7 Desember 2013
Hujan belum juga reda ketika aku
sedang menunggu di perpustakaan kota sembari mencari-cari bahan untuk kultweet
Sschild Jogja. Jam tangan sudah menunjukkan pukul dua lewat tiga puluh menit,
belum satu pun kawan yang menghubungiku. Anak-anak Sschild Jogja sebenarnya
sepakat untuk bertemu di Legend Café di Kridosono pukul dua siang untuk
membahas kasus Riki-Pletho.
Baru pada pukul 3 sore kawanku
ikhsan menelponku dan dia sudah berada di Legend Café. Aku segera meluncur
kesana di tengah hujan yang mulai reda. Sesampai disana, kawan Beki, Reza dan
Ihya sudah menunggu, entah berapa lama.
Aku menjelaskan tujuan dari pembentukan
tim advokasi Riki-Pletho sebelum berbicara mengenai detail kasusnya. Kami
sepakat pembentukan tim ini hanya untuk mengawal proses peradilan adek kami
agar terhindar dari tindakan diskriminatif dan sesuai dengan undang-undang yang
berlaku (mempertimbangkan UU Perlindungan Anak).
Sekali lagi aku masih belum
percaya kalau Riki terlibat dalam kasus pencurian sepeda. Padahal Riki yang
kami kenal adalah sosok anak yang pendiam dan baik. Memang dia adalah anak yang
besar dan hidup di kehidupan jalanan yang keras dan kasar. Bahkan pengakuan
dari Bu Waginah yang aku temui kemarin mengatakan bahwa Riki itu sebenarnya
anak yang baik. Entah kenapa dia bersedia melakukan pencurian sepeda bersama
kawannya.
Aku mencoba menceritakan
kronologi kasus pencurian itu semampuku karena sejauh ini aku hanya mendapat
informasi dari Bu Ginah saja. Ceritanya Riki ini hanya diajak ketika Pletho dan
Iwan berniat melakukan aksi pencurian. Riki katanya diminta untuk “berjaga” di
depan tkp yaitu pondok pesantren Al Barokah. Ketika Pletho ditangkap oleh warga
ketika melakukan aksinya, Riki hanya bisa diam terpaku melihat kawannya
digiring warga. Dia pun juga turut digiring oleh warga ke Kapolsek Tegalrejo. Secuil
kronologi itulah yang menjadi pijakan awal kami.
Ada beberapa strategi yang kami
diskusikan. Pertama, kami sepakat untuk membentuk tim advokasi Riki-Pletho yng
terdiri dari aku dan Reza. Advokasi lewat jalur litigasi dan non-litigasi.
Melalui jalur litigasi kami akan
menghubungi LBH Yogyakarta. Hari jumat kemarin kami sudah kesana, sayang para
ahli hukumnya sudah pada pulang. Jadi Hari Senin akan kesana lagi. Timbul
pertanyaan terkait biaya. Walau LBH memberikan akses gratis bagi warga miskin,
tetapi hal tersebut harus dibuktikan dengan kartu miskin atau KMS. Nah, how about
Riki-Pletho? Mereka sama sekali tidak memiliki identitas-identitas tersebut.
Ibarat handhone, mereka adalah handhone batangan.
Selain itu kami juga akan
mengupayakan bantuan dari pihak lain seperti PKBI atau dinas sosial. Waktu
telepon dengan Mbak Kiki, dia menyarankan untuk meminta diskresi dari polisi
terkait kasus ini. Dia mengatakan mungkin perlu lembaga yang menjamin adek-adek
kami. PKBI dan Dinsos mungkin adalah lembaga yang cukup representatif untuk
kasus ini.
Jalur non-litigasi akan kami
tempuh dengan melakukan pendekatan secara kekeluargaan kepada orang-orang yang
menuntut Riki-Pletho. Sejauh ini kami belum memiliki gambaran jelas siapa yang
menuntut Riki-Pletho. Sepertinya kami harus kembali ke Kapolsek Tegalrejo untuk
meminta detail datanya.
Kami sadar bahwa strategi kami
ini memang belum terencana dengan baik dan masih terkesan meraba-raba untuk
mencari solusi riilnya. Tetapi bukankah solusi adalah sebuah pencarian bukan
penantian? Data-data sederhana yang kami peroleh dan semangat adalah pijakan
pertama kami untuk mencari solusi permasalahan ini.
No comments:
Post a Comment