Monday, 9 December 2013

Untuk Rikinaldo #2 Tim Advokasi



7 Desember 2013

Hujan belum juga reda ketika aku sedang menunggu di perpustakaan kota sembari mencari-cari bahan untuk kultweet Sschild Jogja. Jam tangan sudah menunjukkan pukul dua lewat tiga puluh menit, belum satu pun kawan yang menghubungiku. Anak-anak Sschild Jogja sebenarnya sepakat untuk bertemu di Legend Café di Kridosono pukul dua siang untuk membahas kasus Riki-Pletho.

Baru pada pukul 3 sore kawanku ikhsan menelponku dan dia sudah berada di Legend Café. Aku segera meluncur kesana di tengah hujan yang mulai reda. Sesampai disana, kawan Beki, Reza dan Ihya sudah menunggu, entah berapa lama.

Aku menjelaskan tujuan dari pembentukan tim advokasi Riki-Pletho sebelum berbicara mengenai detail kasusnya. Kami sepakat pembentukan tim ini hanya untuk mengawal proses peradilan adek kami agar terhindar dari tindakan diskriminatif dan sesuai dengan undang-undang yang berlaku (mempertimbangkan UU Perlindungan Anak).

Sekali lagi aku masih belum percaya kalau Riki terlibat dalam kasus pencurian sepeda. Padahal Riki yang kami kenal adalah sosok anak yang pendiam dan baik. Memang dia adalah anak yang besar dan hidup di kehidupan jalanan yang keras dan kasar. Bahkan pengakuan dari Bu Waginah yang aku temui kemarin mengatakan bahwa Riki itu sebenarnya anak yang baik. Entah kenapa dia bersedia melakukan pencurian sepeda bersama kawannya.

Aku mencoba menceritakan kronologi kasus pencurian itu semampuku karena sejauh ini aku hanya mendapat informasi dari Bu Ginah saja. Ceritanya Riki ini hanya diajak ketika Pletho dan Iwan berniat melakukan aksi pencurian. Riki katanya diminta untuk “berjaga” di depan tkp yaitu pondok pesantren Al Barokah. Ketika Pletho ditangkap oleh warga ketika melakukan aksinya, Riki hanya bisa diam terpaku melihat kawannya digiring warga. Dia pun juga turut digiring oleh warga ke Kapolsek Tegalrejo. Secuil kronologi itulah yang menjadi pijakan awal kami. 

Ada beberapa strategi yang kami diskusikan. Pertama, kami sepakat untuk membentuk tim advokasi Riki-Pletho yng terdiri dari aku dan Reza. Advokasi lewat jalur litigasi dan non-litigasi.

Melalui jalur litigasi kami akan menghubungi LBH Yogyakarta. Hari jumat kemarin kami sudah kesana, sayang para ahli hukumnya sudah pada pulang. Jadi Hari Senin akan kesana lagi. Timbul pertanyaan terkait biaya. Walau LBH memberikan akses gratis bagi warga miskin, tetapi hal tersebut harus dibuktikan dengan kartu miskin atau KMS. Nah, how about Riki-Pletho? Mereka sama sekali tidak memiliki identitas-identitas tersebut. Ibarat handhone, mereka adalah handhone batangan.

Selain itu kami juga akan mengupayakan bantuan dari pihak lain seperti PKBI atau dinas sosial. Waktu telepon dengan Mbak Kiki, dia menyarankan untuk meminta diskresi dari polisi terkait kasus ini. Dia mengatakan mungkin perlu lembaga yang menjamin adek-adek kami. PKBI dan Dinsos mungkin adalah lembaga yang cukup representatif untuk kasus ini. 

Jalur non-litigasi akan kami tempuh dengan melakukan pendekatan secara kekeluargaan kepada orang-orang yang menuntut Riki-Pletho. Sejauh ini kami belum memiliki gambaran jelas siapa yang menuntut Riki-Pletho. Sepertinya kami harus kembali ke Kapolsek Tegalrejo untuk meminta detail datanya.

Kami sadar bahwa strategi kami ini memang belum terencana dengan baik dan masih terkesan meraba-raba untuk mencari solusi riilnya. Tetapi bukankah solusi adalah sebuah pencarian bukan penantian? Data-data sederhana yang kami peroleh dan semangat adalah pijakan pertama kami untuk mencari solusi permasalahan ini.

No comments:

Post a Comment