahli hukum (entah pengacara, entah advokat, atau hanya orang yang pura-pura ahli masalah hukum). Tetapi katanya mereka (Riki dan Pletho) sepakat untuk tidak menggunakan bantuan hukum karena masalah hukum. Ah, beribu nama binatang ingin keluar dari mulut benar-benar. Biaya? Untuk anak kecil dan terpinggirkan seperti mereka? 

Tidak perlu kaget memang. Itu kenapa kami datang ke tempat ini. Kami sudah bertekad untuk mengawal kasus mereka. Tidak muluk-muluk menjadi seorang pahlawan yang membebaskan mereka. Kami hanya ingin mengawal kasus ini supaya penegakan hukumnya tidak diskriminatif dan sesuai karena kawan kami adalah anak-anak.

Jam besuk ternyata tidak selama waktu yang dibutuhkan untuk mengantri. Setelah pak polisi mengusir kami. Kami segera bertolak menuju markas PKBI di Tamsis. Ini adalah kasus pertama yang kami hadapi dan kami belum memiliki bayangan sedikit pun untuk menghadapinya. Langkah yang terbaik menurut kami adalah pergi meminta bantuan dan saran dan PKBI adalah kawan dekat kami yang bisa kami harapkan.

Di PKBI kami bertemu dengan Gara, kawan yang mengorganisir kawan-kawan anjal dan anak marjinal. Dia pernah mengurusi kasus yang serupa jadi kami belajar banyak darinya. Dia juga memberikan beberapa saran rujukan bantuan hukum kepada kami karena untuk masalah ini kami membutuhkan ahli hukum sebagai representasi kami apalagi kasusnya cukup unik, yaitu anak-anak. 

Ada dua posi yang ditawarkan yaitu pergi ke LBH Yogyakarta dan menghubungi tim advokasi dinas sosial. Melihat jam yang sudah cukup sore yaitu kami langsung pami dan pergi menuju LBH Yogyakarta yang katanya buka sampai jam 5 sore. 

Letaknya tidak terlalu jauh dari Jalan Taman Siswa yaitu di daerah Kota Gede. Sampai disana kami disambut oleh front office. Segera kami mengutarakan maksud kami. Tetapi sayang seribu sayang, dia hanya front office yang mengurusi masalah pendaftaraan saja sementara para advokat dan ahli hukum sudah pulang. Mau tidak mau kami harus menunggu sampai Hari Senin. Ada kesan kurang ramah dan tidak responsif ketika beliau menyambut kami. Semoga itu hanya perasaan kami saja.

Walau belum ada hasil yang signifikan pada hari ini. Kami sepakat untuk tetap semangat. Semoga yang terbaik untuk kawan kami, Riki dan Pletho.

No comments:

Post a Comment